Senin, 10 Januari 2011

Analisis 'Suicide' Emile Durkheim


Karya besar Durkheim mengenai bunuh diri ini merupakan usaha beliau untuk menguji pandangannya tentang fakta sosial. Durkheim mendefinisikan “bunuh diri” sebagai:

“…semua kasus kematian yang disebabkan, baik secara langsung maupun tidak
langsung oleh tindakan positif maupun negatif pelakunya. Dan sang pelaku
tahu bahwa tindakan ini akan menyebabkan kematiannya”.

Telaah tentang bunuh diri sendiri bukan hal yang baru pada saat Durkheim melakukan studinya. Pada masa itu ada dua tafsiran yang umum dikenal tentang penyebab bunuh diri, yaitu: tafsir gangguan psikologis, tafsir biologis dan tafsir ekologis. Dalam tafsir gangguan psikologis, bunuh diri dilihat sebagai gejala individual yang terjadi karena pelakunya menderita gangguan mental.
Bunuh diri menurut tafsir psikologis disebabkan oleh empat tipe gangguan mental, yaitu:

1.Maniacal suicide, yaitu bunuh diri yang disebabkan oleh halusinasi.

2.Melancholy suicide, yaitu bunuh diri yang dilakukan oleh orang yang berada dalam keadaan depresi berat dan kesedihan yang meluap-luap.

3. Obsessive suicide, yaitu kasus-kasus bunuh diri yang tidak dilandaskan pada motivasi
tertentu, tetapi dilandaskan semata-mata pada obsesi yang begitu kuat kematian terhadap
kematian.

4. Impulsive atau automatic suicide, yaitu tindakan bunuh diri yang semata-mata dilandaskan
pada dorongan impulsif.

Menurut Durkheim, tafsir psikologis ini susah untuk dipertanggungjawabkan kebenarannya karena tidak semua pelaku bunuh diri mengalami gangguan psikologis. Berdasarkan data yang dikumpulkan Durkheim, terlihat adanya hubungan di antara kasus bunuh diri dengan cirri-ciri sosial pelakunya. Beberapa cirri tersebut yaitu:
1. Jenis kelamin
2. Agama
3. Usia
4. Asal Negara

Singkatnya, bunuh diri itu bukan sekedar dampak dari faktor-faktor psikologis.
Sebagaimana dengan tafsir psikologis, Durkheim juga menolak anggapan tafsir biologis yang menganggap adanya hubungan di antara kasus bunuh diri dengan ras dan asal-usul keturunan pelakunya. Hal ini didasarkan pada ketidakjelasan “ras” yang digunakan dan data-data statistic yang diperoleh Durkheim lebih merujuk pada factor non-biologis yang melatarbelakangi seseorang melakukan tindak bunuh diri.

Hasil tafsir ekologis juga tidak memuaskan Durkheim, berdasarkan data statistic tidak terlihat adanya hubungan antara tingkat bunuh diri dengan variabel-variabel ekologis seperti iklim, suhu dan kelembaban udara baik di Eropa maupun tempat-tempat lain. Durkheim menegaskan penolakannya terhadap anggapan tafsir ekologis ini dengan mengatakan bahwa walaupun tingkat bunuh diri meningkat pada bulan Januari hingga Juli, dimana pada bulan-bulan tersebut memang merupakan musim panas yang menyengat namun bukan karena panasnya sengatan matahari yang mengakibatkan banyak orang melakukan tindak bunuh diri mealainkan karena aktifitas manusia di musim panas lebih padat ketimbang musim lainnya yang menyebabkan timbulnya tekanan yang cukup hebat dalam diri manusia. Intinya, factor ekologis tersebut tidak mempengaruhi peningkatan bunuh diri namun lebih disebabkan oleh kondisi sosial.
Disamping itu, Durkheim juga menguji dan menolak teori imitasi yang dikemukakan oleh seorang teoritikus yang sezaman dengannya, psikolog sosial Perancis bernama Gabriel Tarde (1834-1904). Teori imitasi mengatakan bahwa seseorang melakukan bunuh diri (dan dalam ranah tindakan lain) karena meniru tindakan orang lain. Durkheim mengakui bhawa beberapa individu yang melakukan bunuh diri memang bisa saja karena meniru, namun ini hanyalah factor kecil yang tidak memiliki pengaruh signifikan dalam rangka bunuh diri secara keseluruhan.

Berangkat dari ketidakpuasan atas penjelasan yang ada, Durkheim mencoba menjelaskan penyebab bunuh diri secara sosiologis. Namun, tidak semua proposisi dasar penjelasan yang ada disanggahnya, dalam batas-batas tertentu ada yang diterimanya, misal: ia mengakui bahwa bunuh diri bukan merupakan gejala yang lepas dari pengaruh gejala-gejala di luar gejala sosial. Menurutnya, walaupun bunuh diri merupakan keputusan individu namun tingkat bunuh diri tidak dapat dipandang sebagai tindakan individual. Bunuh diri merupakan gejala sosial dalam masyarakat dan juga sebuah fakta sosial sui generis (tak bisa direduksi menjadi fakta lain) karena memiliki sifat-sifat dasarnya sendiri.

Tipe-Tipe Bunuh Diri Menurut Durkheim
Berangkat dari asumsi dasar bahwa bunuh diri merupakan gejala kolektif, Durkheim melakukan telaah sosiologisnya untuk mencari penyebab bunuh diri dengan dua fakta sosial utamanya, yaitu:
• Integrasi => merujuk pada kuat tidaknya keterikatan dengan masyarakat, pada fakta integrasi Durkheim mengklasifikasikan tipe bunuh diri menjadi 2, yaitu:

1. Egoistic suicide: bunuh diri yang terjadi karena rendahnya tingkat integrasi suatu kelompok sosial. Lemahnya integrasi ini menimbulkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari masyarakat bukan pula bagian dari individu. Ringkasnya, kecenderungan bunuh diri beragam berdasarkan tingkat integrasi kelompok sosial tempat individu berada. Untuk sampai ke kesimpulan umum ini, Durkheim membandingkan tingkat bunuh diri yang terjadi dari tahun ke tahun di berbagai kelompok sosial: kelompok keagamaan, kelompok domestic (keluarga) dan masyarakat politik.

2. Altruistic suicide: bunuh diri yang terjadi akibat dari integrasi sosial yang sangat kuat di dalam masyarakat. Salah satu contoh dari kasus bunuh diri altruistis adalah bunuh diri massal yang dilakukan oleh pengikut Pendeta Jim Jones di Jonestown, Guyana (1978).

Menurut Durkheim, ada perbedaan mendasar diantara di antara bunuh diri altruistik dengan bunuh diri egoistik. Perbedaan penyebab membuat tipe bunuh diri ini berbeda dengan yang lain, dan emosi yang mengalir di satu tipe berbeda dengan yang lain. Pada tipe bunuh diri egoistik seseorang merasakan kejerihan yang tak terobati dan tekanan batin yang luar biasa. Bunuh diri, dalam hal ini, merupakan upaya melepaskan diri dari semua tekanan tersebut, lantaran sang pelaku tak mampu menemukan tempat untuk meringankan bebannya ini. Namun pada tipe altruistik, bunuh diri berasal dari harapan; kepercayaan bahwa ada sesuatu yang indah di balik kehidupan ini. Bunuh diri ini bahkan dilakukan dengan antusias dan dengan keyakinan akan mendapat kepuasan yang meluap-luap. Bunuh diri ini dilakukan dengan suatu semangat yang luar biasa. Secara khusus ada tiga tipe utama bunuh diri altruistic, ketiganya saling berkaitan satu sama lain. Tipe-tipe bunuh diri itu adalah:
1. Obligatory altruistic suicide, yaitu bunuh diri yang dilakukan seseorang bukan karena hal ini merupakan haknya tetapi karena kewajibannya. Jika orang yang bersangkutan gagal melaksanakan kewajiban ini, ia akan kehilangan kehormatannya dan juga mendapat sanksi yang biasanya bersifat keagamaan. Bunuh diri tipe ini terlihat dalam kasus-kasus di masyarakat tertentu. Contoh: adat budaya di India yang mengharuskan seorang janda untuk melakukan bunuh diri bersamaan dengan kematian suaminya, budaya “hara-kiri” dikalangan samurai Jepang pada zaman dahulu.

2. Optional altruistic suicide, yaitu sub-tipe bunuh diri yang dilakukan bukan atas dasar kewajiban (yang bersifat memaksa) yang ditetapkan secara eksplisit oleh masyarakat, tetapi atas dasar dukungan masyarakat. Maksudnya, mereka yang rela melakukan tindakan bunuh diri akan memperoleh penghargaan dan kehormatan, contoh: “kamikaze” yang dilakukan oleh para prajurit Jepang saat PD II untuk melindungi negaranya dari serangan sekutu.

3. Acute altruistic suicide atau mystical suicide, tipe ini merupakan bunuh diri dimana sang pelaku membunuh dirinya murni karena kepuasannya untuk mengorbankan diri. Tak ada alasan yang membuat bunuh diri kategori ini dapat disebut sebagai tindakan yang terpuji oleh masyarakat. Jadi, bunuh diri dalam tipe ini bukan karena adanya unsure kewajiban/paksaan, dan bukan juga karena didorong oleh keinginan pelakunya untuk mendapatkan kehormatan. Kasus-kasus bunuh diri ini sendiri terdapat antara lain di India (di kalangan para Brahma) dan juga di suku-suku tertentu di Jepang. Bentuknya: menjatuhkan diri ke dalam gunung berapi dalam suatu upacara keagamaan sementara warga lainnya menontonnya.

Semua sub-tipe bunuh diri altruistik di atas merupakan gejala yang biasa dijumpai di masyarakat yang disebut Durkheim sebagai “lower society”. Namun ia pun dapat ditemukan di “more recent civilizations” khususnya di kalangan penganut agama Kristen. Dalam dunia kemiliteran, Durkheim menemukan bahwa tingkat bunuh diri dapat dikategorikan berdasarkan lama waktu kedinasan, kepangkatan, dan kesukarelaan memasuki dunia kemiliteran. Berdasarkan analisa statistik yang dilakukannya, ia menemukan:
1. Tingkat bunuh diri yang tinggi terjadi di kalangan tentara yang memiliki masa dinas lama.
2. Tingkat bunuh diri di kalangan perwira lebih tinggi daripada di kalangan prajurit.
3. Tingkat bunuh diri di kalangan tentara yang memasuki dinas kemiliteran secara sukarela lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak.

Durkheim menjelaskan bahwa semakin lama masa dinas seorang militer, semakin tinggi penghayatannya tentang moral dunia militer dan semakin terserap pula mereka ke dalam dunia kemiliteran. Hal ini membuat kerelaan untuk mengorbankan diri untuk dunia kemiliteran (dalam wujud tindakan bunuh diri) pun menjadi lebih besar. Untuk memperkuat temuan ini, Durkheim juga mencari bukti statistik lain. Ia membandingkan angka bunuh diri di kalangan pasukan elite dan tentara biasa, serta antara kalangan militer dan sipil. Tren serupa pun ditemukannya, dan hal ini memperkuat pandangan Durkheim tentang gejala bunuh diri altruistik.

Jika tingginya angka bunuh diri egoistis ditentukan oleh “kelelahan yang tidak dapat disembuhkan dan depresi yang menyedihkan” maka bunuh diri altruistis makin banyak terjadi jika “makin banyak harapan yang tersedia, karena dia bergantung pada keyakinan akan adanya sesuatu yang indah setelah hidup di dunia lain”. Ketika integrasi mengendur, seseorang akan melakukan bunuh diri karena tidak ada lagi kebaikan yang dapat dipakai untuk meneruskan kehidupan. Sebaliknya, ketika integrasi menguat, mereka melakukan bunuh diri justru demi kebaikan yang lebih besar.

• Regulasi => merujuk pada tingkat paksaan eksternal yang dirasakan individu. Berdasarkan fakta regulasi ini, Durkheim mengklasifikasikan tipe bunuh diri menjadi 2, yaitu:
1. Anomic suicide: bunuh diri yang terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu dimana terjadi ketidakjelasan norma-norma yang mengatur cara berpikir, bertindak dan merasa para anggota masyarakat, gangguan itu mungkin membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya control terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak akan pernah puas terhadap kesenangan. Menurut Durkheim, suatu keadaan anomik dapat dilihat dari indikator ekonomi maupun domestik. Analisa statistik Durkheim memperlihatkan bahwa krisis ekonomi membuat orang kehilangan arah. Dalam keadaan seperti ini, ungkap Durkheim mereka harus beradaptasi dengan kondisi yang menimpa mereka, kondisi yang sangat menyiksa; mereka membayangkan penderitaan karena serba berkekurangan bahkan sebelum mereka mencoba kehidupan ini. Pertumbuhan kemakmuran yang mendadak dalam masyarakat juga memiliki dampak serupa terhadap peningkatan angka bunuh diri dalam masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang mendadak membuat tatanan moral sekonyong-konyong runtuh, sementara tatanan moral yang baru belum cukup rampung untuk menggantikan tatanan moral sebelumnya.

2. Fatalistic suicide: bunuh diri yang terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim menggambarkan seseorang yang melakukan bunuh diri fatalisstik seperti “seseorang yang masa depannya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas”. Contoh klasik dari bunuh diri ini adalah budak yang menghabisi hidupnya karena putus asa akibat regulasi yang menekan setiap tindakannya.

Durkheim mengungkapkan ketika masyarakat dilanda oleh krisis yang hebat atau oleh transisi yang akan membawa maslahat namun prosesnya penuh pergolakan, masyarakat tidak mampu memberikan perlindungan moral kepada warganya; karenanya meningkatlah skala bunuh diri. Dalam konteks skala domestik, hal serupa pun terjadi. Bagi Durkheim, keluarga mempunyai peranan penting sebagai institusi yang membangun norma-norma dan keterikatan sosial pada para anggotanya. Karenanya, lepasnya seseorang dari ikatan keluarga –baik karena tidak menikah atau karena faktor lain-membuat dirinya kehilangan pegangan untuk bertindak, berpikir dan merasa. Dengan demikian, tingkat bunuh diri di antara mereka yang tidak terikat dalam ikatan perkawinan dan keluarga lebih tinggi daripada mereka yang berkeluarga.
Berdasarkan analisa tentang hubungan di antara tipe-tipe bunuh diri dan kesadaran kolektif seperti yang telah dikemukakan di atas, jelaslah bahwa bunuh diri merupakan gejala sosial, fakta sosial dan bukan sekedar gejala individual. Argumentasi yang biasa digunakan Durkheim untuk memperkuat pandangannya ini adalah: kasus-kasus bunuh diri memiliki pola berdasarkan ciri sosial tertentu. Untuk memperlihatkan bahwa bunuh diri merupakan gejala sosial, Durkheim juga berargumentasi: walau pelaku bunuh diri tampaknya selalu berbeda-beda, data statistik memperlihatkan bahwa tingkat dan kecenderungan bunuh diri memiliki kaitan yang erat dengan ciri sosial sang pelaku.

Apakah bunuh diri merupakan hal yang normal bagi kelompok tertentu? Melihat kecenderungan tingkat bunuh diri di antara kelompok tertentu, Durkheim mengatakan bahwa bunuh diri merupakan hal yang normal bagi kelompok-kelompok tersebut.

Durkheim mengakhiri studinya tentang bunuh diri dengan sebuah pembuktian apakah reformasi bisa diandalkan untuk mencegah bunuh diri. Usaha-usaha yang selama ini dilakukan untuk mencegah bunuh diri gagal karena ia dilihat sebagai problem individu. Bagi Durkheim, usaha langsung untuk meyakinkan individu agar tidak melakukan bunuh diri ternyata sia-sia, karena penyebab riilnya justru ada dalam masyarakat.



0 komentar:

Posting Komentar