Minggu, 19 Juni 2011

"Can the Subaltern Speak?"

Salah satu karya Spivak yang menempatkannya sebagai teoritikus berpengaruh dalam studi pascakolonial berjudul “Can the Subaltern Speak?” menjelaskan tentang pernyataan Spivak yang menyatakan bahwa terdapat suatu “kekerasan epistemis” yang menimpa subaltern India. Istilah ”subaltern” diadopsi dari pemikir Italia, Antonio Gramsci, yang menggunakan istilah itu bagi kelompok sosial subordinat, yakni kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subyek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Dalam uraiannya Gayatri menjelaskan, sejarawan India Ranajit Guha dari Kelompok Kajian Subaltern mengadopsi gagasan Gramsci untuk mendorong penulisan kembali sejarah India yang kemudian mendefinisikan subaltern sebagai ”mereka yang bukan elite”. Gagasan Guha menggeser dikotomi ”menindas-ditindas” karena penindasan juga dilakukan oleh orang-orang di dalam kelompok. Gayatri Spivak, dalam tulisannya tentang sati, mempertegas gagasan Guha, sekaligus memberi peringatan kepada intelektual pascakolonial tentang bahaya klaim mereka atas suara kelompok-kelompok subaltern. Dari Guha, Spivak belajar mengenai penulisan kembali sejarah India dengan perspektif subaltern. Tidak hanya itu, Spivak juga mengikuti cara berpikir Guha yang keluar dari mainstream pemikiran dikotomis wacana kolonialisme “yang menindas-yang ditindas”, dengan menyebut kelompok subaltern sebagai “mereka yang bukan elite”, karena penindasan itu bisa saja datang dari anggota kelompok yang sama. Karena kesadaran dan eksistensi orang-orang terjajah umumnya menjadi inferior di hadapan penjajah yang lebih dikesankan memiliki superioritas. Merasa inferior, maka orang-orang terjajah lebih banyak diam dan bisu. Itulah mengapa Spivak mengatakan “dapatkah subaltern berbicara?” di hadapan penjajah yang lebih sering memaksakan kehendaknya.

Makanya, tidak perlu heran meskipun kolonialisme (penaklukan) fisik itu telah usai, namun penjajahan pikiran , jiwa, dan budaya masih terus berlangsung. Penjajahan pikiran (colonising the mind) termasuk senjata utama kalangan penjajah untuk membuat bangsa terjajah tunduk dalam kekuasaan. Dan, penjajahan model ini tidak mudah untuk dilawan. Artinya, kolonialisme itu, dalam kaca-mata para pengkaji postcolonial, akan diusahakan untuk tetap langgeng. Orang-orang terjajah akan senantiasa dimarginalkan, diasingkan, dibaca, serta dikendalikan oleh kaum imperialis penjajah. Serta mental mereka terus dirusak dengan stigma negatif sebagai bangsa kalah, terbelakang, miskin, dan lain sebagainya. Mengedepan lokalitas berarti menghargai identitas orisinal suatu peradaban tanpa harus menganggap benci perkembangan-perkembangan peradaban dunia. Lokalisasi ini bisa dikatakan sebagai counter-discourse bagi orang-orang bekas jajahan.

Spivak sampai pada kesimpulan bahwa kelompok-kelompok subaltern atau mereka yang tertindas memang tidak bisa berbicara. Karena itu seorang intelektual tidak mungkin bisa mengklaim dan meromantisir kemampuan mereka untuk menggali dan mencari suara kelompok-kelompok subaltern. Klaim-klaim semacam ini justru bersifat kolonial, karena ia menyamaratakan/menggeneralisasikan (menghomogenkan) keberagaman kelompok-kelompok subaltern, dan pada akhirnya ia (intelektual) menjadi sebuah “kekerasan epistemologis” terhadap kelompok-kelompok subaltern. Relasi yang tercipta antara intelektual dengan kelompok-kelompok subaltern itu seperti relasi “tuan-hamba” (Graves, 1998). Suara kelompok-kelompok subaltern tidak akan bisa dicari, karena mereka memang tidak bisa berbicara, karena mereka memang tidak bersuara. Intelektual datang bukan buat mencari suara itu, melainkan harus hadir sebagai “wakil” kelompok subaltern. Mengutip Gramsci, menurut Spivak intelektual mesti disertai “pesimisme intelek dan optimisme kemauan”: skeptisisme filosofis dalam memulihkan keagenan kelompok-kelompok subaltern yang disertai sebuah komitmen politis untuk menunjukkan posisi mereka yang terpinggirkan.

Kamis, 16 Juni 2011

Yamato Nadeshiko Versi Jawa


Ternyata tidak hanya Jepang yang memiliki tipe2 ideal atau kriteria ideal seorang perempuan yang hendak dijadikan istri. Masyarakat Jepang lumrah menyebutnya sebagai Yamato Nadeshiko atau seorang perempuan yang benar2 perempuan. Konstruksi perempuan oleh masyarakat Jepang inilah yang akhirnya melahirkan sosok perempuan penghibur (namun bukan dalam hal seks) yang bahkan martabatnya disinyalir lebih tinggi dari perempuan lainnya di Jepang, yaitu Geisha. Perempuan yang diidentifikasi sebagai yamato nadeshiko haruslah cantik, lembut, ramah, berbudi pekerti, mengerti seni, bersuara merdu, bersikap manja, pandai berdandan, pandai berpuisi dan berpantun serta dapat melayani seorang "suami" dgn sangat baik (patuh). Maka dari itu, kriteria perempuan idaman seperti ini sangat melekat pada diri Geisha. Geisha dan Giseang (Korea) pada dasarnya sama hanya bedanya, seorang Geisha tidak diperkenankan untuk kontak fisik (melayani seks) dgn sembarang lelaki. Hanya lelaki maha kaya yang telah menebus Geisha tersebut dari induk semang yang diperbolehkan untuk "tidur" dengannya. Sedangkan Giseang (dari buku sejarah Korea yg saya baca) tidak memiliki pakem tertentu yang melarang dirinya untuk berhubungan fisik dengan "pelanggannya".

Sebenarnya saya sangat tertarik utk mengulas lebih dalam mengenai sosok Geisha, karena isu2 yang beredar selama ini sangat berbeda dgn kisah asli dari Geisha yg saya baca dari beberapa literatur sejarah Jepang mengenai Geisha. Masyarakat acap kali menyamaratakan Geisha dgn PSK (saya sangat menentang penggunaan istilah "Pelacur"), padahal posisi keduanya dalam stratifikasi perempuan Jepang sangat jauh berbeda. Namun, ulasan mengenai Geisha bisa saya share lain kali :D...

Ketika membaca dan memahami mengenai sosok Geisha, saya teringat dengan "cerita" yang diwariskan secara turun temurun di kalangan keluarga Jawa -khususnya perempuan-. Tidak hanya Jepang yang memiliki Yamato Nadeshiko, Indonesia -khususnya Jawa- juga memiliki beberapa kriteria yang mengkonstruksikan bagaimana seharusnya perempuan berprilaku, yaitu:

1. Kusuma Wicitra
Ibaratnya bunga mekar yang sangat mempesona, yang siap untuk dipetik. Wanita yang ideal sebaiknya mempersiapkan dirinya dengan ilmu pengetahuan dan agama, mengharumkan dirinya dengan perbuatan baik, menjaga kehormatan dan kesucian dirinya.

2. Padma Sari
Ibaratnya bunga teratai yang sedang mekar di kolam. Bunga teratai dalam budaya Jawa merupakan simbul kemesraan, sehingga yang dimaksudkan dengan wanita ideal dalam konsep ini adalah wanita cantik yang penuh kasih mesra hanya bila bersama dengan suaminya.

3. Sri Pagulingan
Ibaratnya cahaya yang sangat indah di peraduan/singgasana raja. Wanita yang ideal sebaiknya tidak hanya cantik jasmaninya, namun juga dapat mempersembahkan dan menunjukkan kecantikannya hanya kepada suaminya ketika berolah asmara di peraduan.

4. Sri Tumurun
Ibaratnya bidadari nirwana yang turun ke dunia. Wanita yang ideal sebaiknya cantik raga dan jiwanya. Ini dibuktikan dengan kesediannya untuk “turun”, berinteraksi dengan rakyat jelata, kaum yang terpinggirkan untuk menebarkan cahaya cinta dan berbagi kasih.

5. Sesotya Sinangling
Ibaratnya intan yang amat indah, berkilauan. Wanita yang ideal sebaiknya selalu dapat menjadi perhiasan hanya bagi suaminya, sehingga dapat memperindah dan mencerahkan hidup dan masa depan suaminya, juga keluarganya.

6. Traju Mas
Ibaratnya alat untuk menimbang emas. Ini merupakan simbol wanita setia yang selalu dapat memberikan saran, pertimbangan, nasihat, demi terciptanya keluarga yang sakinah.

7. Gedhong Kencana
Ibaratnya gedung atau rumah yang terbuat dari emas, dan berhiaskan emas. Ini merupakan simbul wanita yang berhati teduh dan berjiwa teguh sehingga dapat memberikan kehangatan dan kedamaian bagi suami dan keluarganya.

8. Sawur Sari
Ibaratnya bunga yang harum semerbak. Wanita yang ideal sebaiknya dikenal karena kebaikan hatinya, keluhuran budi pekertinya, kehalusan perasaannya, keluasan ilmunya, kemuliaan akhlaknya. Kecantikan fisik dan kekayaan harta yang dimiliki wanita hanya sebagai pelengkap, bukan syarat mutlak seorang wanita ideal.

9. Pandhan Kanginan
Ibaratnya pandhan wangi yang tertiup angin. Ini merupakan simbul wanita yang amat menggairahkan, menawan, dan memikat hati. Dapat dilukiskan sebagai: tinggi semampai, berparas cantik, berkulit kuning langsat, berbibir merah alami, berpayudara montok, murah senyum, tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus, dapat memberikan keturunan.

Dalam Serat Yadnyasusila dijelaskan tentang tiga hal yang harus dimiliki oleh seorang wanita agar dapat menjadi wanita idaman:

1.Merak ati atau mrak ati
Berarti: membina kemanisan dengan mempercantik dan merawat diri (ngadi warni), memperindah busana (ngadi busana), berwajah ceria (ngadi wadana), murah senyum (sumeh), santun dalam bertutur kata (ngadi wicara), dan sopan serta luwes dalam berperilaku (ngadi solah bawa).

2.Gemati
Berarti siap untuk merawat, mengasuh, mendidik putra-putrinya, mengatur rumah tangga, melayani suami dengan penuh keikhlasan.

3.Luluh
Berarti mampu selalu menyenangkan hati suaminya, selalu menyediakan waktu setiap hari untuk suami dan anak-anaknya, sabar dan gembira saat mengasuh anak-anaknya, dan selalu berusaha menciptakan keseimbangan dan keharmonisan dalam keluarganya.

Untuk memilih (menikahi) wanita, dalam tradisi Jawa ada beberapa faktor yang biasanya menjadi bahan pertimbangan:

1.Bibit
Berkaitan dengan kecantikan wanita baik secara lahiriah maupun batiniah.

2.Bebet
Berkaitan dengan kemampuan dan kekayaan ayah wanita yang akan dinikahi.

3.Bobot
Berkaitan dengan asal-usul atau keturunan wanita yang akan dinikahi.

Di dalam buku Suluk Tambangraras yang di tulis pada tahun 1809 atas permintaan Raja Paku Buwana V. Digambarkan bahwa sosok wanita jawa itu seperti lima jari (saya mengistilahkannya sebagai Falsafah Lima Jari). Ibarat jempol, istri harus pol mengabdi kepada suami. Ibarat Jari telunjuk, istri harus mentaati perintah suami. Ibarat panunggul (jari tengah), istri harus bangga akan suaminya, bagaimanapun keadaannya. Ibarat jari manis, istri harus selalu bersikap manis dengan suami. Dan ibarat jejenthik (jari kelingking), istri harus selalu berhati-hati, teliti, rajin dan terampil dalam melayani suami dan anak2nya.

Oleh karena itu secara garis besar, wanita jawa pada umumnya memiliki sifat dasar penurut, setia, lembut. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana sikap mereka dalam menghargai laki-laki. Tidak banyak menuntut dan mematuhi suami. Kalaupun ada bentuk protes yang ingin disampaikan kepada suami, cenderung dengan cara yang lembut dan penuh kasih sayang. Sifat dasar berikutnya adalah hemat dan mau hidup susah. Hal ini bisa dilihat dalam kesederhanaan penampilan kesehariannya. Terutama wanita-wanita yang memang masih bertahan hidup di jawa. Mereka tidak berlebihan dalam berpenampilan. Cenderung hemat dan mau diajak bersama-sama memulai kehidupan dari nol meskipun dengan susah payah. Dan sifat mendasar yang terakhir adalah tangguh, pekerja keras dan pantang menyerah. Bukan pemandangan aneh, saat kita berada pada daerah pedesaan, dapat kita temui wanita-wanita jawa bekerja di sawah atau bahkan disektor industri kecil guna menopang ekonomi rumah tangganya.

Sebenarnya bukan tanpa alasan, ketika seorang anak perempuan diharapkan mewarisi sifat-sifat seperti tersebut di atas. Karena bagi masyarakat jawa sendiri, untuk bisa berhasil menjadi wanita yang ideal, yang akan membawanya berhasil dalam menjalankan segala perannya, maka wanita jawa harus memenuhi watak-watak yang bisa mendukungnya mencapai sebuah keberhasilan.Yang pertama adalah watak wedi, yang artinya kerelaan, kepatuhan kepada suami, tidak mudah mencela, membantah atau menolak pembicaraan dengan cara yang tidak santun. Kemudian adalagi watak gemi. Atau biasa dikenal dengan istilah gemi nastiti ngati ati. Ini adalah sifat hemat, tidak boros dan selalu bersyukur dengan nafkah yang diberikan oleh suami, berapapun itu. Berhati-hati dalam berkata-kata dan pandai menyimpan rahasia dan harta suami. Dan yang terakhir adalah watak gemati atau sifat penuh kasih sayang. Salah satunya adalah dengan memanjakan suami dan keluarga. Berusaha memahami apa yang disuka dan tidak disuka oleh suami. Mungkin alasan ini juga lah yang menjadikan wajib pelajaran memasak bagi anak-anak perempuan dalam masyarakat jawa. Di jaman yang segalanya mudah mendapatkan ini, tetap saja membuat masakan sendiri makanan untuk keluarga adalah sebagai ungkapan kasih sayang seorang istri kepada suami dan anak-anaknya.

Dari uraian di atas, kita dapat melihat betapa banyaknya aturan yang harus dipatuhi oleh seorang perempuan. Terkesan, seorang perempuan adalah sosok makhluk no 2 setelah laki-laki yang harus selalu mengalah dan diam dalam menghadapi keegoisan laki-laki. Namun saya merasa tidak seperti itu, walaupun terkesan lemah dan tertindas akan tetapi, dengan kehalusan sisi femininnya, ia dapat memberikan pengaruh yang tidak menekan namun tetap menimbulkan kepatuhan dari suami dan anaknya. Kekuatan dimunculkannya tidak dengan agresivitas atau secara keras (selain karena hal ini dianggap tidak baik dalam kultur Jawa), namun cukup dengan ketenangan dan kehalusan (sisi femininnya). Kaum lelaki pun tanpa disadari telah berada dalam pelukan kekuasaan wanita, dan tidak jarang merelakannya.

Kajian ini menjadi salah satu contoh yang bagus dalam menggunakan konsep postkolonial, dimana tidak semua teori dari Barat dapat kita terapkan dalam menganalisis fenomena yang terjadi di wilayah Timur...-ini hanya buah pemikiran saya sebagai seorang feminis timur yang berpendapat bahwa perempuan Timur tidaklah sepenuhnya teropresi :D-