Rabu, 30 Maret 2011

Fukushima Fifty (KAMIKAZE/HARAKIRI abad 21)


Lagi-lagi kisah heroik dari Jepang, kali ini berkaitan dengan bocornya PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) di Fukushima, Jepang. Kisah heroik ini mengingatkan saya akan kisah Kamikaze yang dilakukan para tentara Jepang pada PD II dan (di era yang lebih kuno lagi) Harakiri pada zaman Samurai. Yang membuat saya salut adalah, betapa rasa kesetiaan & cinta tanah air sangat melekat kuat pada diri warga Jepang, padahal jika kita runut lebih dalam apa sih yang bisa dibanggakan dari Jepang? -dilihat dari segi SDA- Jepang termasuk salah satu negara yang minim SDA, saya pernah membaca sebuah buku yang bercerita mengenai sejarah Jepang. Di buku itu diceritakan bagaimana kondisi geografis wilayah Jepang serta dampak yang ditimbulkan pada SDA yang dihasilkan, dan hasilnya adalah tidak ada tumbuhan yg dapat bertahan hidup selain Sakura yang dijadikan lambang negara Jepang & pada saat itu Jepang diprediksi tidak akan bertahan lama bercokol di peta dunia. Tapi hebatnya sampai saat ini Jepang masih menunjukkan eksistensinya di peta dunia bahkan Jepang yang miskin SDA bisa menjajah beberapa negara (termasuk Indonesia) & berani melawan Amerika Serikat pada PD II!!! ckckck....

Banyak faktor yang membuat menjadi unggul (utamanya di wilayah Asia) salah satunya adalah karena sumber daya manusia alias masyarakat Jepang yang diberdayakan sedemikian rupa sehingga bisa menjadi "mesin pembunuh" bagi pihak2 yang berniat menghancurkan negaranya. berikut adalah cerita mengenai Fukushima Fifty yang menceritakan tentang pahlawan-pahlawan Jepang yang rela bertaruh nyawa demi mengatasi radiasi nuklir di Fukushima..

Mereka adalah sekelompok pekerja reaktor nuklir yang siap berjibaku menjinakkan reaktor nuklir di Fukushima Daiichi yang terus tertimpa masalah sejak gempa melanda Jepang, 11 Maret silam. Dunia mulai mengenal Fukushima Fifty dari blog Michiko Otsuki, seorang pekerja wanita di reaktor Fukushima. Beberapa hari lalu Michiko menulis kisah heroik mereka. Menurut Michiko, saat diungsikan bersama sekitar 800 orang pekerja lain, ia menyaksikan sejumlah rekannya yang tidak lari dari reaktor. Mereka justru terjun untuk langsung berupaya mengatasi keadaan. Terlepas dari kemungkinan mereka menjadi mangsa radiasi berbahaya. Meski jumlahnya diduga lebih dari 50 orang, masyarakat Jepang dan dunia telanjur mengenal mereka dengan sebutan Fukushima Fifty. Bagi warga mereka adalah pahlawan yang siap mengorbankan nyawa demi keselamatan orang lain. Sikap seperti ini mendapat penghargaan tinggi dalam masyarakat yang terkenal dengan budaya bushido tersebut. Perdana Menteri Jepang Naoto Kan bahkan sempat menyatakan dukungan moralnya bagi Fukushima Fifty. Bagi Kan, kelompok ini telah melakukan upaya terbaik tanpa mementingkan diri sendiri. Keberanian Fukushima Fifty telah menginspirasi puluhan pekerja reaktor-reaktor nuklir lainnya di seantero Jepang. Mereka kini telah menawarkan diri untuk berjibaku bersama Fukushima Fifty menjinakkan reaktor nuklir Fukushima.

Sudah dua minggu mereka berjuang mengembalikan kendali reaktor tapi loronhg gelap masih panjang. Indikasi-indikasi kebocoran radiasi malah makin meluas dan telah berdampak langsung ke air minum ledeng di Tokyo. Paparan radiasi sudah lebih dari dua kali lipat dari ambang batas normal untuk konsumsi bayi dan anak-anak. Batas normal adalah 100 beqcuerels per liter air. Jarak Fukushima ke Tokyo sekitar 270 km. Sayuran dan makanan di prefektur sekitar Fukushima sudah jelas terpapar radiasi dan pemerintah jepang telah melarang untuk dikonsumsi karena rentan mengakibatkan kelainan pertumbuhan jaringan tubuh (tumor/kanker) terutama thyroid. Dari kejadian yang telah terjadi di luar reaktor nuklir Fukushima bisa dibayangkan kondisi radiasi radioaktif di dalam bangunan reaktor sendiri.

Para pekerja yang memilih kembali bekerja, walaupun ada pilihan desersi, dalam situasi yang sangat sulit tentu memiliki jiwa ksatria khas militan Jepang. Resiko yang mereka hadapi besarnya pasti melebihi kompensasi yang bisa diberikan perusahaan ataupun bahkan negara. Tak heran mereka oleh media massa Jepang digelari The Fukushima Fifty, cuma 50 pekerja saja yang mau kembali bekerja menyelamatkan reaktor dibanding 700an pekerja pada kondisi normal. Meski beberapa sumber menyebutkan pekerja yang kembali berjumlah 200an pekerja. Mereka harus bekerja dengan berpacu waktu untuk memulihkan sistem pendingin reaktor yang rusak dihantam tsunami dan gempa besar berkekuatan 9 skala richter sebelum semua upaya menjadi sia-sia dengan melelehnya casing/selubung reaktor yang kini menjadi pelindung terakhir radiasi reaktor. Karena jika casing/selubung meleleh maka peristiwa Chernobyl 1986 akan berulang di Fukushima dan jutaan orang akan menerima dampak kebocoran besar partikel radioaktif. Pakaian kerja tahan radiasi tidak bisa mencegah sepenuhnya paparan radioaktif meski kedap air dan udara serta berlapis timbal. Terharu rasanya membaca kisah seorang pekerja yang setahun lagi akan pensiun ikut mendaftar menjadi sukarelawan pemulihan reaktor. Bahkan di beberapa tempat di dalam reaktor pasca ledakan gas hidrogen terdeteksi sampai 500 mili-Sievert. Jauh melampai batas aman paparan radioaktif sebanyak 100 mili-Sievert dalam setahun.

Pesan tajam dikirim pulang oleh pekerja mencoba untuk mencegah bencana nuklir skala penuh di pabrik dilanda nuklir Jepang mengungkapkan bahwa mereka tahu bahwa mereka berada pada misi bunuh diri. Salah satu anggota 'Fukushima Fifty' mengatakan bahwa mereka tenang menerima nasib mereka seperti hukuman mati '. pesan-pesan menyayat hati mereka kepada keluarganya dipublikasikan televisi nasional Jepang yang telah mewawancarai kerabat mereka. Seorang anggota keluarga mereka berkata, "Ayah saya masih bekerja di pembangkit itu. Dia mengatakan, dia menerima nasibnya, seperti sebuah hukuman mati." Seorang perempuan mengatakan, suaminya yang berada di pembangkit itu terus bekerja dan sepenuhnya menyadari ia sedang dibombardir radiasi.

Perempuan yang lain mengatakan, ayahnya yang berusia 59 tahun secara sukarela mengajukan diri untuk tugas di Fukushima. Ia menambahkan, sebagaimana dikutip Dailymail, "Saya mendengar bahwa ia secara sukarela meskipun ia akan pensiun dalam waktu setengah tahun dan mata saya jadi penuh dengan air mata. Di rumah, ia tidak tampak seperti seseorang yang bisa menangani pekerjaan besar. Tapi hari ini, saya benar-benar bangga padanya. Saya berdoa agar dia kembali dengan selamat."

Contoh pesan yang dikirim oleh salah seorang anggota Fukushima Fifty yang menyerap dosis radiasi cukup tinggi kepada istrinya:
"Tolong terus hidup dengan baik, saya tidak bisa pulang untuk sementara waktu." *mengharukan yaa T_T

Dari semua mereka yang bertahan di pembangkit itu, lima diantaranya diketahui meninggal dan dua hilang, sedikitnya 21 orang lainnya terluka.

Inilah gambaran hidup masyarakat Jepang yang memiliki sifat GAMBARU serta rasa CINTA TANAH AIR yang tidak tertandingi di dunia...saluuuuuuuuuuuutttt :D

Kamis, 17 Maret 2011

Say YES to GAMBARU!! => Prinsip Hidup Masyarakat Jepang


Kemarin gw dapet kiriman email dari dosen gw yang saat ini sedang menuntut ilmu di Lyon University of France...cerita yang simpel namun panjang (apa coba maksud'a??? hahaha) tapi makna'a sangat dalam, dan m'buat gw -yg saat ini masih b'status sebagai mahasiswa- merasakan motivasi yg cukup besar dari bacaan ini :D..begini cerita'a:

Terus terang aja, satu kata yang bener2 bikin muak jiwa raga setelah tiba di Jepang dua tahun lalu adalah : GAMBARU alias berjuang mati-matian
sampai titik darah penghabisan. Muak abis, sumpah, karena tiap kali bimbingan sama prof, kata-kata penutup selalu :
motto gambattekudasai (ayo berjuang lebih lagi); taihen dakedo, isshoni gambarimashoo (saya tau ini sulit, tapi ayo berjuang bersama-sama) ; motto motto kenkyuu shitekudasai (ayo bikin penelitian lebih dan lebih lagi).

Sampai gw rasanya pingin ngomong, apa ngga ada kosa kata lain selain GAMBARU? apaan kek gitu, yang penting bukan gambaru.

Gambaru itu bukan hanya sekadar berjuang2 cemen gitu2 aja yang kalo males atau ada banyak rintangan, ya udahlah ya...berhenti aja. Menurut kamus bahasa jepang sih, gambaru itu artinya : "doko made mo nintai shite doryoku suru" (bertahan sampai kemana pun juga dan berusaha abis-abisan)

Gambaru itu sendiri, terdiri dari dua karakter yaitu karakter "keras" dan "mengencangkan". Jadi image yang bisa didapat dari paduan karakter ini adalah "mau sesusah
apapun itu persoalan yang dihadapi, kita mesti keras dan terus mengencangkan diri sendiri, agar kita bisa menang atas persoalan itu" (maksudnya jangan manja, tapi anggap semua persoalan itu adalah sebuah kewajaran dalam hidup, namanya hidup emang pada dasarnya susah, jadi jangan ngarep gampang, persoalan hidup hanya bisa dihadapi dengan gambaru, titik.).

Terus terang aja, dua tahun gw di jepang, dua tahun juga gw ngga ngerti, kenapa orang2 jepang ini menjadikan gambaru sebagai falsafah hidupnya.

Bahkan anak umur 3 tahun kayak Joanna (putri dari penulis cerita ini) pun udah disuruh gambaru di sekolahnya, kayak pake baju di musim dingin mesti yang tipis2 biar ngga manja
terhadap cuaca dingin, di dalam sekolah ngga boleh pakai kaos kaki karena kalo telapak kaki langsung kena lantai itu baik untuk kesehatan, sakit2 dikit cuma ingus meler2 atau demam 37 derajat mah ngga usah bolos sekolah, tetap dihimbau masuk dari pagi sampai sore, dengan
alasan, anak akan kuat menghadapi penyakit jika ia melawan penyakitnya itu sendiri.

Akibatnya, kalo naik sepeda di tanjakan sambil bonceng Joanna, dan gw ngos2an kecapean, otomatis Joanna ngomong : Mama, gambare! mama faitoooo! (mama ayo berjuang, mama ayo fight!).

Pokoknya jangan manja sama masalah deh, gambaru sampe titik darah penghabisan it's a must!

Gw bener2 baru mulai sedikit mengerti mengapa gambaru ini penting banget dalam hidup, adalah setelah terjadi tsunami dan gempa bumi dengan kekuatan 9.0 di jepang bagian timur. Gw
tau, bencana alam di indonesia seperti tsunami di aceh, nias dan sekitarnya, gempa bumi di padang, letusan gunung merapi....juga bukanlah hal yang gampang untuk dihadapi. Tapi, tsunami dan gempa bumi di jepang kali ini, jauuuuuh lebih parah dari semuanya itu. Bahkan, ini adalah gempa bumi dan tsunami terparah dan terbesar di dunia.

Wajaaaaaaar banget kalo kemudian pemerintah dan masyarakat jepang panik kebingungan karena bencana ini. Wajaaaaar banget kalo mereka kemudian mulai ngerasa galau, nangis2, ga tau mesti ngapain.

Bahkan untuk skala bencana sebesar ini, rasanya bisa "dimaafkan" jika stasiun-stasiun TV memasang sedikit musik latar ala lagu-lagu ebiet dan membuat video klip tangisan anak negeri yang berisi wajah-wajah korban bencana yang penuh kepiluan dan tatapan kosong tak punya harapan.

Bagaimana tidak, tsunami dan gempa bumi ini benar-benar menyapu habis seluruh kehidupan yang mereka miliki. Sangat wajar jika kemudian mereka tidak punya harapan.

Tapi apa yang terjadi pasca bencana mengerikan ini?

Dari hari pertama bencana, gw nyetel TV dan nungguin lagu-lagu ala ebiet diputar di stasiun TV. Nyari-nyari juga di mana rekening dompet bencana alam. Video klip tangisan anak negeri juga gw tunggu2in. Tiga unsur itu (lagu ala ebiet, rekening dompet bencana, video klip tangisan anak negeri), sama sekali ngga disiarkan di TV.
Jadi yang ada apaan dong?

Ini yang gw lihat di stasiun2 TV :

1. Peringatan pemerintah agar setiap warga tetap waspada

2. Himbauan pemerintah agar seluruh warga jepang bahu membahu menghadapi bencana (termasuk permintaan untuk menghemat listrik agar warga di wilayah tokyo dan tohoku ngga lama-lama terkena mati lampu)

3. Permintaan maaf dari pemerintah karena terpaksa harus melakukan pemadaman listrik terencana

4. Tips-tips menghadapi bencana alam

5. nomor telepon call centre bencana alam yang bisa dihubungi 24 jam

6. Pengiriman tim SAR dari setiap perfektur menuju daerah-daerah yang terkena bencana

7. Potret warga dan pemerintah yang bahu membahu menyelamatkan warga yang terkena bencana (sumpah sigap banget, nyawa di jepang benar-benar bernilai banget harganya)

8. Pengobaran semangat dari pemerintah yang dibawakan dengan gaya tenang dan tidak emosional : mari berjuang sama-sama menghadapi bencana, mari kita hadapi (government official pake kata norikoeru, yang kalo diterjemahkan secara harafiah : menaiki dan melewati) dengan sepenuh hati

9. Potret para warga yang terkena bencana, yang saling menyemangati :
*ada yang nyari istrinya, belum ketemu2, mukanya udah galau banget, tapi tetap tenang dan ngga emosional, disemangati nenek2 yang ada di tempat pengungsian : gambatte sagasoo! kitto mitsukaru kara. Akiramenai de
(ayo kita berjuang cari istri kamu. Pasti ketemu. Jangan menyerah)

*Tulisan di twitter : ini gempa terbesar sepanjang sejarah. Karena itu, kita mesti memberikan usaha dan cinta terbesar untuk dapat melewati bencana ini; Gelap sekali di Sendai, lalu ada satu titik bintang terlihat terang. Itu bintang yang sangat indah. Warga Sendai, lihatlah ke atas.

Sebagai orang Indonesia yang tidak pernah melihat cara penanganan bencana ala gambaru kayak gini, gw bener-bener merasa malu dan di saat yang bersamaan : kagum dan hormat banget sama warga dan pemerintah Jepang.

Ini negeri yang luar biasa, negeri yang sumber daya alamnya terbatas banget, negeri yang
alamnya keras, tapi bisa maju luar biasa dan punya mental sekuat baja, karena : falsafah gambaru-nya itu.

Bisa dibilang, orang-orang jepang ini ngga punya apa-apa selain GAMBARU. Dan, gambaru udah lebih dari cukup untuk menghadapi segala persoalan dalam hidup.

Bener banget, kita mesti berdoa, kita mesti pasrah sama Tuhan. Hanya, mental yang apa-apa "nyalahin" Tuhan, bilang2 ini semua kehendakNya, Tuhan marah pada umatNya, Tuhan marah melalui alam maka tanyalah pada rumput yang bergoyang... ..

I guarantee you 100 percent, selama masih mental ini yang berdiam di dalam diri kita, sampai kiamat sekalipun, gw rasa bangsa kita ngga akan bisa maju.

Kalau ditilik lebih jauh, "menyalahkan" Tuhan atas semua bencana dan persoalan hidup, sebenarnya adalah kata lain dari ngga berani bertanggungjawab terhadap hidup yang dianugerahkan Sang Pemilik Hidup.

Jika diperjelas lagi, ngga berani bertanggungjawab itu maksudnya : lari dari masalah, ngga mau ngadepin masalah, main salah2an, ngga mau berjuang dan baru ketemu sedikit rintangan aja udah nangis manja.

Kira-kira setahun yang lalu, ada sanak keluarga yang mempertanyakan, untuk apa gw menuntut ilmu di Jepang. Ngapain ke Jepang, ngga ada gunanya, kalo mau S2 atau S3 mah, ya di eropa atau amerika sekalian, kalo di Jepang mah nanggung. Begitulah kata beliau.

Sempat terpikir juga akan perkataannya itu, iya ya, kalo mau go international ya mestinya ke amrik atau eropa sekalian, bukannya jepang ini. Toh sama-sama asia, negeri kecil pula dan kalo ga bisa bahasa jepang, ngga akan bisa survive di sini. Sampai sempat nyesal juga,kenapa gw ngedaleminnya sastra jepang dan bukan sastra inggris atau sastra barat lainnya.

Tapi sekarang, gw bisa bilang dengan yakin sama sanak keluarga yang menyatakan ngga ada
gunanya gw nuntut ilmu di jepang.

Pernyataan beliau adalah salah sepenuhnya.

Mental gambaru itu yang paling megang adalah jepang. Dan menjadikan mental gambaru sebagai way of life adalah lebih berharga daripada go international dan sejenisnya itu.

Benar, sastra jepang, gender dan sejenisnya itu, bisa dipelajari di mana saja. Tapi, semangat juang dan mental untuk tetap berjuang abis-abisan biar udah ngga ada jalan, gw rasa, salah satu tempat yang ideal untuk memahami semua itu adalah di jepang.

Dan gw bersyukur ada di sini, saat ini. Maka, mulai hari ini, jika gw mendengar kata gambaru, entah di kampus, di mall, di iklan-iklan TV, di supermarket, di sekolahnya joanna atau di mana pun itu, gw tidak akan lagi merasa muak jiwa raga.

Sebaliknya, gw akan berucap dengan rendah hati :

Indonesia jin no watashi ni gambaru no seishin to imi wo oshietekudasatte, kokoro kara kansha itashimasu. Nihon jin no minasan no yoo ni, gambaru seishin wo mi ni tsukeraremasu yoo ni, hibi gambatteikitai to omoimasu.

(Saya ucapkan terima kasih dari dasar hati saya karena telah mengajarkan arti dan mental gambaru bagi saya, seorang Indonesia. Saya akan berjuang tiap hari, agar mental gambaru merasuk dalam diri saya, seperti kalian semuanya, orang-orang Jepang).

Say YES to GAMBARU!

Jujur, ketika baca cerita ini gw malu sebagai warga Indonesia. Setiap ada bencana yg d'gembar-gemborkan masyarakat kita adalah "karma Tuhan" atau "azab Tuhan" dan ujung2'a kita sibuk minta bantuan baik k'masyarakat internasional maupun masyarakat lokal. Sikap individual justru muncul pada saat begini, orang udah ga saling peduli dgn sesama korban (yg penting diri'a, harta benda'a dan kluarga'a selamat), boro2 ngasih semangat bwt sesama korban bencana, yg ada malah konflik akibat rebutan makanan ckckckck. Profesi baru juga mulai d'jalani oleh korban bencana sebagai PENGEMIS MASSAL yg minta duit d'jalan2 tanpa mau susah payah bangkit dgn kembali b'usaha dari titik nol ataupun nyalah2in pemerintah. Gw ngomong begini bukan karna mw ngebela pemerintah tapi cuma sekedar kecewa aja ma masyarakat kita yg sangat MANJA!!
Mungkin inilah kekurangan dari sebuah negara yg kaya akan SDA (bahkan gw denger2 Indonesia terkaya no 1 akan SDA d'dunia), masyarakat terbiasa d'manjakan dengan segala anugrah Tuhan berupa tanah yg subur, laut yg kaya, dsb sehingga mentalitas kita kurang t'asah..jadi inget buku yg gw baca, disitu diceritakan betapa gigihnya perjuangan masyarakat Jepang dimulai dari jaman Samurai. Di jaman modern seperti sekarang, Jepang yg notabene termasuk dalam jajaran negara kaya & maju masih m'pertahankan prinsip GAMBARU dgn baik, bahkan ada semboyan d'kalangan pelajar Jepang yg hendak m'ikuti ujian perguruan tinggi yaitu: 4 sukses 5 gagal => pelajar yg punya waktu tidur hanya 4 jam (sisa'a untuk belajar) akan berhasil masuk universitas sedangkan pelajar yg waktu tidur'a 5 jam d'jamin akan gagal...jika ia gagal maka solusi yg d'lakukan adalah HaraKiri (walaupun tata cara'a udah berubah karna udah ga pake m'robek perut dari kanan ke kiri lagi melainkan dgn gantung diri/potong urat nadi). Yah..walopun gw ga setuju dgn bunuh diri namun gw sangat mengagumi mentalitas masyarakat Jepang yg pantang menyerah dalam m'jalani hidup dan pantang mengemis2 ria :D
*yg pasti impian gw utk kuliah d'Jepang makin m'gebu2 huhuhu

yupz..semoga tulisan ini bisa menjadi inspirasi buat para pembaca, Gambatte ne kudasai!!!! \(^o^)/

Rabu, 16 Maret 2011

ISLAM DAN DEMOKRASI SEKULER (bentuk partisipasi politik dari partai politik}

Pasca jatuhnya kepemimpinan Soeharto, yang kemudian diikuti dengan berbagai peristiwa WTC, bom Bali maupun tindak kekerasan yang lain, persoalan demokratisasi di Indonesia berada pada era pertumbuhan. Sebagai negara multikultur yang penduduknya mayoritas muslim, Indonesia juga dihadapkan pada masalah demokrasi dan nilai-nilai agama Islam (dilihat dari segi geografis dan jumlah penduduk, Indonesia adalah negara Islam terbesar). Hal ini pulalah yang terlihat dalam tulisan Saiful Mujani, yaitu tentang keberadaan demokrasi sekuler dan penjelasan mengapa itu terjadi. Tulisan yang juga merupakan bagian dari disertasinya, mencoba menguraikan tentang keterkaitan Islam di Indonesia dengan demokrasi, meski kemudian banyak pula menuai perdebatan. Dalam hal ini Saiful Mujani melakukan peneltiannya dengan survey, khususnya ketika pemilu 2004 dan 2009. Berdasarkan survey tersebut terlihat bahwa terdapat tiga partai sekuler utama, yaitu PDI P, Golkar dan Partai Demokrat. Kemudian pada Pemilu 2009, bertambah dengan keberadaan Partai Gerindra dan Hanura. Namun di sisi lain terdapat pula komposisi perolehan suara dari partai sekuler Islam, seperti PKB (didasarkan pada NU) dan PAN (didasarkan pada Muhammadiyah) yang kemudian mengalami penurunan. Demikian pula halnya dengan partai Islam sendiri, yaitu PPP dan PKS mengalami penurunan dalam perolehan suara.

Melalui survey tersebut pada hakekatnya juga memberikan gambaran tentang keberadaan pelaksanaan demokrasi di Indonesia dalam bentuk partisipasi politik dari partai sekuler maupun partai Islam. Tetapi sesungguhnya juga tetap dengan memperhatikan makna atau penggunaan istilah sekuler secara tepat. Sejalan dengan ini, dominasi partai sekuler di Indonesia juga memiliki hubungan di antara kelompok-kelompok relijius. Selain itu, sekularisasi dari demokrasi di Indonesia terlihat pula pada hasil-hasil dari beberapa ‘pilkada’ dalam perolehan suara yang didominasi oleh PDI P dan Golkar. Berdasarkan tulisannya ini pula menunjukkan bahwa partai politik sekuler dan politisi sekuler mendominasi hingga masa yang akan datang, meski untuk jangka pendek dalam stabilitas demokrasi. Hal ini sekaligus sebagai tantangan nyata dalam melakukan konsolidasi demokrasi dan menanggapinya secara efektif.

Namun di sisi lain, Saiful Mujani juga ingin membedah wacana Islam dan demokrasi yang tidak lepas dari persoalan negara, kekuasaan, mupun politik serta relasi antara Islam dengan entitas lain di luar Islam. Bahkan tesis utamanya adalah ingin melihat secara empiris perkembangan demokrasi di sebuah negara yang mayoritas penduduknya muslim. Dengan kata lain, pemikiran Saiful Mujani ini juga ingin membantah tesis yang mengatakan bahwa Islam tidak sesuai dengan demokrasi, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Samuel Huntington. Menurut Huntington, demokrasi beserta issue-issue modernisme dianggap tidak cocok dengan kultur Islam, bahkan istilah muslim demokrat dari Mujani terkesan memiliki makna yang bertentangan secara istilah (contradictio in terminis). Menurut Saiful Mujani, umat Islam di Indonesia justru memberikan kontribusi positif bagi munculnya partisipasi demokrasi. Keterlibatan umat Islam di Indonesia dalam kegiatan keagamaan dan sekuler membuat umat Islam toleran terhadap kelompok lain. Bahkan ada sejumlah nilai dalam Islam yang diyakini mendukung demokrasi , seperti melalui ijtihad (penalaran rasional), ijma (konsensus), ikhtilaf (perbedaan pendapat). Selain itu, muslim di Indonesia juga sangat mendukung konsep negara bangsa, meski dalam tradisinya beberapa negara Arab bersifat otoriter sehingga dianggap tidak mencerminkan demokratis. Namun sebenarnya yang menjadi persoalan adalah apakah itu disebabkan oleh faktor Islam atau tidak. Dengan demikian pandangan Huntington yang menyebutkan bahwa Islam tidak kompatibel sebenarnya juga harus dikemukakan sebagai pengecualian, jika itu dilihat hanya di negara-negara Arab. Karena Indonesia misalnya, meski saat ini juga didominasi oleh partai sekuler namun pola penafsiran Islam dapat sejalan dan memperkuat demokrasi. Keadaan ini dapat terlihat dari perjalanan demokrasi di Indonesia, meski sistem demokrasi kerap berubah (demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin,maupun demokrasi Pancasila).

Bukti lain yang menunjukkan berlangsungnya arus demokrasi di Indonesia adalah besarnya masyarakat Indonesia yang ikut berpartisipasi dalam kancah politik, partisipasi politik dalam hal ini tidak hanya sekedar mengikuti kegiatan PEMILU ataupun menjadi anggota suatu partai saja melainkan juga melakukan kegiatan yang tujuannya untuk mempengaruhi pemerintah karena partisipasi politik dapat diarahkan untuk mengubah keputusan-keputusan para pejabat yang sedang berkuasa, mengganti atau mempertahankan pejabat-pejabat itu, atau mempertahankan organisasi sistem politik yang ada dan aturan-aturan permainan politiknya. Semuanya merupakan cara-cara untuk mempengaruhi keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan pemerintah. Bentuk-bentuk partisipasi politik adalah (1) kegiatan pemilihan, (2) lobbying, (3) kegiatan organisasi, (4) contacting yaitu membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka (mencari koneksi), dan (5) tindakan kekerasan. Adapun landasan partisipasi politik adalah (1) kelas, individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa, (2) kelompok komunal, individu-individu dengan asal usul ras, agama, bahasa atau etnis yang serupa, (3) lingkungan, individu-individu yang jarak tempat tinggalnya berdekatan, (4) partai, individu-individu yang mengidentifikasikan diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legeslatif pemerintah, dan (5) golongan/fraksi, individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan dan ekonomi yang tidak sederajat.

Oleh karena itu, jika dilihat dari perjalanan dan perkembangannya, Indonesia telah menganut demokrasi (terlepas stabil atau tidak stabil akibat adanya beberapa faktor “X” yang mempengaruhinya seperti pembangunan ekonomi, migrasi, perang, ekploitasi, kepemimpinan politik, perluasan lingkup kegiatan pemerintah dan perbedaan ideologi serta keagamaan Indonesia sebagai negara multikultur), sehingga perlu dicermati faktor yang menghambat ataupun yang mendukung stabilitas tersebut sebagai budaya demokrasi dari masyarakat muslim. Dalam hal ini terdapat unsur-unsur penting dalam Islam yang dapat membuat demokrasi berjalan dan stabil. Dengan demikian demokrasi dan Islam dengan segala elemennya melalui analisa secara empiris tidak terdapat hubungan negatif, sebagaimana yang diasumsikan sarjana Barat belakangan ini.

Sabtu, 12 Maret 2011

PENELITIAN TENTANG POLITIK INDONESIA (berdasarkan metode dan perspektif Amerika : Bennedict Anderson)

Di kalangan akademisi, Bennedict Anderson dikenal sebagai peneliti tentang Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan sistem politik. Penelitiannya tentang G 30 S PKI misalnya, hingga saat ini masih banyak mendapat perdebatan, bahkan di masa Orde Baru, Anderson dilarang masuk ke Indonesia. Namun dalam hal ini yang menjadi pesoalan adalah mengenai penelitiannya tentang Indonesia dengan berdasar pada perspektif dan metode Amerikanya, karena berbicara tentang penelitian, sebenarnya tidak hanya berkenaan dengan masalah pengetahuan tetapi juga memahami tentang kebudayaan dan tatanan sosial, dan hal ini kadang diabaikan oleh kalangan akademisi itu sendiri. Klaim imparsialitas dan obyektifitas merupakan cara lain untuk membangun otonomi perusahaan dan prestise dari dunia akademis. Pada kenyataannya akademisi pasti berbagi asumsi dominan dan nilai-nilai masyarakat mereka, dan bahkan ketika mereka keberatan terhadap beberapa asumsi dan nilai-nilai, oposisi mereka biasanya dibingkai dalam batas-batas dari "stretch" kebudayaan yang mereka telah warisi.

Di sisi lain, sebagai sebuah kelompok, para akademisi setidaknya cenderung terikat pada struktur kekuasaan yang ada dalam masyarakat . Seperti misalnya pada masyarakat pribumi, tetapi juga karena adanya aturan lembaga dan teknologi yang diterapkan dalam pekerjaannya. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, para akademisi di Amerika dari bebagai bidang membutuhkan peningkatan infrasturuktur , seperti laboratorium, perpustakaan, bank data, komputer ataupun asisten peneliti, untuk disediakan bagi kepentingan kelembagaannya. Aspek inilah yang digunakan akademisi Amerika untuk melakukan penelitian di Indonesia. Hal ini kemudian akan terlihat dalam penelitiannya yang saat ini perhatiannya juga mengalami perubahan , sehingga dapat dipahami sebagai hasil interaksi antara budaya Amerika (budaya akademik) dengan kepentingan Amerika di Asia Tenggara yang terus dilanjutkan oleh para pemegang kekuasaan negara di Amerika. Hal ini mungkin cukup untuk mengatakan di sini bahwa paradigma budaya mengasumsikan interkoneksi alami dan tak terhindarkan antara perusahaan swasta dan harta (kapitalisme), demokrasi konstitusional, kebebasan pribadi dan kemajuan. Sejarah Amerika merupakan sejarah terungkapnya gagasan-gagasan dan realisasi kelembagaan mereka. liberalisme, dalam arti Hartzian, adalah bahasa akademis ilmu sosial, dan dengan fakta yang sangat fundamental membentuk dunia penelitian ilmu sosial Amerika. Jika paradigma budaya liberal Amerika telah membentuk kontur penelitian Amerika di Indonesia dalam arti yang paling dasar, fokus kepentingan dan metodologi yang digunakan cenderung bervariasi sesuai dengan peran Amerika dan lintasan perkembangan sejarah adat di daerah Asia Tenggara dan di Indonesia pada khususnya.

Sejalan dengan itu, dalam kaitannya dengan ilmu sosial, paradigma menjadi hal penting bagi akademisi, dalam melakukan analisa penelitian dari pada hanya sekedar membentuk tulisan ilmiah. Seperti George Kahin misalnya, di tahun 1948 melakukan penelitian tentang Nationalism and Revolution in Indonesia yang dianggap “melanggar”. Penelitian ini sebenarnya memiliki asumsi tentang nasionalisme Indonesia yang didasarkan pada paradigma tentang sejarah dan kekuatan pergerakan Indonesia yang berasal dari otoritarianisme dan penjajahan kolonial menuju pada tatanan demokrasi liberal, yang kemudian hal ini menjadi sesuai antara kepentingan Amerika dan Indonesia, dan dikenal sebagai “ajaran Kahin” khusus tentang Indonesia. Namun sebenarnya pemikiran ini justru menunjukkan perhatian peneliti terhadap nasionalisme Indonesia, dimana hal ini juga sebagai persoalan pembangunan demokrasi yang berdasarkan konstitusi, yang dikaji dari perspektif kepemimpinan nasionalis serta dengan menggunakan metode dengan pendekatan sejarah. Bukunya ini merupakan sebagian permohonan agar pemahaman masyarakat menjadi lebih luas dari kongruensi ini, dan kritik dari mereka dalam pembuatan kebijakan lingkungan yang telah berpendapat bahwa kepentingan Amerika di Eropa menuntut sikap taktis vis-a-vis Belanda untuk berupaya mengembalikan kekuasaan mereka di Indonesia seperti sebelum perang. Nasionalisme dan sejarah tidak bisa seluruhnya dikeluarkan dari analisis komparatif, tapi mereka biasanya dibawa "untuk menyimpan fenomena". Tetapi karena nasionalisme in concreto adalah sebuah fenomena tertentu yang tak teruraikan, itu membuat komparativis tidak kurang gelisah dari para pembuat kebijakan yang harus berurusan dengan itu dalam ruang lingkup hegemoni Amerika. Komparativisme dan fungsionalisme, jenis ini terkait erat dengan teori dan doktrin "modernisasi". "Modernisasi" adalah teori sempurna yang memenuhi kebutuhan akan hubungan baru antara paradigma Amerika dan karakter perubahan hubungan Amerika dengan dunia eks-kolonial. Jika Format I telah menyoroti aspek politik paradigma (nilai-nilai demokrasi liberal, sebagai contoh), pada Format II "modernisasi" doktrin dibawa ke bantuan tinggi liberalisme ekspansif ekonomi. Dalam efek "modernisasi" sebagian besar disusun dan didefinisikan sehingga dapat menyiratkan penyebaran paradigma.

Pada periode 1955 – 1965, ditandai dengan ekspansi kekuasan Amerika dan diwujudkan dalam bentuk bantuan dan masuknya militer, kalangan pengusaha, akademisi hingga bermacam-macam misionaris agama. Dalam hal ini Amerika merubah perhatiannya dari kekuasaan kolonial Eropa pada konsolidasi dan stabilisasi dalam membangun hegemoninya yang baru. Namun untuk Indonesia, dalam hal ini memiliki berbagai persoalan yang kompleks, yaitu mulai dari kalangan elite nasionalis di masa demokrasi liberal hingga kalangan yang memiliki sikap kooperatif. Tapi setelah tahun 1965, pemimpin nasionalis mendorong dan memberi ruang bagi para elite militer untuk dapat bekerja sama.

Namun dari penelitian yang dilakukan terhadap sistem politik Indonesia di masa itu, sebenarnya terlihat pula bahwa terdapat kekurangan dalam analisa secara lengkap tentang hubungan Indonesia dan Amerika. Selain itu studi tentang militer Indonesia seharusnya tidak terabaikan. Dalam melakukan penelitian tentang Indonesia, juga memperhatikan adanya pengaruh perang Vietnam dan perubahan masyarakat Amerika. Meski demikian, dalam penelitian tentang Indonesia akan lebih baik dengan menggali tradisi ‘Indonesianologi’ sebagaimana yang juga telah didirikan Amerika sejak perang dunia II. Bahkan dengan memahami tema dan topik menjadi bermanfaat dan penting dalam menerapkan suatu kerangka kerja serta menunjukkan struktur lembaga dan budaya Amerika melalui penelitian yang dilakukannya, sehingga dapat pula memberi pertimbangan tentang kemungkinan perubahan yang juga sedang berjalan, seperti adanya perubahan kultur politik saat ini dengan yang ada di masa Orde Baru.

Kamis, 03 Maret 2011

Negara dan Demokrasi: Suatu Analisa Perubahan Demokrasi di Negara Berkembang

Demokratisasi merupakan tema sentral perubahan ekonomi-politik dunia dewasa ini, yang didalamnya tercakup berbagai persoalan yang saling berkait satu sama lain. Sebagai suatu tema sentral, demokratisasi telah menjadi objek studi yang sangat luas rentang pembahasannya. Ada yang menekankan pada pendekatan atau masalah nilai dan budaya , maupun yang berkaitan dengan pilihan strategi-strategi demokrasi (seperti dari O’Donnell dan Huntington, 1991), dan lain-lain. Selain itu, kegiatan studi yang serius dalam membentuk suatu teori demokrasi terus dilakukan oleh dalam rangka menemukan hakekat demokrasi. Kegiatan tersebut sudah barang tentu tidak dapat dilepaskan dari adanya indikasi pergeseran fokus analisis dari negara (state) ke sisi sisi masyarakat (society). Dari banyak tulisan yang membahas persoalan demokratisasi, tampak bahwa para ilmuwan politik menaruh perhatian yang sangat besar pada pengembangan kekuatan masyarakat sebagai prasyarat berkembangnya sebuah paham demokrasi. Rata Penuh
Sejalan dengan hal itu, banyak pakar politik menyebutkan Indonesia pada masa kini berada dalam periode transisi menuju demokrasi. Pemerintahan Orde Baru banyak yang mengkategorikan sebagai sebuah rezim yang tidak demokratis. Ataupun kalau disebut demokrasi tetapi sifatnya semu. Bahkan ada yang mengatakan sebagai sebuah pemerintahan yang autoritarian. Pada masa transisi dari bentuk pemerintahan autoritarian menuju demokratis di negara-negara berkembang telah menjadi perhatian para ilmuwan sosial. Indonesia tak lepas dari pengamatan bagaimana proses demokratisasi itu berjalan. Karena sistem politik Indonesia mengandung unsur penduduk yang besar sekitar 202 juta jiwa dan luasnya wilayah, maka eksperimen dari autoritarian menuju demokrasi merupakan pengalaman yang sangat unik.
Menurut O’Donnell prinsip terpenting demokrasi adalah kewarganegaraan (citizenship).A dapun proses demokratisasi, dapat mengacu kepada proses-proses dimana aturan-aturan dan prosedur kewarganegaraan diterapkan pada lembaga-lembaga politik yang dulu dijalankan dengan prinsip-prinsip lain (misalnya pengawasan dengan kekerasan, tradisi masyarakat, pertimbangan para pakar, praktek administratif) diperluas sehingga mencakup mereka yang sebelumnya tidak ikut menikmati hak dan kewajiban (misalnya, wanita, remaja, golongan etnis minoritas dan warga negara asing) . Demikian pula bila aturan lama itu diperluas sehingga meliputi isu-isu dan lembaga-lembaga yang semula tidak menjadi wilayah partisipasi masyarakat seperti badan-badan pemerintahan, jajaran militer, asosiasi kepentingan dan lembaga pendidikan.. Dengan kata lain sebuah proses demokratisasi merupakan perluasan partisipasi masyarakat dalam berbagai keputusan politik.

Di sisi lain, dalam memahami demokratisasi biasanya terkait dengan tiga konsep dasar:, yaitu tentang runtuhnya rezim otoriter, transisi demokrasi, dan konsolidasi demokrasi. Runtuhnya rezim ditandai oleh dekonstruksi dan kemungkinan adanya disintegrasi rezim lama.Sedangkan transisi demokrasi berarti adanya perubahan dari struktur dan proses lama ke baru, dan konsolidasi demokrasi terjadi manakala struktur dan proses baru itu telah stabil dan menjadi bagian dari kesadaran kolektif masyarakat, khususnya berkaitan dengan otoritas normatif.
Dalam kaitan inilah kemudian muncul model Negara Otoriter-Birokratik yang diintroduksi oleh Guillermo O’Donnell, yang kemudian menjadi kerangka pemikiran baru bagi banyak ilmuwan politik dalam memandang demokratisasi di negara-negara berkembang. Negara atau state, sebagai suatu konsep politik (yang sudah) lama kembali tampil dengan kemasan baru yang mampu menggeser konsep politik kontemporer, seperti political system-nya David Easton yang dikreasi untuk menghindarkan analisis politik dari kekakuan-kekakuan institusional yang legal-formal.
Beberapa karakteristik negara demokrasi antara lain:
• Integritas teritorial, baik sebagai akibat dari keyakinan bahwa negara merupakan sebuah bangsa atau melalui negosiasi dan kesepakatan yang sah dan mengikat yang memungkinkan terbentuknya sebuah negara multi-nasional.
• Aturan hukum, yaitu, hak minimal dan kewajiban warga negara secara hukum dikodekan dan parameter aktivitas negara yang didefinisikan secara hukum.
• Meminimalisir penggunaan sanksi hukum yang bersifat kekerasan terhadap warga negara.
• Populer terpilih dan wakil pemerintah yang secara formal dikendalikan oleh saluran konstitusional akuntabilitas.
• Birokrasi kompleks yang bisa membuat klaim untuk kenetralan.
• Keberadaan beberapa pusat-pusat kekuasaan.
• Adanya keberadaan saluran akses untuk pengambilan keputusan yang bersifat formal, bahkan untuk kelompok sosial subordinasi, yang operasional untuk beberapa derajat.
• Adanya kepastian beberapa komitmen untuk keadilan sosial dan ekonomi.

Pada pertengahan 1980-an kajian pembangunan demokrasi bergeser pada perdebatan demokratisasi dan reformasi yang berorientasi pasar (market-oriented reform) dalam proses global. Hal ini sekaligus menandai siklus paradigma baru, sesudah mengalami warna demokratisasi yang pesimistik dan konservatif pada tahun sebelumnya, agenda studi demokratisasi kembali bergeser dari state-centered menuju society-centered dengan warna market. Apalagi dengan runtuhnya Uni Soviet dan beberapa negara komunis di Eropa Timur akhir 1980-an, kajian demokratisasi menjadi sedikit berwarna dalam menganalisis kejatuhan rezim otoritarian. Menurut Przeworski (1995) masalah institusional yang paling penting adalah:
Relationship antara badan eksekutif dan legislatif
• Sifat dari sistem pemilihan
• Apakah legislatif uni atau bikameral
• Peran dan jumlah komite legislatif
• Apakah sistem yang digunakan kesatuan atau federal
• Batas, jika ada, untuk memerintah mayoritas
• Peran judicial review
• Peran kelompok kepentingan

Kebangkitan kembali tema society-centered dalam konteks demokratisasi mendorong terjadinya pergeseran analisis. Namun kali ini konseptualisasi mengenai institusionalisasi yang dianggap mewakili masyarakat tidak terbatas pada partai politik semata, tetapi juga telah melibatkan aktor lain seperti non-governmental organizations (NGO’s), asosiasi-asosiasi sosial-kemasyarakatan, lembaga-lembaga lokal, dan lain-lain. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut dalam konteks yang baru ini merupakan bagian dari penguatan civil-society yang dianggap secara signifikan memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap demokratisasi. Hal ini banyak ditunjukkan oleh berbagai studi yang menyatakan bahwa aktor masyarakat (di luar partai politik) mempunyai kemampuan untuk memobilisasi dukungan secara bergelombang. Oleh sebab itu, tidak heran apabila pada tahun 1990-an studi yang menyelidiki kekuatan civil-society secara luas mendapat tempat dalam agenda-agenda penelitian ilmu politik dan demokratisasi. Dalam konteks ini asumsinya terjadi perubahan atau pergeseran yang amat drastis dari state-centered development menuju society-centered development, atau sering pula diistilahkan dengan people-centered development.

Di Indonesia misalnya , kestabilan dan kemapanan demokrasi, pada saat banyak demokrasi di dunia runtuh. Menunjukkan salah satu hasil nyata dari proses demokratisasi , seperti penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung di seluruh Indonesia. Saat ini, seluruh gubenur, bupati dan walikota telah dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini juga menunjukkan peta politik Indonesia telah berubah secara fundamental. Namun ini justru berbenturan dengan kenyataan-kenyataan ironis di tengah masyarakat, khusunya yang berkaitan dengan kesejahteraan, partisipasi maupun keadilan. Hukum di Indonesia masih bersifat memihak tanpa adanya keadilan bagi kaum miskin, komitmen keadilan dan stabilitas ekonomi belum dapat terpenuhi serta ketidakkonsistenan pemerataan hak bagi seluruh warga Indonesia. Dengan demikian keberhasilan demokrasi di Indonesia justru semakin mengungkapkan banyaknya problem-problem kemasyarakatan. Hal ini terkesan bahwa sebenarnya masih banyak persoalan-persoalan di masyarakat dalam mewujudkan proses proses demokratisasi di Indonesia. Namun hal ini kembali lagi pada realitas sosial yang terjadi, bahwa no state is fully democratic.