Sabtu, 07 Mei 2011

Prostitusi di Kalangan Remaja

Masalah prostitusi yang dulu dianggap sebagai hal yang sangat tabu oleh masyarakat Indonesia, pada saat ini hal tersebut telah menjadi sesuatu yang biasa. Gejala demikian bisa kita buktikan dengan semakin banyaknya praktek-praktek prostitusi baik yang resmi maupun yang liar dan praktek prostitusi tersebut telah berkembang di berbagai kota dengan berbagai bentuk dan cara. Seiring dengan dimulainya krisis moneter yang terjadi di Indonesia beberapa tahun lalu menyebabkan sektor ekonomi Indonesia menjadi semakin terpuruk. Hal ini menyebabkan kehidupan masyarakat proletar menjadi semakin memprihatinkan karena “ketidakberdayaan” mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kemiskinan dan pengangguran hingga kini masih menjadi isu utama mengiringi Indonesia yang sedang berupaya menuju proses perbaikan. Setidaknya, 37,4 juta penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah tersebut belum termasuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Dampak sosial yang terlihat jelas dan nyata adalah mereka, orang-orang miskin tersisih dalam pembangunan. Salah satunya adalah prostitusi. Ekonomi menjadi alasan utama penyebab suburnya lading prostitusi di Indonesia, banyak para wanita yang berlindung di balik alasan “pemenuhan kebutuhan perut” sehingga membuat mereka menceburkan diri ke lembah hitam tersebut. Menurut ECPAT, prostitusi anak karena eksploitasi seksual terjadi karena kemiskinan, disfungsi keluarga, pendidikan rendah, pengangguran, penghasilan kurang, tradisi, dan peningkatan kebutuhan perempuan muda pada industri seks.

Banyak dari para remaja yang memutuskan dirinya melacur itu karena alasan ekonomi. Biaya sekolah yang mahal, harga buku yang tak murah serta kebutuhan hidup lainnya yang mendesak menjadi salah satu alasan yang dipilih untuk diberikan. Laporan Unicef tahun 1998 memperkirakan jumlah anak yang tereksploitasi seksual yang dilacurkan mencapai 40.000- 70.000 anak yang tersebar di 75.106 tempat di seluruh wilayah Indonesia, termasuk anak jalanan di dalamnya. Hal ini menjadi suatu sorotan yang sangat memprihatinkan dimana para generasi muda Indonesia yang seharusnya dapat mengharumkan nama bangsa justru harus terseok-seok ke lembah hitam. Kemiskinan dan sikap acuh tak acuh para kaum elit negeri ini semakin menyuburkan lahan prostitusi tersebut dan justru semakin membuat masa depan para generasi muda Indonesia menjadi kelam.


TEORI ANOMI MENURUT CLINARD

Anomi adalah perspektif sosiologi yang berhubungan dengan pandangan disorganisasi (kekacauan) social/masyarakat. Hal ini merupakan perspektif umum atas penyimpangan dikarenakan hal ini menggandeng penjelasan mengenai sejumlah bentuk penyimpangan, termasuk tindakan criminal/kejahatan, alkoholisme, ketergantungan pada obat-obatan terlarang, prostitusi, aksi bunuh diri dan gangguan kejiwaan. Teori anomi menyatakan bahwa penyimpangan adalah akibat dari ketegangan struktur social tertentu yang menempatkan tekanan atas individu menjadi menyimpang. Situasi anomi terjadi jika terdapat kesenjangan akut antara tujuan budaya dan cara sah yang tersedia bagi kelompok tertentu dalam masyarakat untuk mencapai tujuan tersebut.

Tujuan sukses dalam lingkup budaya biasanya dianggap dicapai dengan cara yang sah melalui pekerjaan tetap, pekerjaan dengan gaji tinggi, dan melalui akses pada pendidikan yang lebih tinggi. Namun saluran ini tidak tersedia bagi orang-orang tertentu, yaitu masyarakat kelas bawah. Dengan demikian, meskipun setiap orang sangat ingin meraih kesuksesan, kenyatannya adalah bahwa impian tersebut hanya dapat dimiliki oleh sebagian kecil saja, sejak struktur social benar-benar dapat memberikan kesempatan hanya untuk sejumlah kecil masyarakat tertentu. Anomi adalah sebutan bagi kondisi social dimana tujuan kesuksesan lebih ditekankan daripada cara yang dapat diterima dalam memperoleh tujuan tersebut. Konsekuensinya, beberapa orang dipaksa untuk mencapainya dengan cara yang tidak sah, termasuk bentuk-bentuk penyimpangan seperti kejahatan/kriminal, prostitusi, penggunaan obat-obatan terlarang, alkoholisme, dan gangguan mental/kejiwaan. Dalam usaha untuk menjelaskan bentuk-bentuk perilaku menyimpang ini, teori anomi ini didasarkan pada fakta bahwa angka/tingkat penyimpangan paling tingggi terjadi pada masyarakat miskin dan kelas bawah terjadi tekanan penyimpangan paling besar dimana kesempatan untuk memperoleh kelayakan materi dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibatasi (Clinard, 1964).

Menurut perspektif anomi, ada beberapa adaptasi terhadap orang-orang dalam sebuah masyarakat anomik. Adaptasi yang paling umum adalah melanjutkan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma masyarakat dan tidak ikut menyimpang (strategi ini dijelaskan lebih mendalam oleh Robert Merton). Selain itu, terdapat pula adaptasi tidak sah yang dapat digunakan oleh orang-orang miskin kelas bawah dimana cara yang sah untuk mencapai tujuan kesuksesan yang digambarkan secara cultural telah dihalangi. Clinard membedakan jenis adaptasi tidak sah tersebut dalam 2 cara, yaitu:

1. Inovasi, adaptasi yang melibatkan penggunaan cara tidak sah seperti pencurian, perampokan, kejahatan terencana/teroganisir, atau prostitusi untuk mencapai tujuan kesuksesan yang ditentukan budaya. Respon-respon ini dianggap normal dimana akses menuju sukses melalui cara-cara konvensional bersifat terbatas. Terbukti bahwa perilaku tidak sah seperti kejahatan dan pelanggaran adalah hal yang biasa terjadi dalam masyarakat kelas bawah. Kaum miskin sebagian besar hanya buruh kasar yang sering dipandang sinis. Sebagai akibat status dan pendapatan yang rendah, mereka tidak bisa/tidak siap bersaing dalam bentuk kemapanan standar dan oleh karenanya besar kemungkinan mereka terlibat dalam kejahatan.

2. Retretism, merepresentasikan keadaan yang jauh tertinggal dari tujuan budaya yang dijunjung tiinggi masyarakat dan kebiasaan-kebiasaan yang menjadi adat untuk mencapai tujuan ini. Individu telah memasukkan tujuan sukses secara penuh tetapi tidak menemukan tujuan tersebut dapat dicapai melalui cara-cara institusional. Terhalang untuk mencapai tujuan tersebut, melalui tekanan yang diinternalisasikan yang mana mencegah kebiasaan inovatif, individu menjadi frustasi dan kecewa, merasa gagal/kalah dan bahkan menarik diri/menjadi pendiam. Tertinggal dari tujuan budaya, orang melampiaskan pada penggunaan obat-obatan yang menyebabkan ketagihan/ketergantungan, mengkonsumsi alkohol berlebihan atau mungkin dengan sepenuhnya “melarikan diri” melalui gangguan jiwa atau bahkan bunuh diri. Retretism cenderung sebagai bentuk adaptasi perorangan daripada kelompok atau subkultural, meskipun orang mungkin memiliki hubungan dengan yang lainnya dalam cara yang hampir sama. Di samping menarik diri dalam pengertian secara individual, orang-orang yang merasa tertinggal juga menarik diri dari kehidupan sosial atau melakukan bunuh diri.

Teori anomi didasarkan pada asumsi bahwa perilaku menyimpang lebih banyak terjadi di masyarakat kelas bawah. Asumsi ini dibuat karena kelas bawah adalah lingkup dimana terdapat kesenjangan paling besar antara tekanan untuk mapan dan realita pencapaian yang rendah. Fakta/bukti menunjukkan bahwa orang-orang yang tergolong kelas bawah dan anggota kelompok minoritas lebih mungkin dideteksi dan dicap sebagai penjahat, pelaku tindak criminal, alkoholik/pemabuk, pengguna obat-obatan terlarang dan penderita sakit jiwa, daripada orang-orang yang tergolong kelas menengah dan kelas atas yang mungkin terlibat dalam perilaku yang sama. Masyarakat miskin kelas bawah memberikan kesempatan yang lebih besar bagi timbulnya penyimpangan. Keinginan akan tujuan-tujuan konvensional seperti kemampuan ekonomi dan pendidikan, banyak orang yang berhadapan dengan dibatasinya kesempatan yang sah untuk mapan, karena mereka tidak bisa mengubah tujuan maka mereka menjadi frustasi dan melakukan pelanggaran norma.

ANALISIS PERMASALAHAN

Merunut dari penjelasan teori di atas mengenai anomi yang dikemukakan oleh Clinard, kasus prostitusi di kalangan remaja merupakan salah satu kasus anomi yang terjadi pada kalangan masyarakat kelas bawah (miskin). Mereka, yang disebut sebagai pelacur itu, terjebak dalam selubung lembah hitam yang memperdagangkan tubuh-tubuh mereka untuk dijadikan pemuas nafsu semata. Lantas, pertanyaannya: kenapa mereka sampai menjual tubuh mereka dan merendahkan harga diri? Jawaban logis yang dapat saya kemukakan adalah faktor ekonomi yang menyebabkan rakyat kelaparan. Karena lapar, mereka lupa moral dan prostitusi pun menjadi jalan pintas yang dianggap halal. Sebutlah ada anasir “dendam” karena diperlakukan semena-mena dimana hak pendidikan dan pekerjaan yang layak mereka dibatasi oleh penguasa (dalam hal ini pemerintah). Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat kelas bawah harus bersusah payah bahkan para wanita ini merelakan tubuhnya ‘dinikmati’ oleh pria-pria hidung belang hanya untuk mendapatkan sejumlah uang untuk mengganjal perut mereka serta memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.

Mereka seolah sudah tidak mengenal moral, mengapa? Karena kebutuhan hidup mereka tidak terpenuhi. Pemerintah pun seolah tidak peduli akan nasib mereka. Lalu apa yang dapat mereka lakukan? Tidak ada pilihan lain lagi selain tetap berkecimpung di dunia tersebut. Hal ini disebabkan tidak sanggupnya mereka mengenyam pendidikan karena keterbatasan ekonomi yang pada akhirnya menyebabkan hilangnya kesempatan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan halal dengan penghasilan yang sesuai. Bagi mereka menjadi pelacur adalah sebuah pilihan pribadi dan keluarga untuk memperbaiki kondisi perekonomian yang buruk akibat alasan tadi. Pemerintah telah sering melakukan tindakan tegas berupa razia terhadap para pelaku prostitusi ini, namun hal tersebut tetap tidak dapat meminimalisir jumlah pelaku prostitusi. Mengapa demikian? Karena seperti yang telah saya jelaskan di atas, masyarakat miskin tidak memiliki kesempatan untuk merasakan pekerjaan yang layak dengan penghasilan yang memadai, lalu bagaimana mereka dapat makan dan memenuhi kebutuhan hidupnya? Tentunya dengan kembali lagi pada profesi semula yaitu ‘menjual diri’.

Profesi ‘menjual diri’ dianggap sebagai solusi terbaik para pelaku prostitusi dalam mendapatkan uang. Seperti yang dikatakan oleh Clinard, bahwa penyimpangan adalah akibat dari ketegangan struktur sosial tertentu yang menempatkan tekanan atas individu menjadi menyimpang. Inilah yang menyebabkan masyarakat kelas bawah melakukan penyimpangan berupa prostitusi, karena mereka ditekan oleh kemiskinan yang disebabkan oleh para kaum elit Indonesia. Jika kita melihat berdasarkan teori Clinard yang membagi tahapan menjadi 2, yaitu inovasi dan retretism, maka akan dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Inovasi, adaptasi yang melibatkan penggunaan cara tidak sah seperti pencurian, perampokan, kejahatan terencana/teroganisir, atau prostitusi untuk mencapai tujuan kesuksesan yang ditentukan budaya. Respon-respon ini dianggap normal dimana akses menuju sukses melalui cara-cara konvensional bersifat terbatas. Masyarakat miskin tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga tidak ada jalan lain bagi mereka untuk dapat survive dalam hidup ini selain dengan menggunakan cara yang tidak sah, seperti prostitusi. Tidak sedikit para orang tua yang secara sengaja menjual anak mereka untuk dijadikan ‘pemuas nafsu’, mereka tega melakukan hal tersebut karena terdesak oleh tuntutan kehidupan yang harus mereka penuhi.

2. Retretism, Retretism cenderung sebagai bentuk adaptasi perorangan daripada kelompok atau subkultural, meskipun orang mungkin memiliki hubungan dengan yang lainnya dalam cara yang hampir sama. Di samping menarik diri dalam pengertian secara individual, orang-orang yang merasa tertinggal juga menarik diri dari kehidupan sosial atau melakukan bunuh diri. Dampak dari tekanan social bagi para masyarakat bawah adalah retretism, dimana mereka (para pelaku prostitusi) merasa kecewa karena mendapatkan sindiran dan tidak mendapatkan tempat di masyarakat sehingga tidak jarang dari mereka yang kemudian tercebur ke dunia alkohol dan narkoba.

Permasalahan sosial anak yang demikian seharusnya menjadi cambuk bagi pemerintah dan segenap elemen masyarakat yang sadar akan pentingnya hak anak untuk segera bersikap dan melakukan tindakan nyata. Pemerintah selaku pihak yang berkuasa di Indonesia seharusnya mulai memikirkan bagaimana solusi terbaik dalam mengatasi persoalan ekonomi ini dan sebaiknya juga memberikan kesempatan bagi para masyarakat bawah (miskin) untuk mendapatkan hak memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang layak.

Jumat, 06 Mei 2011

Fenomena Pria Metroseksual


Istilah “Metroseksual” pertama kali diperkenaklan oleh Mark Simpson seorang jurnalis berkebangsaan Inggris dalam sebuah artikelnya yang berjudul The Independent pada tahun 1994. Seorang pria metroseksual telah menjadikan diri mereka sendiri sebagai objek cintanya. Oleh karena itu, Simpson (2002) kemudian menggunakan istilah “narsisme” untuk menggambarkan bentuk baru maskulinitas ini sebagai penekanan terhadap pentingnya penampilan bagi seorang anak muda. Sebagaimana yang juga ditekankan Simpson disini para pria metroseksual menginvestasikan berbagai usaha dan uangnya demi penampilan. Yang menarik disini ialah hal ini telah bertentangan dengan tradisi patriarki heteroseksual yang ideal, dimana imej pria yang dikonstruksikan oleh masyarakat adalah makhluk gagah, serampangan, serta cuek akan penampilan, namun kini? Lebih jauh, posisi ini kemudian membalikan pihak mana yang aktif dan pasif dalam hal gender. Sejak kemunculan pria metroseksual ini maka dia telah menjadi subjek pasif bagi pihak lain—dalam hal ini para wanita. Pada awalnya, masalah seksualitas yang berhubungan dengan pria metroseksual ini ini selalu dikaitkan homoseksual. Tetapi pemaknaan ini tidaklah benar karena apa yang sesungguhnya dipersepsikan sebagai metroseksual adalah sebagai “pilihan gaya hidup, pola konsumsi, penggunaan merk tertentu dan lingkaran sosial tertentu”.

Sejarah Metroseksualitas

Saat ini terlihat fenomena yang sangat berbeda dengan masa lalu dimana banyak kaum pria berbelanja di pertokoan untuk membeli produk tertentu. Perubahan apa yang sebenarnya sedang terjadi, mengapa pria yang di masa lalu biasanya tidak tertarik untuk berbelanja tetapi kini menjadi begitu tertarik untuk berbelanja. Tetapi masih terdapat keraguan apakah fenomena ini benar-benar sesuatu yang baru. Karena pada abad ke-19 hal tersebut juga telah ada tetapi seringkali dikaitkan dengan aktivitas gay dan lesbian. Secara sederhana, pada masa itu pria dianggap aneh apabila menggunakan sesuatu yang seharusnya diperuntukan bagi wanita—katakanlah memakai baju yang berwarna pink misalnya. Tetapi sekarang telah terjadi perubahan dimana hal tersebut kemudian dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Sejarah juga menunjukan bahwa bahwa di masa lalu telah ada pria yang suka berbelanja dan melakukan perawatan diri dibandingkan pria lainnya, tetapi hal tersebut tidak pernah digambarkan sebagai pria metroseksual (Simpson, 2002)

Sejarah juga memperlihatkan bahwa ada sebagian pria yang memberikan perhatian lebih terhadap penampilannya dibandingkan pria lainnya. Pakaian dan penampilan selalu menjadi hal yang penting bagi pria ini. Hal tersebut tergambar dengan jelas dalam buku The Great Gatsby (1925) yang ditulis oleh Francis Scott Fitzgerald dimana digambarkan jenis-jenis pakaian yang digunakan sebagai karakter utama pria. Karakteristik ini sering disebut “narsistik” dan “narsisme” yang seringkali dikaitkan dengan metroseksualitas (Parobkova, 2009).

Istilah “narsisme” ini berhubungan dengan mitologi Yunani kuno mengenai seseorang yang bernama Narcissus yang digambarkan sebagai pria muda yang cantik. Pada suatu saat pendeta Oracle berkata kepada Narcissus bahwa dia akan hidup sampai usia tua sampai dia sendiri tidak akan pernah mengetahuinya. Akibat perkataan Oracle tersebut Narcissus kemudian menjadi tidak peduli dengan cinta yang kemudian membuat patah hati para pria dan wanita yang mengaguminya. Hingga pada suatu hari dia membungkukan badannya untuk minum dari sebuah kolam. Narcissus kemudian melihat bayangan dirinya di kolam tersebut dan kemudian dia merasa jatuh cinta terhadap dirinya sendiri. Sambil menangis dia berkata “Sekarang aku tahu mengapa orang lain merasa tersakiti olehku, karena sebenarnya aku telah terbakar oleh kecintaan terhadap diriku sendiri” dan bagaimana aku dapat mencapai cinta yang hanya terlihat sebagai bayangan di dalam air” (Hamilton, 1992). Narcissus kemudian perlahan memudar sebagaimana bayangannya dan kemudian berubah menjadi apa yang dikenal kemudian sebagai bunga Narcissus.

Terdapat banyak kemiripan antara pria “metroseksual” dan pria “narsis” yaitu terutama obsesinya terhadap penampilan serta keinginannya untuk dikagumi oleh orang lain. Tetapi terdapat perbedaan yang signifikan yaitu pria metroseksual lebih merasa percaya diri (self-confident) dan extrovert. Mereka selalu berpikir agar terlihat luar biasa di hadapan orang lain tetapi tidak terpengaruh ketika orang lain mengatakan bahwa pakaiannya jelek misalnya. Hal ini kontras dengan pria “narsis” dimana mereka adalah seorang introvert yang selalu ingin terlihat dan terdengar bagus di hadapan orang lain. Seorang “narsis” memperhatikan setiap kritikan yang ditujukan kepadanya dengan serius dan mereka biasanya merasa “dijatuhkan” ketika ada yang mengkritik penampilannya.

Istilah lainnya yang seringkali dikaitkan dengan metroseksual ini adalah pria pesolek (dandy) dan secara faktual para dandy ini dalam berbagai aspek memiliki banyak kesamaan dengan pria metroseksual (Bree, 2004). Istilah dandy muncul di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 untuk menggambarkan pria yang sangat memperhatikan penampilan fisik. Muncul pertama kali di Inggris dan Perancis dan salah satu yang dikenali sebagai dandy pada waktu itu adalah Lord Byron. Jadi pria dandy sebenarnya telah telah ada sejak sekitar 200 tahun yang lalu. Karakteristik utama seorang dandy disamping sangat memperhatikan penampilan, mereka juga sangat berhati-hati didalam menggunakan bahasa. Dia hanya menggunakan bahasa yang halus serta fokus menggunakan waktu luangnya untuk pergi ke teater atau membaca buku. Dalam banyak hal, pria ini mencoba untuk meniru cara hidup kaum aristokrat pada waktu itu dengan memperhatikan pakaian dan rambutnya. Thomas Carly mendefinisikan pria dandy ini sebagai “pria yang keberadaannya tidak terlepas dari pakaian yang dikenakannya”. Setiap panca inderanya dari mulai jiwa, semangat serta hartanya digunakan hanya untuk memilih pakaian secara baik dan bijak, sehingga “dia tidak berpakaian untuk hidup tetapi hidup untuk berpakaian”.

Terdapat pula persamaan antara dandy dengan pria metroseksual yaitu dalam hal berpakaian. Mereka senang menjadi pusat perhatian orang lain terutama penampilan fisiknya. Tetapi apa yang membedakan antara pria dandy dan pria metroseksual ini adalah peranan olahraga dimana pria dandy tidak memiliki ketertarikan terhadap aktivitas olahraga dibandingkan pria metroseksual. Bagi seorang pria dandy olahraga adalah sesuatu yang sederhana dan wajar saja tetapi bagi seorang pria metroseksual olahraga merupakan bagian penting dari gayanya. Seorang pria metroseksual sejati biasanya memiliki hobi yang baik terhadap aktivitas olahraga ini. Dengan kata lain persamaan antara seorang dandy dengan metroseksual adalah dalam hal pakaian dan penampilan. Tetapi yang secara signifikan membedakan mereka adalah atribut sebagai seorang “atlit”.

Metroseksual Saat Ini

Pandangan lainnya melihat bahwa keberadaan pria metroseksual merupakan produk dari masyarakat masa kini. Simpson (2002) melakukan kritik terhadap masyarakat beserta kulturnya. Karena pada waktu itu banyak orang yang membelanjakan uangnya untuk membeli berbagai produk serta menjadikannya sebagai aktivitas yang paling penting. Dia tidak begitu menyukai gagasan mengenai adanya pria kaya yang hidup di daerah metropolitan dan hanya menghabiskan uangnya untuk membeli berbagai produk yang diiklankan. Menurut Simpson, iklan inilah yang kemudian mendorong para pria untuk hidup dengan gaya konsumerisme.

Tetapi sejak saat itu, seluruh media mulai menggunakan istilah “metroseksual” dan segera menjadi simbolisasi bagi seorang pria muda yang kaya dan sukses. Gambaran diri ini kemudian ditangkap perusahaan-perusahaan kosmetik dengan mulai memfokuskan kepada pria metroseksual ini dan hasilnya ternyata sangat bagus. Produksi kosmetik mereka terus meningkat serta mengalami pertumbuhan yang pesat. Sehingga berbagai perusahaan yang pada awalnya hanya memproduksi kosmetik bagi wanita seperti Nivea, Clarins dan Christian Dior secara perlahan-lahan mulai mengganti strategi pemasaran mereka dengan mendistribusikan produk bagi kaum pria. Keadaan ini terus berlanjut sampai saat ini dengan sisi komersialisasi yang lebih masif dibandingkan sebelumnya. Perusahaan tersebut berlomba-lomba untuk “membujuk” pria ini agar menggunakan berbagai jenis produk kosmetik mereka. Setiap majalah fashion kemudian menampilkan pakaian dan produk perawatan kulit terbaru dan pria yang muncul didalam iklan tersebut kemudian dianggap sebagai simbol “sex” bagi para perempuan sehingga banyak pria lainnya yang mencoba meniru.

Fenomena ini di satu sisi melihat laki-laki yang ingin terlihat sebagai selebritis atau bintang iklan. Selain merasa diperhatikan wanita, mereka juga berpikir akan menjadi sukses apabila menggunakan pakaian yang mahal serta memakai krim wajah seperti yang ada didalam iklan tersebut. Sebagian mereka mengatakan hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar termasuk ketika berpenampilan seperti wanita. Tetapi menurut Simpson (2002), hal tersebut tidaklah wajar karena pada dasarnya mereka seperti sedang melihat dirinya di dalam cermin (mirror man). Di depan cermin tersebut mereka seperti sedang melihat dirinya sendiri dan kemudian merasa puas. Jadi dapat dikatakan bahwa seseorang menjadi pria “metroseksual” ketika mereka membeli dan memakai produk yang sedang menjadi trend terbaru di pasaran dengan ribuan ribuan iklan komersial yang mendukung di sekelilingnya.

Perubahan Kultural

Budaya populer seringkali memproduksi perubahan serta menciptakan ketidakstabilan didalam kekuatan sosial yang dalam konteks ini meruntuhkan maskulinitas laki-laki (Gardiner, 2002 dalam Pompper, 2010). Hal ini kemudian meruntuhkan hegemoni maskulinitas dimana hegemoni ini kemudian dipandang hanya sebagai “ilusi” yang ditayangkan melalui berbagai film hollywood, program televisi, majalah gaya hidup pria serta olahraga. Marjorie Garber, seorang Professor Bahasa Inggris dari Universitas Harvard mengesankan bahwa masyarakat sedang dalam keadaan “krisis”. Bukan hanya krisis dalam hal kemanusiaan tetapi juga krisis mengenai pemahaman –pria khususnya dan masyarakat umumnya—terhadap peranan laki-laki didalam keteraturan sosial (social order). Dalam buku On Men : Masculinity in Crisis, digambarkan pria merasa bangga ditempatkan didalam masyarakatnya sebagai pelindung bagi keluarganya. David Gauntlett (2002:6-7) didalam bukunya Media, Gender and Identity menyebutkan ide mengenai “maskulinitas dalam krisis” yang terjadi ketika pria mulai memiliki peran baru sementara wanita menjadi lebih mampu untuk berkontribusi di tempat kerja.

Hasilnya, ketika lebih banyak wanita yang tidak lagi bergantung kepada suaminya karena mampu memenuhi kebutuhannya sendiri berikut keluarganya maka peranan tradisional pria menjadi semakin berkurang. Di masa lalu, wanita lebih tertarik kepada pria yang mampu memberikan dan melindungi keluarga—disini faktor penampilan pria bersifat sekunder. Tetapi saat ini berbeda, dengan semakin mandirinya perempuan dalam hal keuangan maka wanita dapat lebih selektif didalam memilih pasangannya. Sekarang penampilan pria menjadi faktor yang lebih besar dan menentukan. Meskipun Gauntlett kurang mempercayai situasi tersebut secara sederhana dapat dikategorikan sebagai “krisis” tetapi dia percaya bahwa sekarang waktunya untuk melakukan perubahan dan negosiasi kembali peran pria didalam kultur baru ini. Dia kemudian mengacu kepada sumberdaya terbaik bagi para pria untuk menyesuaikan peranan baru mereka didalam kehidupan kontemporer. Ini mencakup majalah top-seller serta buku-buku perawatan diri populer—dan tentunya televisi dan film, walaupun sedikit tetapi cukup signifikan. Berbagai media ini penuh dengan berbagai informasi mengenai kehidupan pria saat ini (Gauntlett, 2002:7).

Clare (2000 dalam Gauntlett, 2002:7) juga menyetujui bahwa sebuah perubahan diperlukan dimana komunikasi, emosional dan ekpresi cinta menjadi penting. Pria tidak perlu menjadi seperti wanita tetapi mereka dapat mengembangkan sebuah bentuk baru maskulinitas yang menempatkan nilai cinta, keluarga dan hubungan personal secara lebih besar serta berupaya mengurangi kekuasaan, rasa kepemilikan dan prestasi. Berlawanan dengan pria tradisional yang lebih fokus didalam membangun karir dengan tujuan untuk memberikan serta membuktikan keberhargaannya didalam keluarga. Pria masa kini merasa menemukan kebahagiaan dan lebih diterima di masyarakatnya apabila mereka memberikan perhatian kepada kualitas hubungan personal. Penelitian yang dilakukan Clare menunjukan bahwa orang yang banyak menghabiskan waktunya didalam pertukaran sosial secara signifikan meningkatkan taraf kepuasan hidupnya. Ini juga bermakna, mereka menghabiskan sedikit waktu di kantor tetapi lebih banyak menghabiskan waktunya bersama keluarga dan kawan-kawannya. Hasilnya, mereka melakukan pekerjaannya dengan lebih baik karena mereka lebih bahagia dengan kehidupannya (Gauntlett, 2002:8).

Tampaknya saat ini selain telah terjadi perubahan didalam kultur dan nilai –yaitu maskulinitas melawan feminitas-- juga telah terjadi perubahan peran “sex”. Mengacu kepada Hoyer dan MacInnis (2004:425), maskulinitas seringkali dihubungkan dengan ketegasan, kesuksesan serta persaingan dimana kemudian laki-laki dihubungkan dengan sifat agresif, dominan dan kuat. Ini juga dicerminkan dalam dalam pernyataan “jadilah laki-laki” (Gauntlett, 2002:9). Sementara nilai-nilai feminin mengacu kepada wanita sebagai pihak yang memiliki budaya memelihara (caring culture) serta dikaitkan dengan istilah lemah, emosional dan pandai berkomunikasi. Gauntlett (2002) melakukan sebuah pengamatan yang sangat menarik dimana ternyata “feminitas tidak selalu harus terlihat atau dinyatakan sebagai wanita” tetapi itu tidak lebih dari sebuah stereotip dari peranan wanita di masa lalu. Apabila dilihat dari pengertian tersebut maka terlihat adanya hubungan yang logis dengan kemunculan pria metroseksual.

Hoyer dan MacInnis (2004:371) juga menggambarkan bagaimana masyarakat kita mulai mengharapkan pria untuk memenuhi peran baru didalam rumah tangga seperti mengasuh anak serta melakukan pekerjaan rumah tangga. Beberapa suami kemudian memiliki peran ganda yaitu selain di tempat kerja juga di keluarga dan mereka merasa rela dengan tanggung jawab ini. Tetapi sebagiannya lagi belum dapat menerima perubahan peranan tersebut terutama mengenai fungsi laki-laki dalam ranah domestik rumah tangga. Dengan menunjukan sisi sensitivitas atau feminis tersebut –mencintai, peduli, emosi dan berperasaan yang lebih dari sekedar seorang ayah-- maka kemudian laki-laki didefinisikan sebagai metroseksual. Tetapi yang perlu juga diperhatikan tidak semua pria yang tersentuh sisi sensitivitasnya tersebut adalah seorang metroseksual.

Sementara wanita sendiri memiliki peranan yang berbeda. Kini mereka memiliki status yang lebih tinggi didalam posisi sosialnya yang kemudian menjadi faktor utama didalam evolusi peranan gender. Etcoff (1999:82) menduga bahwa wanita masa kini menghabiskan lebih banyak waktunya dengan memandang pasangannya sebagai pesaing. Para pria kemudian merasa membutuhkan sebuah “senjata” lain yaitu penampilan fisiknya sendiri. Sebagai akibat perubahan peran ‘sex’ maka produk tertentu kemudian dihubungkan dengan salah satu gender seperti kosmetika dan pekerjaan di bidang keuangan misalnya sehingga terjadi penggolongan sex (sex-typed). Dengan adanya perubahan ini kemudian menjadi menarik bahwa terjadi semacam kesepakatan bahwa kecantikan ternyata membawa kepada kekuasaan dan status yang lebih tinggi. Disini kemudian terlihat sebuah bentuk perjuangan baru didalam upaya memperoleh status. Dengan kata lain telah terjadi pergeseran didalam “kekuasaan” dimana pria dianggap menjadi ancaman nyata bagi kecantikan yang merupakan status kekuasaan perempuan yang telah dimiliki bertahun-tahun.

Terkait aspek spasial, wilayah perkotaan menjadi saksi terhadap kemunculan pria metroseksual ini. Wilayah perkotaan memiliki banyak pertokoan, salon penata rambut serta berbagai klub dan tempat kebugaran. Selain itu wilayah perkotaan juga cenderung lebih toleran terhadap perbedaan dibandingkan dengan daerah pedesaan dimana kelas pekerjanya sulit untuk merubah peranan sex konvensionalnya. Secara tradisional, para wanita disini lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah bersama anak-anak, keluarga, teman serta tetangganya. Sementara laki-lakinya menikmati manghabiskan waktunya bersama teman-temannya untuk mengejar hobi mekanis dan bekerja.

Tetapi yang cukup mengejutkan, meskipun di kota kecil (small town) kini masyarakatnya mulai menyaingi apa yang terlihat di kota besar. Sikap terhadap gender kemudian berubah dan metroseksualisme menyebar. Hoyer dan MacInnis (2004:453) menambahkan bahwa terdapat orang-orang tertentu yang menjadi pemimpin opini, membentuk, memperbaiki atau membentuk kembali prinsip-prinsip kultural yang kemudian dikaitkan dengan berbagai produk serta atribut tertentu. Para pemimpin opini tersebut seperti David Beckham,Hugh Jackman, Brad Pitt, Orlando Bloom dan Jeff Gordon memiliki pengaruh yang besar didalam merubah sikap terhadap metroseksualitas. Kelas pekerja kemudian mulai mengagumi serta meniru para atlit dan aktris hollywood tersebut sehingga dampaknya mereka kemudian membawa pemahaman mengenai metroseksualitas yang lebih baik ke wilayah pedesaan. Imogen Matthews (2005:39) pengarang “How men Catch Ob to Cosmetic” menemukan bahwa dengan semakin tumbuhnya dorongan media disertai gambaran budaya yang “menggoda” maka banyak remaja dan anak muda yang kini mengakui bahwa mereka perlu untuk berpenampilan lebih baik. Tidak seperti generasi yang lebih tua dimana mereka cenderung melihat adanya kontradiksi antara maskulinitas dan kesombongan.

Hegemoni Kultural

Gencarnya iklan dan promosi produk dari bangsa barat mengenai pentingnya lelaki memperhatikan tampilan tubuh menjadi suatu hal yang telah mendominasi alam pikiran beberapa lelaki dalam cara berpakaian dan menata diri. Apa yang ditampilkan dan dipresentasikan di dalam iklan sebenarnya adalah bagaimana barat dalam hal ini melalui perusahaan-perusahaan yang memproduksi produk-produk tersebut mencoba mengubah selera konsumen dan cara berpikir mereka (mind set) didalam memaknai bagaimana pria seharusnya berpakaian dan bergaya. Dengan mengutip pemikiran Gramsci ini adalah bentuk dari hegemoni barat terhadap bangsa-bangsa lain di dunia. Gramsci berpendapat bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang kemudian mengadopsi budaya Barat.

Dalam konteks developmentalisme, konsep Gramsci memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme struktural (John Galtung) dan imperialisme kultural (Herbert Schiller). Herbert Schiller seorang pendukung utama imperialism kultural menyatakan bahwa industri komunikasi telah merubah pola pikir manusia modern dan sebagai media untuk menyebarkan hegemoni keseluruh penjuru dunia. Selain itu Barat kemudian memperoleh keuntungan yang luar biasa besar dari pembelian produk-produk mereka di seluruh dunia. Produk-produk tersebut masuk ke negara-negera berkembang dengan dalih modernitas yang kemudian modernitas ini masuk ke alam pikiran suatu bangsa. Sehingga negara-negara berkembang hanya punya dua pilihan yaitu mengikuti nilai dan gaya modernitas atau terseingkir dari “gelanggang” sejarah. Masifnya penetrasi modernisasi ini, jika dahulu dibantu dan dipercepat melalui peralatan perang, maka di era sekarang mereka masuk melalui komunikasi, iklan maupun pemberitaan yang canggih melalui beragam media seperti internet, televisi, dan koran. Imperialisme dan globalisasi sesungguhnya dua fenomena dengan pesan yang sama, ‘perluasan daerah kekuasaan modernitas’. Media menjadi lebih penting daripada pesan yang disampaikannya dan sistem tanda (system of signs) lebih bermakna dibandingkan sistem objek (system of objects). Konsumen kemudian hanyut dalam simbol, citra dan penampilan yang telah dikonstruksikan oleh bangsa-bangsa yang lebih maju dalam penguasaan teknologi.

Gaya hidup metroseksualitas yang hadir di tengah-tengah masyarakat dengan ideologi sosok arsistik berpenampilan dandy, konsumtif serta memanfaatkan waktu luangnya di klub, spa, salon, butik, penata rambut, restoran, dan toko ternama merupakan hasil dari keahlian para produsen ‘ideologi‘ tersebut. Mereka membangkitkan kebutuhan terhadap estetika penampilan didalam kehidupan sehari-hari melalui berbagai bentuk tawaran iklan produk kecantikan serta keahlian perawatan rambut, wajah, laser, blue peel, teta peel dan sebagainya yang tidak hanya ditawarkan kepada kaum wanita tetapi juga pria.

Metroseksual dan Relasi Gender

salah satu faktor pendorong yang paling penting dalam munculnya fenomena “pria metroseksual” ini adalah perluasan identitas gender. Gender adalah salah satu bentuk prilaku yang paling penting dikodifikasikan dalam semua masyarakat dan budaya (Leiss, Kline & Jhally, 1990:215). Ketika kesetaraan gender marak didengungkan oleh kaum feminis untuk menuntut kesamaan hak dengan laki-laki, maka laki-laki pun demikian. Kaum laki-laki memiliki alasan bahwa mereka melakukan aktivitas shopping, pergi ke salon, berolahraga di gym, memakai produk bermerk (branded), dan lain-lain untuk menjaga kesehatan dan menjaga kesan baik di hadapan klien. Dalam beberapa dekade terakhir, kita melihat sebuah visibilitas peningkatan tubuh laki-laki di media dan budaya popular. Laki-laki mendapatkan eksposur meningkat tidak hanya dari tubuh mereka melainkan juga dari gaya hidup yang menjadi pilihan terhadap konsumsi dan kebutuhan emosional yang kemudian memunculkan sebuah representasi dalam budaya popular dimana tubuh laki-laki digambarkan secara ideal dan erotis (Moore ,1988 & Simpson, 1994).

Penutup

Metroseksualitas adalah salah satu karakteristik subversif dalam perbandingannya dengan tradisi patriarki heteroseksual ideal dimana perempuan yang selalu dikagumi pria. Secara lebih jauh, posisi ini membalikan siapa yang aktif dan pasif dalam hal gender. Pada awalnya, masalah seksualitas selalu dikaitkan dengan kategori pria metroseksual ini yang kemudian diberi label sebagai homoseksual. Tetapi pemaknaan ini tidaklah benar karena apa yang sesuangguhnya dipersepsikan sebagai metroseksual adalah “pilihan gaya hidup, pola konsumsi, penggunaan merk serta lingkaran sosial tertentu”. Pada dasarnya, gaya hidup metroseksual bukanlah sesuatu yang baru melainkan sudah ada sejak berabad-abad lamanya, namun pada saat itu kesetaraan gender serta kolaborasi antara pasar dengan media belum membentuk suatu nilai kultur yang menganggap metroseksual adalah sesuatu yang wajar. Di era masyarakat modern, seorang pria dandy yang narsistik dianggap wajar bahkan perlu guna merawat kesehatan maupun menjaga penampilan di hadapan orang lain.

Gaya hidup metroseksual pada dasarnya didorong oleh beberapa faktor, diantaranya adalah perluasan identitas gender, pengaruh media dan peran kapitalis yang sangat jeli dalam melihat dan menjadikannya sebagai lahan keuntungan serta kemampuannya didalam menciptakan kultur baru di masyarakat. Fenomena pria metroseksual mengalami peningkatan yang cukup signifikan –terutama di perkotaan- juga karena didukung oleh perubahan kultur dan nilai maskulinitas itu sendiri. Seiring dengan semakin mandirinya kaum wanita dalam berbagai segi –termasuk keuangan- peran atau dominasi kaum pria dalam keluarga pun turut bergeser. Kini wanita dapat lebih selektif dalam memilih pasangannya, dimana kini penampilan menjadi faktor yang lebih besar menjadi penentunya. Gencarnya iklan dan promosi produk dari bangsa barat mengenai pentingnya lelaki memperhatikan tampilan tubuh menjadi suatu hal yang telah mendominasi alam pikiran beberapa lelaki dalam berpakaian dan menata diri. Apa yang ditampilkan dan dipresentasikan di dalam iklan sebenarnya adalah bagaimana barat dalam hal ini melalui perusahaan-perusahaan yang memproduksi produk-produk tersebut mencoba mengubah selera konsumen dan cara berpikir mereka dalam memaknai bagaimana pria seharusnya berpakaian dan bergaya. Dengan mengutip pemikiran Gramsci tersebut maka telah terbentuk hegemoni barat terhadap bangsa-bangsa lain di dunia. Gramsci berpendapat bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang kemudian mengadopsi budaya Barat dan mereproduksinya menjadi budaya sendiri.

Media –baik cetak maupun elektronik- tidak dapat dipungkiri memiliki andil yang sangat besar dalam mensosialisasikan gaya hidup pria metroseksual ini. Berkolaborasi dengan pihak kapitalis terutama perusahaan kometik telah menjadikan metroseksual sebagai ikon atau trendsetter pria modern masa kini. Namun, menurut kami fenomena pria metroseksual bukanlah menjadi suatu masalah yang pada akhirnya mendiskreditkan image pria. Metroseksual justru dapat menjadi suatu perubahan sosial dalam hal gaya hidup yang turut serta membangun perekonomian dunia serta menjadi sarana penghapusan seksisme dalam wilayah pria itu sendiri.


Nb: Kalau mau baca lebih lengkapnya, tunggu jurnalnya yaa :D