Minggu, 30 Januari 2011

Oleh-Oleh Dari TIM

wow...ni hari cukup menyenangkan bagi gw, tadi siang sebelum kumpul organisasi gw menyempatkan diri 'memaksa' temen gw buat nemenin jalan ke TIM. Tujuan awal sih buat nonton di planetarium tapi apa daya karena proyektor'a mengalami kerusakan jadi teater pertunjukkan di planetarium utk sementara ditutup huhuhuhu T_T....

akhir'a sembari nyari toilet karna temen gw da 'panggilan alam', ga sengaja kami nemuin satu spot yang keren bgt!!! tempat itu adalah sebuah panggung yang berada persis di samping Musholah TIM. Di panggung tersebut ternyata sedang diadakan pertunjukkan tarian daerah Bali lengkap dengan musik yang mengalun dari alat musik tradisionalnya :D...Tarian tersebut dibagi menjadi beberapa sesi dimana para anggota tarian tersebut berasal dari berbagai usia (dari usia sekitar 8th-16th) dan jenis kelamin (ga hanya perempuan yang ikut nari tapi ada penari prianya juga), anak-anak tersebut menarikan tarian daerah Bali dengan sangat luwes dan gemulai (ada beberapa gerakan yang salah sih tapi melihat kesungguhan mereka dalam melakukan tarian tersebut kesalahan itu menjadi tidak terlihat). Yang paling menarik adalah ketika di dalam tarian tersebut tersembul sesosok bule berusia dewasa yang dengan lincah dan antusiasnya memperagakan tarian daerah khas Indonesia itu, terkadang gw malu loh dengan keengganan generasi muda jaman sekarang untuk mempelajari budaya negeri sendiri padahal banyak orang-orang mancanegara yang amat sangat mengagumi budaya kita ckckckck...ga heran apabila banyak budaya kita yang diklaim dengan seenaknya ma negara lain (lah wong kita juga dengan seenaknya melupakan serta menyepelekan budaya kita sendiri ;p)
*klo gw punya anak, gw pasti akan m'agendakan les tari daerah sebagai salah satu kurikulum yang wajib bwt dipelajari!!

Menurut gw sih kegiatan pelestarian budaya (les tari daerah salah satunya) ibarat oase di tengah gurun globalisasi, tantangan untuk negara multikultural seperti Indonesia di tengah gempuran arus globalisasi ini adalah bagaimana caranya mempertahankan dan melestarikan budaya tradisional sebagai identitas bangsa agar tidak hilang? dengan kegiatan les tari daerah (serta merevitalisasi bahasa daerah yang sekarang marak digalakkan di beberapa sekolah unggulan di Indonesia) merupakan suatu solusi yang tepat untuk menciptakan negara multikultural yang ber-Bhineka Tunggal Ika...

Hmmm...sepertinya tempat 'nongkrong' gw bertambah 1 lagi nih hohoho, selain toko buku+kios2 makanan nampaknya TIM patut gw jadikan basecamp gw tiap weekend ni huahahaha (gw udah tw soal'a jalan ke arah TIM dari stasiun Cikini ;D).

Jadi teringat masa SD gw yang diwarnai dengan kegiatan les tari daerah di sekolah, gini-gini gw pernah juara nari Bali tingkat SD loh di TMII huehehehe (sombooooonnnggggg) tapi karena waktu SMP ekskul tersebut ga dibuka maka gw berubah haluan jadi ikutan ekskul Pramuka deh (lumayan lah cz gw aktif sampai tingkat DKP alias Dewan Kehormatan Pramuka hohoho)...hahhh jd kangen masa-masa jadi 'penari' deh hehehe, kira-kira masih lentur ga yaa badan gw?? hmmmm..






*mohon maaf yaa apabila leher anda jadi pegel abisnya gw salah ambil posisi tadi pas ngerekam huehehe

Jumat, 28 Januari 2011

Alzheimer


Dengan diiringi lagu sendu milik Joy Enriquez yang berjudul How Can I'm Not Love You, gw mulai berpikir untuk searching suatu penyakit yang belakangan ini nampak familiar bagi gw. Udah beberapa film yang gw tonton selalu menceritakan tentang kehidupan penderita Alzheimer dan klo gw cermati dampak dari penyakit ini bener-bener mengerikan. dimulai dari hilangnya memori mengenai hal-hal sepele seperti: alamat rumah, barang-barang yang ia bawa, dll sampai memori tentang hal besar seperti keluarga, bahkan yang paling parah adalah ketika si penderita mulai lupa akan identitas dirinya sendiri. Film-film seperti Note Book, Remember Me, Now and Forever, Daddy Long Legs, dsb menceritakan kisah seputar penyakit ini dan jujur film-film tersebut sukses menguras air mata gw (Aih..aih)...Film-film itulah yang membuat gw penasaran dan mulai tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang penyakit 'mengerikan' ini, dengan semangat 45 (halah...berasa perang kemerdekaan aje hahaha) gw mulai mencari informasi mengenai ALZHEIMER.

Penyakit Alzheimer merupakan salah satu bentuk demensia yang paling sering ditemukan di klinik. Demensia adalah gejala kerusakan otak yang mengganggu kemampuan seseorang untuk berpikir, daya ingat, dan fungsi berbahasa. Hal tersebut membuat pasien demensia kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

Nama penyakit Alzheimer berasal dari nama Dr. Alois Alzheimer, dokter berkebangsaan Jerman yang pertama kali menemukan penyakit ini pada tahun 1906. Dr. Alzheimer memperhatikan adanya perubahan jaringan otak pada wanita yang meninggal akibat gangguan mental yang belum pernah ditemui sebelumnya. Pada jaringan otak tersebut ditemukan lapisan atau plaque dan serabut saraf yang tidak normal. Penyakit Alzheimer paling sering ditemukan pada orang tua berusia sekitar 65 tahun ke atas. Di negara maju seperti Amerika Serikat saat ini ditemukan lebih dari 4 juta orang usia lanjut penderita penyakit Alzheimer. Angka ini diperkirakan akan meningkat sampai hampir 4 kali di tahun 2050. Hal tersebut berkaitan dengan lebih tingginya harapan hidup pada masyarakat di negara maju, sehingga populasi penduduk lanjut usia juga bertambah.

Demensia Alzheimer merupakan salah satu bentuk demensia akibat degenerasi otak yang tersering ditemukan dan paling ditakuti. Demensia yang disebabkan oleh Alzheimer, biasanya diderita oleh pasien usia lanjut dan merupakan penyakit yang tidak hanya menggerogoti daya pikir dan kemampuan aktivitas bagi penderitanya, namun juga menimbulkan beban bagi keluarga yang merawatnya. Demensia Alzheimer dikategorikan sebagai penyakit degeneratif otak yang progresif yang mematikan sel-sel otak sehingga mengakibatkan menurunnya daya ingat, kemampuan berpikir dan perubahan perilaku. mengingat beban yang yang ditimbulkan penyakit ini, masyarakat perlu mewaspadai gangguan perilaku dan psikologik penderita demensia Alzheimer.

Menurut dr. Samino, SpS (K), Ketua Umum Asosiasi Alzheimer Indonesia (AAzI), alzheimer timbul akibat terjadinya proses degenerasi sel-sel neuron otak di area temporo-parietal dan frontalis. "Demensia Alzheimer adalah penyakit pembunuh otak karena mematikan fungsi sel-sel otak," ujarnya dalam edukasi tentang Alzheimer beberapa waktu lalu.

Deteksi dini adalah hal penting dalam mengatasi Alzheimer, tetapi faktanya seringkali sulit dilakukan karena gelaja kemunduran kerap dianggap sebagai suatu hal yang lumrah. Pasien biasanya hanya menunjukkan gejala biasa seperti lupa, tetapi kemudian berkembang progresif menjadi parah dan memperburuk fungsi kognitif dan fungsi mental lainnya. Kejanggalan awal biasanya dirasakan oleh penderita sendiri, mereka sulit mengingat nama atau lupa meletakkan suatu barang. Mereka juga sering kali menutup-nutupi hal itu dan meyakinkan diri sendiri bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia mereka.

Berikut adalah beberapa tanda atau gejala yang patut diwaspadai kemungkinan hadirnya penyakit pembunuh otak :

- Kemunduran memori/daya ingat.
- Sulit melaksanakan kegiatan / pekerjaan sederhana
- Kesulitan bicara dan berbahasa.
- Disorientasi WTO (Waktu – Tempat – Orang)
- Sulit dalam berhitung
- Salah meletakan benda
- Penampilan buruk karena lupa cara berpakaian atau berhias
- Perubahan emosi dan perilaku.
- Gangguan berfikir abstrak. Kemampuan imajinasi penderita terganggu.
- Hilang minat dan inisiatif. Cenderung menjadi pendiam, tak mau bergaul, menyendiri.
- Tidak bisa membedakan berbagai jenis bau-bauan (tanpa penyebab lain misalnya flu, trauma otak, tumor otak).

Perlu diketahui bahwa umumnya Alzheimer memang menyerang lansia di atas 60th namun tidak menutup kemungkinan jika generasi muda (kisaran usia dewasanya) terjangkit penyakit ini.

Namun untuk negara penghasil rempah-rempah seperti Indonesia yang banyak menggunakan kunyit sebagai salah satu campuran bumbu masakan, tidak perlu khawatir karena kunyit juga bermanfaat untuk menjauhkan kita dari penyakit Alzheimer.

Satu penelitian menunjukkan orang-orang yang mengonsumsi banyak kunyit, pada hakekatnya jarang yang terkena Alzheimer.

"Di negara-negara di mana orang-orangnya mengonsumsi banyak (kunyit), kejadian penyakit Alzheimer sangat rendah. Di India dan Asia Tenggara, penyakit itu jarang. Dan (di Amerika Serikat) itu sangat, sangat biasa," kata Chris Kilham seorang pemburu obat dalam wawancara dengan Fox News, seperti dikutip dari Natural News.

Kilham menjelaskan bahwa akar kunyit, yang juga dikenal dalam bentuk ekstrak yang disebut curcumin, merupakan salah satu rempah-rempah yang berguna dalam mencegah munculnya Alzheimer dan bahkan mengobatinya.

"Orang yang menderita penyakit Alzheimer memiliki plak yang melekat di otak disebut amyloid beta, Beberapa plak juga berkembang karena Alzheimer, atau karena menjadi penyebab langsungnya. Tetapi, plak-plak itu secara langsung berkaitan dengan proses degeneratif," jelas Kilham.

Penelitian menunjukkan bahwa kunyit benar-benar melenyapkan plak-plak ini, baik saat plak itu mulai terbentuk dan bahkan selama tahap akhir dari perkembangan plak.

"Apa yang ada dalam kunyit adalah sesuatu yang tampak untuk menghalangi perkembangan penyakit Alzheimer dan benar-benar membantu mengurangi keberadaan plak dalam otak bila anda memilikinya. Kami tahu dalam penelitian terhadapa binatang, saat binatang benar-benar memiliki plak "amyloid beta" dalam otak mereka dan mereka diberi akar kunyit plak itu berkurang."

Waahhh...ternyata Alzheimer memang bener-bener penyakit yang 'mengerikan' yaa??? gimana jadinya coba kalo kita yang mengidap penyakit itu terus sampai melupakan semua memori indah&sedih yang terjadi dalam hidup kita? heuh ga kebayang deh...tapi sebenernya gw juga sempet khawatir sih sama diri gw soalnya akhir-akhir ini gw sering banget ngelupain sesuatu -mulai dari yang sepele sampai yang penting-, contoh paling gampang adalah gw sering banget lupa sama tanggal & hari, apa yang musti gw bawa/lakukan pada hari ini, omongan yang hendak gw kemukakan. Pernah waktu lagi ngajar, penjelasan yang gw kemukakan harus berhenti di tengah-tengah gara-gara gw lupa apa yang mau gw omongin ckckckck...makanya akhir-akhir ini gw punya inisiatif untuk mulai nyatet segala sesuatu yang terjadi & perlu gw inget melalui tulisan fuuhhhh

Mudah-mudahan aja kejadian yang gw alami ini bukan merupakan suatu penyakit (ga lucu banget klo gw sampai lupa sama diri sendiri huahahahaha) melainkan hanya dampak dari tekanan aktivitas yang gw jalanin hehehe...oke deh, semoga bermanfaat postingan dari gw ini :D


Sumber:

  • kompas.com
  • tempo interaktif
  • Asosiasi Alzheimer Indonesia
  • wikipedia


General Lecture and Round Table Discussion With Mr.Sitas :D


Profil pembicara Ari Sitas adalah seorang profesor sosiologi di University of Cape Town, Afrika Selatan. Ia pernah menjadi Wakil Presiden International Sociological Association (ISA) dan Presiden South African Sociological Association serta senior fellow dan research associate pada beberapa lembaga seperti University of California, Berkeley dan Oxford University. Ia juga seorang aktivis gerakan anti Apartheid, penyair dan dramawan. Gagasan-gagasan pemikirannya tumbuh kuat dari pengalaman empirisnya di dalam gerakan buruh maupun gerakan-gerakan sosial lainnya yang berbasis komunitas baik pada masa dominasi politik Apartheid maupun pasca Apartheid. Ia juga menekuni perdebatan tentang pembedaan antara variabel-variabel keras dengan variabel-variabel lunak di dalam menganalisis dimensi-dimensi struktural dan kultural di dalam masyarakat. Pemikiran-pemikirannya itu memberikan perspektif yang penting mengenai kaitan antara gerakan-gerakan sosial dengan dinamika struktural dan kultural di dalam masyarakat. Beberapa karya pentingnya antara lain (2008) The Ethic of Reconciliation, ( Madiba Press/Centre for the Study of Social Systems, New Delhi). “30 Years Since the Durban Strikes: Black Working Class Leadership and the South African Transition”. Current Sociology, 2004. Melengkapi karya-karya akademis dan aktivismenya, ia juga menghasilkan karya-karya seni yang terinspirasi dari berbagai pengalaman dan pemikiran sosial dan politiknya.

Diskusi yang mengusung tema Rethinking Social Movements: Lessons Learned From South African Experiences ini termasuk cukup memukau karena selain pembicaranya adalah seorang kaukasoid namun menjadi aktifis anti-apartheid, penjelasan yang beliau kemukakan mengenai gerakan sosial di Afsel pun memuaskan. Namun sayang, gw ga begitu interest dengan tema ini sebenarnya karna menurut gw Afsel adalah sebuah negara boneka pihak Eropa (terutama Perancis)..

Prof. Ari Sitas, PhD menjelaskan bahwa sesungguhnya globalisasi telah membawa perubahan bagi manusia dalam berbagai bidang, seperti: jaringan, konsumsi, komunikasi maupun kehidupan kita secara keseluruhan. Dunia ini diibaratkan seperti 'Black Hole' informasi => selaras dengan teori yang dikemukakan oleh Durkheim mengenai Division of Labour, dimana kehidupan manusia mulai terspesialisasi (khususnya pekerjaan) hal inilah yang (menurut Durkheim) mengintegrasikan masyarakat akibat dari saling ketergantungan satu sama lain. Menurut Sitas, globalisasi justru mencuatkan tantangan berupa krisis sehingga kita sebagai masyarakat dituntut untuk bagaimana mengimplementasikan ekonomi dunia yang anti krisis & anti colaps? Menurut beliau, dalam kasus ini beberapa negara di Asia telah berperan aktif dalam menciptakan ekonomi negara yang anti krisis, negara tersebut antara lain China, India dan Korea.

Untuk mengatasi dampak negatif globalisasi dunia, Sitas menawarkan solusi berupa rewiring => tidak merubah secara transformatif sistem dunia melainkan cukup 'menyetel ulang' atau mereformasi saja. Namun menurut gw solusi yang ditawarkan oleh Sitas tidak menjawab tantangan globalisasi bagi negara berkembang seperti Indonesia karena jika hanya melakukan rewiring/reformasi saja maka hal tersebut tidak akan mengubah secara signifikan tatanan ekonomi negara berkembang. Rewiring hanya dimungkinkan jika kondisi negara termasuk ke dalam negara maju.

Ketika mulai membahas mengenai gerakan sosial di Afsel, Sitas mengatakan bahwa Afsel mulai kembali menggeliat pasca hilangnya sosok pemimpin seperti Nelson Mandela. Namun menurut gw pembicaraan mengenai gerakan sosial di Afsel merupakan suatu penelitian yang sia-sia karena jika ditilik secara seksama maka Afsel bukanlah 'murni' negara ras negriod yang selama ini di-under estimate-kan sebagai ras yang under dog!! klo menurut asumsi gw, Afsel justru menjadi negara boneka yang digerakkan oleh tangan-tangan Eropa. Makanya ketika ada seorang peserta diskusi yang bertanya mengenai apa landasan ideologi masyarakat negroid Afsel yang selama ini 'terjajah' melakukan social movements, Prof. Sitas tidak bisa menjawabnya...Ini membuktikan bahwa pada dasarnya yang melakukan gerakan sosial bukanlah murni warga negroid Afsel

Yang membuat gw tertarik dengan diskusi ini adalah ketika seorang peserta mempertanyakan apakah Wikileaks dapat dikategorikan sebagai suatu gerakan sosial masyarakat? Prof. Sitas menjawab bahwa Wikileaks adalah merupakan salah satu bentuk gerakan sosial dari masyarakat karena ada semacam 'perlawanan' yang ditujukan kepada sistem pemerintahan dunia kapitalis oleh masyarakat proletar...Berbeda dengan keberadaan Facebook dan Twitter yang hanya sekedar menyatukan jaringan dari berbagai belahan dunia saja, Wikileaks memiliki tujuan-tujuan yang cukup fundamental terhadap perubahan dalam bidang sosial-politik. Terakhir, Prof. Sitas berpesan bahwa di era globalisasi yang menjangkiti dunia ini, kita tidak perlu berpikir terlalu global..justru kita harus tetap berpegang pada values lokal agar identitas kebangsaan kita tidak punah karena bagi negara multikultur seperti Indonesia, tantangan terberat yang harus dihadapi selain krisis ekonomi adalah mempertahankan identitas kebangsaan kita yang sangat beragam ini
*jangan2 Prof. Sitas nyadar nih klo orang Indonesia ga cinta ma produk negara sendiri huehehehe, terbukti dari senangnya masyarakat Indonesia mengidentifikasi dan mengadopsi budaya Barat sebagai kepribadian bangsa ckckckckck

Yah intinya, general lecture yang diadakan kemarin (27/01/11) keren deh..walaupun b.inggris gw terbilang pas-pasan setidaknya inti dari pembicaraan kemarin masih bisa gw simpulkan huehehehe

Selasa, 25 Januari 2011

Perempuan Punya Cerita

Baru-baru ini saya berhasil m'dapatkan sebuah film dokumenter (thanks to my ex-student chandra yg sudah m'download film ini utk saya :D) yang berjudul 'Perempuan Punya Cerita', film produksi Kalyana Shira Film yang b'kolaborasi dengan 4 penulis wanita muda b'bakat ini (Nia Dinata, Melissa Karim, Lasja F. Susatyo & Fatimah T. Rony) mengusung tema mengenai violence against women & ketidakadilan gender

Film ini terbagi dalam 4 scene dengan jalan cerita yang berbeda-beda namun tetap mengerucut ke dalam satu tema yaitu KETERSUDUTAN WANITA, ketidakadilan gender yang d'alami oleh wanita dalam 4 scene ini berbeda-beda d'lihat dari lokasi, waktu dan bentuk..

Cerita Pulau
Berkisah tentang seorang bidan bernama Sumantri (Rieke Dyah Pitaloka) yang mengabdikan diri untuk bekerja di sebuah pulau terpencil dimana masyarakatnya sangat memegang teguh adat, ia memiliki seorang anak angkat bernama Wulan (Rachel Maryam) yang mengidap keterbelakangan mental dan sangat tertarik dengan sesuatu yang dapat mengeluarkan cahaya. Sumantri di vonis mengidap penyakit kanker payudara dan dianjurkan untuk berobat di RS kota, hal ini tidak dapat ia lakukan dengan pertimbangan pengabdian diri serta keluarga (terutama Wulan). Awalnya kehidupan Sumantri dan keluarga berjalan baik sampai kehadiran 3 orang pemuda Jakarta yang berkunjung ke pulau tersebut, ke-3 pemuda tersebut memperkosa Wulan yang akhirnya mengakibatkan kehamilan pada diri wanita keterbelakangan mental tersebut. Parahnya ke-3 pemuda tersebut justru secara gamblang menyepelekan tindak pemerkosaan yang mereka lakukan, sikap hedonis telah membutakan mata mereka. Mengingat kondisi Wulan yang tidak memungkinkan untuk membesarkan seorang bayi serta kondisinya sendiri yang tidak memiliki usia panjang membuat Sumantri memutuskan untuk mengaborsi kandungan Wulan. Hal ini tentu mendapat perlawanan dari warga sekitar yang menganggap bahwa aborsi adalah perbuatan 'bejat' yang tidak dapat dimaklumi apapun alasannya. Ending dari kisah ini adalah pihak pemerkosa beserta pengacaranya memberikan sejumlah uang sebagai biaya ganti rugi atas keperawanan yang telah terenggut & tindakan tersebut didukung oleh warga sekitar yang justru lebih mempersoalkan masalah aborsi yang dilakukan Sumantri ketimbang tindak pemerkosaan pemuda Jakarta tersebut. Uang telah membutakan segalanya..

Cerita Yogya
Berkisah mengenai kehidupan seks bebas remaja di perkotaan (dalam kisah ini Yogyakarta) sebagai implikasi dari kemajuan teknologi berupa internet. Luasnya akses internet dan kurangnya sex education, menyebabkan Safina (Kirana Larasati) dkk bereksperimen sendiri dengan seks...Internet dan dvd porno menjadi acuan mereka dalam 'mempelajari' seks. Hal ini membuat seorang wartawan bernama Jay Anwar (Fauzi Baadilah) tertarik mengangkat permasalahan ini ke permukaan umum. Dengan berbekal pengetahuan seks yang minim akan dampak negatif dari hal tersebut, para remaja ini mempertaruhkan masa depannya...apa yang terjadi? kehamilan di luar nikah, pernikahan dini, serta penyepelean pihak pria terhadap apa yang terjadi pada diri wanita setelah perbuatan hedon tersebut menjadi aib bagi keluarga dan sekolah (diri sendiri tentunya) yang mewarnai kehidupan mereka. Siapa yang patut disalahkan??...

Cerita Cibinong
Berkisah mengenai kehidupan Esi (Shanty) seorang pembersih WC di klab malam dangdut yang bekerja keras untuk membiayai hidup dan pendidikan putrinya, Maesaroh (Ken Nala Amrytha). Esi nyaris putus asa saat mendapati kekasihnya, Narto melakukan pelecehan seksual kepada Maesaroh. Beruntung, Cicih (Sarah Sechan), primadona klab memberikan perlindungan dan tempat tinggal. Saat membangun kembali mimpinya, Esi diharuskan menghadapi kenyataan pahit bahwa Cicih dan Maesaroh terjerat sindikat perdagangan perempuan dimana Cicih tergiur seorang mucikari yang menjanjikan pekerjaan untuknya dan Maesaroh untuk bekerja sebagai enterteiner di Batam. Maesaroh yang memiliki keinginan kuat untuk mengubah kehidupan Esi dan dirinya sendiri dari segi ekonomi menyetujui ajakan tersebut tanpa persetujuan ibunya. Kenyataan berkata lain, angan-angan Maesaroh untuk mengubah nasib tinggallah impian ketika ia harus menghadapi realita bahwa dirinya dijual secara ilegal untuk dijadikan 'pengantin' wanita bagi pria Taiwan...tidak berbeda dengan nasib Maesaroh, Cicih pun harus menghadapi kenyataan impiannya pupus di tengah jalan ketika ia dipaksa untuk menjadi PSK. Tinggallah Esi yang meratapi nasibnya atas kejadian tersebut...

Cerita Jakarta
Laksmi (Susan Bachtiar) seorang janda beranak satu yang kehilangan suaminya akibat mengidap HIV/AIDS. Penyakit tersebut diidap suaminya akibat dari kebiasaan sang suami dalam mengkonsumsi narkoba dan seks bebas, sang suami akhirnya meninggal dalam keadaan OD. Keadaan semakin parah saat dirinya tertular penyakit tersebut dan pihak keluarga suaminya bersikeras mengambil alih hak asuh putri mereka, Belinda (Ranti Maria). Tidak hanya sampai di situ saja, Laksmi juga harus menghadapi cacian dan hinaan dari keluarga sang suami yang menyalahkan serta melimpahkan tanggung jawab atas kematian sang suami kepada dirinya. Naluri seorang Ibu membuatnya bertahan untuk mengasuh Belinda, namun mengasuh anak dengan kondisi yang makin lemah dan tanpa penghasilan, membuat Laksmi mengambil keputusan besar, demi memberikan yang terbaik bagi Belinda dan dirinya...

Dari ke-4 scene cerita di atas dapat kita lihat bahwa kekerasan terhadap wanita -baik dalam segi fisik maupun psikis- mewarnai kehidupan wanita apapun keadaan dan alasannya. Ke-4 cerita tersebut walaupun berbeda namun mengarah pada satu titik yaitu Ketersudutan Wanita, dimana wanita seolah ditempatkan pada posisi "yang bersalah". Pria sebagai 'makhluk setengah dewa' dianggap SAH saat "mempertanggungjawabkan" perbuatannya dengan sejumlah uang maupun kematian sedangkan wanita yang menjadi korban justru dituntut untuk menjadi pelaku atas kejahatan tersebut!! Fitnahan, cacian, makian, penyesalan, kesakitan, dan pengorbanan harus ditanggung oleh pihak wanita. Hal ini tiada lain karena di dalam dunia patriarki wanita dianggap 'Liyan' atau 'other', seorang 'Liyan' yang disosialisasikan sebagai makhluk lemah dan tanpa daya tidak memiliki wewenang untuk melawan kekuasaan pria yang pada dasarnya adalah sebuah konstruksi masyarakat...Tulisan ini bukanlah suatu petisi ataupun argumen untuk menjatuhkan dominasi kaum pria melainkan hanya sebuah pengetahuan yang semoga dapat dijadikan sebagai pembelajaran bagi masyarakat -baik pria maupun wanita, terutama remaja- mengenai pentingnya kesetaraan gender. Tulisan inipun juga menjadi sebuah kritik saya terhadap teori yang dikemukakan oleh feminis Dunia Pertama (feminis barat) -khususnya teori feminis Marxian - yang menganggap bahwa ketidakadilan dalam pembagian kerja-lah sebagai faktor utama terjadinya opresi terhadap wanita, faktor ekonomi ataupun pendapatan (sebagai akibat dari pembagian kerja, pria=>ranah publik sedangkan wanita=>ranah privat/domestik) bukanlah faktor tunggal dan utama yang menyebabkan terjadinya violence against women melainkan ada faktor-faktor lain seperti kultur, culture shock & cultural lag akibat dari modernisasi, dll yang menjadi pendorong terjadinya ketidakadilan gender di Indonesia.

Remaja sebagai generasi muda Indonesia yang sangat berpotensi dalam memajukan bangsa merupakan tokoh penting yang harus dibina sedini mungkin. Sosialisasi mengenai penyetaraan peran antara pria dan wanita serta sex education saya rasa merupakan solusi yang cukup baik dalam meminimalisir terjadinya ketidakadilan gender yang mengarah pada kekerasan terhadap wanita di Indonesia. Apalah gunanya mengubah paradigma seorang yang dewasa? akan lebih mudah jika kita membina mental dan moral generasi muda yang belum terkontaminasi akan 'kotor'nya asam garam dunia..Tidak hanya bagi remaja putri saja yang harus kita tanamkan prinsip pentingnya menjaga 'purity' melalui keperawanan yang masih amat dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia melainkan juga penting kiranya apabila remaja putra juga ditanamkan prinsip bagaimana pentingnya menghargai harkat dan martabat seorang wanita serta bagaimana menjadi pria sebagaimana layaknya pria yang dikonstruksikan oleh masyarakat (wanita=>lemah, cengeng, lembut, penuh perasaan, emosian, dll; pria=>kuat, terdidik, gagah, pemimpin, dll). Wanita bukanlah property milik pria yang bisa seenaknya dinjak-injak dan disepelekan keberadaannya dalam hidup ini melainkan juga sosok makhluk rasional yang dapat bersaing dengan pria dalam segala bidang. Manusia (baik pria dan wanita) bukanlah makhluk otonom yang dapat berdiri sendiri, kita adalah makhluk yang saling ketergantungan satu sama lain sehingga antara pria dan wanita terbentuk suatu hubungan yang equal dan saling timbal balik.

Nb: mohon maaf apabila terdapat kesalahan dan ketidakpuasan dalam menganalisis permasalahan ini (maklum akibat keterbatasan otak/pengetahuan serta kebisaan menumpahkan isi pemikiran ke dalam tulisan yang amat sangat kurang dari saya hehehe) :D:D:D

Senin, 10 Januari 2011

Analisis 'Suicide' Emile Durkheim


Karya besar Durkheim mengenai bunuh diri ini merupakan usaha beliau untuk menguji pandangannya tentang fakta sosial. Durkheim mendefinisikan “bunuh diri” sebagai:

“…semua kasus kematian yang disebabkan, baik secara langsung maupun tidak
langsung oleh tindakan positif maupun negatif pelakunya. Dan sang pelaku
tahu bahwa tindakan ini akan menyebabkan kematiannya”.

Telaah tentang bunuh diri sendiri bukan hal yang baru pada saat Durkheim melakukan studinya. Pada masa itu ada dua tafsiran yang umum dikenal tentang penyebab bunuh diri, yaitu: tafsir gangguan psikologis, tafsir biologis dan tafsir ekologis. Dalam tafsir gangguan psikologis, bunuh diri dilihat sebagai gejala individual yang terjadi karena pelakunya menderita gangguan mental.
Bunuh diri menurut tafsir psikologis disebabkan oleh empat tipe gangguan mental, yaitu:

1.Maniacal suicide, yaitu bunuh diri yang disebabkan oleh halusinasi.

2.Melancholy suicide, yaitu bunuh diri yang dilakukan oleh orang yang berada dalam keadaan depresi berat dan kesedihan yang meluap-luap.

3. Obsessive suicide, yaitu kasus-kasus bunuh diri yang tidak dilandaskan pada motivasi
tertentu, tetapi dilandaskan semata-mata pada obsesi yang begitu kuat kematian terhadap
kematian.

4. Impulsive atau automatic suicide, yaitu tindakan bunuh diri yang semata-mata dilandaskan
pada dorongan impulsif.

Menurut Durkheim, tafsir psikologis ini susah untuk dipertanggungjawabkan kebenarannya karena tidak semua pelaku bunuh diri mengalami gangguan psikologis. Berdasarkan data yang dikumpulkan Durkheim, terlihat adanya hubungan di antara kasus bunuh diri dengan cirri-ciri sosial pelakunya. Beberapa cirri tersebut yaitu:
1. Jenis kelamin
2. Agama
3. Usia
4. Asal Negara

Singkatnya, bunuh diri itu bukan sekedar dampak dari faktor-faktor psikologis.
Sebagaimana dengan tafsir psikologis, Durkheim juga menolak anggapan tafsir biologis yang menganggap adanya hubungan di antara kasus bunuh diri dengan ras dan asal-usul keturunan pelakunya. Hal ini didasarkan pada ketidakjelasan “ras” yang digunakan dan data-data statistic yang diperoleh Durkheim lebih merujuk pada factor non-biologis yang melatarbelakangi seseorang melakukan tindak bunuh diri.

Hasil tafsir ekologis juga tidak memuaskan Durkheim, berdasarkan data statistic tidak terlihat adanya hubungan antara tingkat bunuh diri dengan variabel-variabel ekologis seperti iklim, suhu dan kelembaban udara baik di Eropa maupun tempat-tempat lain. Durkheim menegaskan penolakannya terhadap anggapan tafsir ekologis ini dengan mengatakan bahwa walaupun tingkat bunuh diri meningkat pada bulan Januari hingga Juli, dimana pada bulan-bulan tersebut memang merupakan musim panas yang menyengat namun bukan karena panasnya sengatan matahari yang mengakibatkan banyak orang melakukan tindak bunuh diri mealainkan karena aktifitas manusia di musim panas lebih padat ketimbang musim lainnya yang menyebabkan timbulnya tekanan yang cukup hebat dalam diri manusia. Intinya, factor ekologis tersebut tidak mempengaruhi peningkatan bunuh diri namun lebih disebabkan oleh kondisi sosial.
Disamping itu, Durkheim juga menguji dan menolak teori imitasi yang dikemukakan oleh seorang teoritikus yang sezaman dengannya, psikolog sosial Perancis bernama Gabriel Tarde (1834-1904). Teori imitasi mengatakan bahwa seseorang melakukan bunuh diri (dan dalam ranah tindakan lain) karena meniru tindakan orang lain. Durkheim mengakui bhawa beberapa individu yang melakukan bunuh diri memang bisa saja karena meniru, namun ini hanyalah factor kecil yang tidak memiliki pengaruh signifikan dalam rangka bunuh diri secara keseluruhan.

Berangkat dari ketidakpuasan atas penjelasan yang ada, Durkheim mencoba menjelaskan penyebab bunuh diri secara sosiologis. Namun, tidak semua proposisi dasar penjelasan yang ada disanggahnya, dalam batas-batas tertentu ada yang diterimanya, misal: ia mengakui bahwa bunuh diri bukan merupakan gejala yang lepas dari pengaruh gejala-gejala di luar gejala sosial. Menurutnya, walaupun bunuh diri merupakan keputusan individu namun tingkat bunuh diri tidak dapat dipandang sebagai tindakan individual. Bunuh diri merupakan gejala sosial dalam masyarakat dan juga sebuah fakta sosial sui generis (tak bisa direduksi menjadi fakta lain) karena memiliki sifat-sifat dasarnya sendiri.

Tipe-Tipe Bunuh Diri Menurut Durkheim
Berangkat dari asumsi dasar bahwa bunuh diri merupakan gejala kolektif, Durkheim melakukan telaah sosiologisnya untuk mencari penyebab bunuh diri dengan dua fakta sosial utamanya, yaitu:
• Integrasi => merujuk pada kuat tidaknya keterikatan dengan masyarakat, pada fakta integrasi Durkheim mengklasifikasikan tipe bunuh diri menjadi 2, yaitu:

1. Egoistic suicide: bunuh diri yang terjadi karena rendahnya tingkat integrasi suatu kelompok sosial. Lemahnya integrasi ini menimbulkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari masyarakat bukan pula bagian dari individu. Ringkasnya, kecenderungan bunuh diri beragam berdasarkan tingkat integrasi kelompok sosial tempat individu berada. Untuk sampai ke kesimpulan umum ini, Durkheim membandingkan tingkat bunuh diri yang terjadi dari tahun ke tahun di berbagai kelompok sosial: kelompok keagamaan, kelompok domestic (keluarga) dan masyarakat politik.

2. Altruistic suicide: bunuh diri yang terjadi akibat dari integrasi sosial yang sangat kuat di dalam masyarakat. Salah satu contoh dari kasus bunuh diri altruistis adalah bunuh diri massal yang dilakukan oleh pengikut Pendeta Jim Jones di Jonestown, Guyana (1978).

Menurut Durkheim, ada perbedaan mendasar diantara di antara bunuh diri altruistik dengan bunuh diri egoistik. Perbedaan penyebab membuat tipe bunuh diri ini berbeda dengan yang lain, dan emosi yang mengalir di satu tipe berbeda dengan yang lain. Pada tipe bunuh diri egoistik seseorang merasakan kejerihan yang tak terobati dan tekanan batin yang luar biasa. Bunuh diri, dalam hal ini, merupakan upaya melepaskan diri dari semua tekanan tersebut, lantaran sang pelaku tak mampu menemukan tempat untuk meringankan bebannya ini. Namun pada tipe altruistik, bunuh diri berasal dari harapan; kepercayaan bahwa ada sesuatu yang indah di balik kehidupan ini. Bunuh diri ini bahkan dilakukan dengan antusias dan dengan keyakinan akan mendapat kepuasan yang meluap-luap. Bunuh diri ini dilakukan dengan suatu semangat yang luar biasa. Secara khusus ada tiga tipe utama bunuh diri altruistic, ketiganya saling berkaitan satu sama lain. Tipe-tipe bunuh diri itu adalah:
1. Obligatory altruistic suicide, yaitu bunuh diri yang dilakukan seseorang bukan karena hal ini merupakan haknya tetapi karena kewajibannya. Jika orang yang bersangkutan gagal melaksanakan kewajiban ini, ia akan kehilangan kehormatannya dan juga mendapat sanksi yang biasanya bersifat keagamaan. Bunuh diri tipe ini terlihat dalam kasus-kasus di masyarakat tertentu. Contoh: adat budaya di India yang mengharuskan seorang janda untuk melakukan bunuh diri bersamaan dengan kematian suaminya, budaya “hara-kiri” dikalangan samurai Jepang pada zaman dahulu.

2. Optional altruistic suicide, yaitu sub-tipe bunuh diri yang dilakukan bukan atas dasar kewajiban (yang bersifat memaksa) yang ditetapkan secara eksplisit oleh masyarakat, tetapi atas dasar dukungan masyarakat. Maksudnya, mereka yang rela melakukan tindakan bunuh diri akan memperoleh penghargaan dan kehormatan, contoh: “kamikaze” yang dilakukan oleh para prajurit Jepang saat PD II untuk melindungi negaranya dari serangan sekutu.

3. Acute altruistic suicide atau mystical suicide, tipe ini merupakan bunuh diri dimana sang pelaku membunuh dirinya murni karena kepuasannya untuk mengorbankan diri. Tak ada alasan yang membuat bunuh diri kategori ini dapat disebut sebagai tindakan yang terpuji oleh masyarakat. Jadi, bunuh diri dalam tipe ini bukan karena adanya unsure kewajiban/paksaan, dan bukan juga karena didorong oleh keinginan pelakunya untuk mendapatkan kehormatan. Kasus-kasus bunuh diri ini sendiri terdapat antara lain di India (di kalangan para Brahma) dan juga di suku-suku tertentu di Jepang. Bentuknya: menjatuhkan diri ke dalam gunung berapi dalam suatu upacara keagamaan sementara warga lainnya menontonnya.

Semua sub-tipe bunuh diri altruistik di atas merupakan gejala yang biasa dijumpai di masyarakat yang disebut Durkheim sebagai “lower society”. Namun ia pun dapat ditemukan di “more recent civilizations” khususnya di kalangan penganut agama Kristen. Dalam dunia kemiliteran, Durkheim menemukan bahwa tingkat bunuh diri dapat dikategorikan berdasarkan lama waktu kedinasan, kepangkatan, dan kesukarelaan memasuki dunia kemiliteran. Berdasarkan analisa statistik yang dilakukannya, ia menemukan:
1. Tingkat bunuh diri yang tinggi terjadi di kalangan tentara yang memiliki masa dinas lama.
2. Tingkat bunuh diri di kalangan perwira lebih tinggi daripada di kalangan prajurit.
3. Tingkat bunuh diri di kalangan tentara yang memasuki dinas kemiliteran secara sukarela lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak.

Durkheim menjelaskan bahwa semakin lama masa dinas seorang militer, semakin tinggi penghayatannya tentang moral dunia militer dan semakin terserap pula mereka ke dalam dunia kemiliteran. Hal ini membuat kerelaan untuk mengorbankan diri untuk dunia kemiliteran (dalam wujud tindakan bunuh diri) pun menjadi lebih besar. Untuk memperkuat temuan ini, Durkheim juga mencari bukti statistik lain. Ia membandingkan angka bunuh diri di kalangan pasukan elite dan tentara biasa, serta antara kalangan militer dan sipil. Tren serupa pun ditemukannya, dan hal ini memperkuat pandangan Durkheim tentang gejala bunuh diri altruistik.

Jika tingginya angka bunuh diri egoistis ditentukan oleh “kelelahan yang tidak dapat disembuhkan dan depresi yang menyedihkan” maka bunuh diri altruistis makin banyak terjadi jika “makin banyak harapan yang tersedia, karena dia bergantung pada keyakinan akan adanya sesuatu yang indah setelah hidup di dunia lain”. Ketika integrasi mengendur, seseorang akan melakukan bunuh diri karena tidak ada lagi kebaikan yang dapat dipakai untuk meneruskan kehidupan. Sebaliknya, ketika integrasi menguat, mereka melakukan bunuh diri justru demi kebaikan yang lebih besar.

• Regulasi => merujuk pada tingkat paksaan eksternal yang dirasakan individu. Berdasarkan fakta regulasi ini, Durkheim mengklasifikasikan tipe bunuh diri menjadi 2, yaitu:
1. Anomic suicide: bunuh diri yang terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu dimana terjadi ketidakjelasan norma-norma yang mengatur cara berpikir, bertindak dan merasa para anggota masyarakat, gangguan itu mungkin membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya control terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak akan pernah puas terhadap kesenangan. Menurut Durkheim, suatu keadaan anomik dapat dilihat dari indikator ekonomi maupun domestik. Analisa statistik Durkheim memperlihatkan bahwa krisis ekonomi membuat orang kehilangan arah. Dalam keadaan seperti ini, ungkap Durkheim mereka harus beradaptasi dengan kondisi yang menimpa mereka, kondisi yang sangat menyiksa; mereka membayangkan penderitaan karena serba berkekurangan bahkan sebelum mereka mencoba kehidupan ini. Pertumbuhan kemakmuran yang mendadak dalam masyarakat juga memiliki dampak serupa terhadap peningkatan angka bunuh diri dalam masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang mendadak membuat tatanan moral sekonyong-konyong runtuh, sementara tatanan moral yang baru belum cukup rampung untuk menggantikan tatanan moral sebelumnya.

2. Fatalistic suicide: bunuh diri yang terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim menggambarkan seseorang yang melakukan bunuh diri fatalisstik seperti “seseorang yang masa depannya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas”. Contoh klasik dari bunuh diri ini adalah budak yang menghabisi hidupnya karena putus asa akibat regulasi yang menekan setiap tindakannya.

Durkheim mengungkapkan ketika masyarakat dilanda oleh krisis yang hebat atau oleh transisi yang akan membawa maslahat namun prosesnya penuh pergolakan, masyarakat tidak mampu memberikan perlindungan moral kepada warganya; karenanya meningkatlah skala bunuh diri. Dalam konteks skala domestik, hal serupa pun terjadi. Bagi Durkheim, keluarga mempunyai peranan penting sebagai institusi yang membangun norma-norma dan keterikatan sosial pada para anggotanya. Karenanya, lepasnya seseorang dari ikatan keluarga –baik karena tidak menikah atau karena faktor lain-membuat dirinya kehilangan pegangan untuk bertindak, berpikir dan merasa. Dengan demikian, tingkat bunuh diri di antara mereka yang tidak terikat dalam ikatan perkawinan dan keluarga lebih tinggi daripada mereka yang berkeluarga.
Berdasarkan analisa tentang hubungan di antara tipe-tipe bunuh diri dan kesadaran kolektif seperti yang telah dikemukakan di atas, jelaslah bahwa bunuh diri merupakan gejala sosial, fakta sosial dan bukan sekedar gejala individual. Argumentasi yang biasa digunakan Durkheim untuk memperkuat pandangannya ini adalah: kasus-kasus bunuh diri memiliki pola berdasarkan ciri sosial tertentu. Untuk memperlihatkan bahwa bunuh diri merupakan gejala sosial, Durkheim juga berargumentasi: walau pelaku bunuh diri tampaknya selalu berbeda-beda, data statistik memperlihatkan bahwa tingkat dan kecenderungan bunuh diri memiliki kaitan yang erat dengan ciri sosial sang pelaku.

Apakah bunuh diri merupakan hal yang normal bagi kelompok tertentu? Melihat kecenderungan tingkat bunuh diri di antara kelompok tertentu, Durkheim mengatakan bahwa bunuh diri merupakan hal yang normal bagi kelompok-kelompok tersebut.

Durkheim mengakhiri studinya tentang bunuh diri dengan sebuah pembuktian apakah reformasi bisa diandalkan untuk mencegah bunuh diri. Usaha-usaha yang selama ini dilakukan untuk mencegah bunuh diri gagal karena ia dilihat sebagai problem individu. Bagi Durkheim, usaha langsung untuk meyakinkan individu agar tidak melakukan bunuh diri ternyata sia-sia, karena penyebab riilnya justru ada dalam masyarakat.



Keterkaitan Antara Sosiologi Substantif Dengan Metodologi 'Verstehen' Max Weber


Sosiologi menurut Weber merupakan ilmu yang mempelajari pemahaman interpretasi dari tindakan sosial serta penjelasan eksplanatif dari praktek dan konsekuensinya. Dengan penjelasan seperti ini Weber ingin mencapai dua buah tujuan, pertama ia ingin agar ilmu sosial dapat memahami keunikan dari karakter masyarakat barat yang modern. Kedua, Weber ingin mengkonstruksi konsep abstrak yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan, memberikan pengertian terhadap masyarakat modern. Weber berargumentasi bahwa sosiologi haruslah bebas nilai, karena tidak ada cara lain untuk memproduksi pemahaman ilmiah dari suatu proses sosial. Keadaan bebas nilai hanya dapat dicapai saat seorang sosiolog menggunakan metode rasional dalam proses penelitian yang sistematis. Dalam pandangan Weber, sosiologi bukanlah ilmu moral, karena itu tidak dapat mengidentifikasi secara ilmiah norma yang tepat, nilai, dan tindakan. Sosiologi juga berperan dalam meningkatkan perkembangan kehidupan sosial dari manusia melalui proses rasionalisasi, dimana sosiologi yang bebas nilai berkontribusi terhadap penjelasan terhadap proses historis dan kejadian dimana keajaiban dan kepercayaan irasional lainnya digunakan untuk menjelaskan suatu peristiwa menjadi tidak diterima oleh masyarakat. Karena itu sosiologi juga berperan dalam menyediakan informasi kepada setiap orang dalam mengambil keputusan. Weber juga berargumentasi bahwa ilmu sosial berbeda dengan ilmu alam karena aspek esensialnya adalah “penjelasan kausal dari suatu konsekuen.” .

2 asumsi sosiologi bersifat ilmu pengetahuan[1]:

1. Klasifikasi, kemampuan untuk mensistematisasian gagasan-gagasan dan berbagai eksplanasinya melalui istilah-istilah deskriptif dan analitif yang mengkategorisasikan gejala-gejala sosial tersebut (ideal type).

2. Pemisahan antara pendapat pribadi dengan fakta empiris (value free sociology).

Melalui metode yang ia sebut dengan verstehen, tindakan sosial hanya dapat eksis apabila sejauh mana seorang individu dapat memberikan makna subjektif kepada perilakunya. Karena itu menurut Weber, dalam suatu masyarakat yang eksis adalah individunya, dan memulai analisisnya dari level tindakan sosial yang menjadi suatu penghubung dari tema –tema sosiologi Weber. Maka konseptualisasi dari tindakan sosial tersebut menolak analisis fungsional yang memulai analisisnya pada level makro yaitu pada fakta sosial dalam masyarakat yang menyebabkan individu dapat eksis.Weber juga berpendapat bahwa dengan metode verstehen pemahaman eksplanasi, yang mana, pemahaman rasional dari motivasi, dimana termasuk penempatan tindakan kedalam konteks inklusif dari pemaknaan.

Weber tidak sependapat dengan Marx dan Durkheim yang lebih menekankan manusia pada struktur, menurut Weber manusia memiliki kehendak sendiri dalam merespon struktur sosial, maka dari itu ranah pemikiran Weber mengenai manusia lebih kearah mikro yaitu tindakan sosial yang dilakukan oleh individu. Weber di dalam sosiologi substantifnya melihat ilmu pengetahuan sebagai ilmu yang harus berusaha memahami atau memaknai bagaimana individu mendefinisikan kondisi atau peristiwa yang terjadi dalam hidup.

Contoh kasus: tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh salah seorang pegawai pajak bernama Gayus Tambunan, apabila kita lihat secara hukum maka tindakan korupsi yang dia lakukan adalah salah namun menurut Weber belum tentu seperti itu. Gayus memiliki makna subyektif tersendiri terhadap tindakan korupsi yang ia lakukan, menurutnya tindakan korupsi yang ia lakukan bukanlah tindakan kriminal yang melanggar hukum melainkan hanya sekedar ‘bantuan’ kepada perusahaan-perusahaan besar dalam membayar pajak jadi wajar apabila ia mendapatkan imbalan dari ‘bantuannya’ tersebut. Kita juga tidak bisa menyalahkan Gayus atas pemaknaan subjektifnya tersebut karena pada dasarnya, pemaknaaan subjektif itu dilihat dari kultur dan historisnya.

Sudah menjadi rahasia umum, apabila tindakan korupsi di Indonesia telah mendarah daging dan bahkan menjadi budaya bagi mayoritas masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari sejarah bangsa Indonesia yang hampir 350 tahun dijajah oleh Belanda, secara otomatis budaya dan tabiat warga Belanda yang tinggal di Indonesia pun secara turun temurun menular termasuk dengan budaya korupsi. Kita semua tahu bahwa VOC tumbang akibat tindakan korupsi yang dilakukan para pegawainya, hal tersebut tentunya berimplikasi terhadap sistem birokrasi perusahaan-perusahaan pemerintahan di Indonesia sampai sekarang. Birokrasi yang terlalu legal-rasional juga –dikatakan Weber- turut menyumbang legitimasi korupsi dan suap-menyuap di kalangan birokrat. Sudah menjadi hal yang lumrah apabila dalam melakukan segala sesuatu yang berkaitan dengan birokrasi di Indonesia (membayar pajak, membuat KTP, mencari pekerjaan, dan lain-lain) akan lebih mudah jika kita menggunakan ‘pelicin’ berupa sejumlah uang yang kita ‘setor’ kepada para pegawai terkait.

Inilah yang memotivasi Gayus untuk mengikuti jejak para seniornya maupun teman-temannya. Tidak salah memang karena secara kultur dan historis Indonesia memang mendukung tindakan tersebut. Untuk menjelaskan makna subjektif yang dialami oleh suatu individu, Weber menngunakan teori tindakan sosial. Tindakan sosial adalah tindakan yang memiliki makna subjektif bagi pelaku individu itu sendiri. Tindakan sosial terbagi menjadi 4, yaitu:

1. Tindakan afektif, dimana individu lebih menggunakan emosi atau perasaan

2. Tindakan tradisional, dimana individu dalam melakukan tindakan tersebut mengacu pada tradisi

3. Tindakan berorientasi nilai, dimana individu dalam melakukan tindakan menggunakan acuan nilai dan norma yang dianggap “baik”

4. Tindakan rasional instrumental, individu menggunakan rasionalitasnya atau nalar yang dimilikinya dalam melakukan suatu tindakan

Apabila kita mengaitkan keempat tipe tindakan tersebut dalam menganalisa pemaknaan subjektif yang dilakukan Gayus atas tindakan korupsi yang ia lakukan adalah sebagai berikut:

1. Tindakan afektif: Gayus melakukan tindakan penyelewengan dana karena ia merasa senang melakukan hal tersebut èdengan korupsi ia bisa mendapatkan banyak uang dan juga “berbuat baik” karena telah membantu beberapa perusahaan dalam membayar pajak.

2. Tindakan tradisional: Gayus melakukan tindakan penyelewengan dana atau korupsi karena secara tradisi banyak hal tersebut dianggap lumrah èmayoritas para birokrat melakukan hal tersebut.

3. Tindakan berorientasi nilai: Gayus melakukan tindakan penyelewengan dana atau korupsi karena apabila ia tidak korupsi maka ia akan dianggap “menyimpang” atau patologi èkarena mayoritas birokrat melakukan tindak korupsi maka apabila ada pegawainya yang tidak korupsi maka justru pegawai tersebutlah yang dianggap “menyimpang”.

4. Tindakan rasional instrumental: Gayus melakukan tindakan penyelewengan dana atau korupsi karena dengan korupsi ia bisa mendapatkan banyak uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya, selain itu juga ia bisa mendapatkan prestise dan hak istimewa sebagai orang kaya èdi Indonesia, orang yang memiliki kekuasaan adalah orang yang memiliki banyak uang.

Perhatian Weber pada teori-teori tindakan lebih berorientasi pada tujuan dan motivasi pelaku. Weber melakukan rekonstruksi makna di balik kejadian-kejadian sejarah yang menghasilkan struktur-struktur dan bentukan-bentukan sosial, tetapi pada saat yang sama memandang semua konfigurasi kondisi historis itu unik. Maka dari itu, menurut Weber tidak ada kejahatan yang absolute maupun kebaikan yang absolute, itu semua kembali lagi kepada makna subjektif berupa tujuan dan motivasi si pelaku itu sendiri. Alasan inilah yang membedakan Weber dengan para pemikir sosiologi lainnya seperti Marx dan Durkheim karena menurut Weber metode verstehen yang dikembangkannya lebih memanusiakan manusia. Sosiolog juga manusia yang mengapresiasi lingkungan sosial dimana ia berada, memperhatikan tujuan-tujuan dan pemaknaan yang dilakukan oleh individu maka dari itu ia berupaya untuk memahami tindakan mereka. Hal inilah yang membedakan ilmu sosial dengan ilmu alam menurut Weber.



[1] Catatan dari Ibu Francisia Eri Seda, tgl 8 Desember 2010

Minggu, 02 Januari 2011

Coretan Iseng diawal 2011

Goodbye 2010 and Welcome 2011!!!!!
Waaahhhhh...ga kerasa udah masuk taun 2011 aj yaa ^^, waktu begitu cepat berlalu

Nothing special in my life and no boyfriend too in 2010 huahahahahahahaha, sama aja kayak taun2 sebelum'a, asem manis pahit asin'a dunia silih b'ganti m'warnai hidup gw yg indah ini :D..mungkin yg spesial cuma mulai taun 2010 gw kembali menyandang status sebagai mahasiswi (ga tw mpe kapan huehehe, Insya Allah pertengahan 2012 gw ud bisa wisuda & t'bebas dr beban kuliah hohohoho)

Walau ga bisa d'bilang taun yang paling m'bahagiakan ataupun menyedihkan bwt gw tapi taun 2010 bisa gw kategorikan sebagai taun yg lumayan spesial (ga konsisten yaa gw? d'awal td gw tulis "nothing special" tp tw2 d'paragraf berikut'a gw tulis "lumayan spesial" hahhhh...mohon maklum yaa ;p) cz gw bisa m'rasakan sensasi kuliah sembari kerja, dan jujur gw katakan hal tsb sangat amat BERAT!!!

Kuliah aja tanpa kerja ud berat gimana klo d'sambi ma kerja??? ditambah lagi kampus gw sekarang gila2an ngasih beban tugas'a..yahhh faktor penuaan + otak yg mulai agak beku mjdi p'dorong semakin terpuruk'a nilai2 kuliah gw sekarang hahahahaha (bangga gitu??? ckckckck -_-"). Salah satu gambaran "ketertekanan" gw akan kuliah dan kerja adalah saat beberapa minggu kemarin gw harus meriksa tugas makalah mahasiswa yg akan presentasi esok hari'a sedangkan lusa gw da ujian statistik, alhasil otak gw yg cuma ada satu d'dunia ini musti gw bagi 2 dgn proporsi yg sangat tidak seimbang yaitu: 3/4 & 1/4..3/4 utk ngoreksi tugas sedangkan 1/4 gw gunakan utk belajar, menurut anda gimana hasil'a????? yupz..betul sekali akibat p'bagian yg tdk proporsional tsb gw m'dapatkan reward berupa nilai 55 utk UTS statistik gw!!!!! nilai t'parah sepanjang sejarah perkuliahan gw ni hohohohoho => mudah2an ini ga akan t'ulang utk yg k-2 kali'a deh, gimana nasib "profesi" gw klo mpe nilai tsb b'lanjut??? bisa wisuda taun 2014 gw wkwkwkwkwkwkwk

Hmmmmmm...apa lagi yaa kisah d'taun 2010 yg bisa gw share d'postingan ini? o iy mungkin soal p'ubahan penampilan gw kayak'a, entah kenapa d'akhir taun 2010 gw seolah m'dapat hidayah utk lebih rajin memakai rok...walau penampilan gw biasa'a memang feminin tp gw jarang bgt pake rok xixixixixi tp sekarang gw lagi suka bgt pake rok ga tw kenapa -_-a (perlu d'rayakan pake nasi kuning harus'a ni fufufu). terus palagi yaa???? kayak'a ud deh, sisa'a sami mawon alias sama aja kyk taun2 sebelum'a. Bukti'a gw masih aja ga tinggi2, masih suka bgt ma komik/buku2, masih bayar pake ongkos pelajar (bukan d'sengaja loh!!1 tp abang angkot'a sendiri yg nerapin tu ongkos bwt gw hehehehe),masih tetep b'jenis kelamin perempuan (????)dan masih tetep jadi manusia (halah...mang bisa b'ubah wujud jd siluman apa??? makin ngaco aja cerita gw weleh..weleh) serta masih tetep setia ma status "jomblo" hohohoho...klo masalah jomblo c mungkin d'karenakan beban tugas kuliah yg td ud gw ceritain d'atas huhuhuhuhuhuhu T_T

yaahhhh...inti'a ga da p'ubahan yg signifikan dalam hidup gw selama taun 2010 cuma resolusi gw kemaren utk kembali jadi mahasiswi d'taun 2010 bisa terwujud (Alhamdulilah :D) mudah2an gw bisa menyelesaikan studi gw ini dgn hasil yg memuaskan amin
@least, gw mw ucapin HAPPY NEW YEAR 2011 everybody ^_____________________^

*Resolusi gw d'taun 2011: bisa tambah dewasa seiring dgn usia gw yg akan m'masuki 24th(wiiihhhh tuwir jg yaa gw??? hehehe), bisa jadi pengajar yg baik yg bisa m'transfer ilmu bwt murid maupun mahasiswa yg gw ajar, bisa reading course d'semester 3 biar pas awal taun 2012 bisa lanjut sidang tesis huehehehehe, bisa bahagiain orang tua+ade gw, dan mudah2an bisa m'genapi ibadah gw sbg seorang muslimah yaitu: NIKAH hohohoho (ngarep.co.id ;p)...