Kamis, 25 November 2010

Puasa => 3-2=1

Kemarin pas matkul Teori Sosiologi (Tesos), tiba2 p'Robert Lawang selaku dosen gw m'berikan p'tanyaan gini:
"Puasa => 3-2=1...what do you think about it? 2 minutes for analyze this question!!"

Jujur saat itu gw ga da gambaran sedikit pun karna p'tanyaan tsb b'kaitan dgn teori'a Karl Marx yg meyakini bahwa society itu b'landaskan materi..Menurut gw, salah satu tokoh yg teori'a paling susah utk d'pahami adalah Karl Marx ini, teori yg beliau kemukakan sangat amat bagus (karna beliau merasakan sendiri bagaimana rasa'a jd kaum proletar yg d'opresi oleh kaum borjuis) cumaaaaa menurut gw teori'a itu terlalu utopis sehingga tidak m'berikan solusi bagi masyarakat pada umum'a

Balik lagi k'masalah p'tanyaan dosen gw, beberapa orang termasuk gw nyoba utk m'jawab (bahkan da temen gw yg nyoba make perspektif'a Tan Malaka utk m'analisis pertanyaan simpel tsb hehehe) tp semua'a SALAH ckckckck...

"Jawaban kalian hampir betul & bagus semua tp inti dari jawaban'a bukan itu" yah...nama'a jg belajar jd salah2 dikit gapapa lah hehehe :D

Puasa yg d'jalani oleh umat Muslim sbg syariat agama merupakan bentuk pengurangan jumlah makan dan minum, yg normal'a manusia makan 3x sehari kini harus d'kurangi menjadi 2x sehari (saur dan buka puasa) bearti ada sisa 1 kan? nah logika'a & menurut ajaran agama yg betul seharus'a sisa 1 itu adalah saving qt...saving yg nanti'a harus qt berikan pada masyarakat lain yg lebih m'butuhkan (tujuan dari puasa kan selain dapat pahala jg agar qt turut merasakan rasa'a jd kaum proletar, iya ga?) tapi ternyata utk org Indonesia hal tsb ga berlaku...kenapa ga b'laku? karna buat orang Indonesia, Puasa tu bukan halangan utk tidak buka puasa d'cafe/makan b'lebihan saat buka&saur/beli baju baru yg notabene impor dari luar/makan daging saat hari raya, dlll

Menurut pandangan Marx ini salah...Kapitalisme justru d'reproduksi oleh negara dunia ke-3 melalui legitimasi agama karna semua itu justru malah semakin memakmurkan para negara maupun perusahaan kapitalis. Tidak hanya kaum Muslim, hal ini jg b'laku bagi penganut agama lain...bukan agama'a yg salah tp kebiasaan dari penganut'a dalam menyambut hari besar keagamaan-lah yg agak sedikit b'masalah karna seolah b'pihak pada kapitalis, bayangkan saja ketika para umat Nasrani hendak merayakan Natal darimana mereka mendapatkan Pohon Natal dan pernak-pernik'a?? begitu juga dengan umat Muslim maupun umat2 yg lain ketika merayakan Hari Raya Keagamaan'a..mereka seolah b'bondong2 menyerbu mall/toko2 yang menjual komoditi yg mereka inginkan==>komoditi tsb tentu'a merupakan produk kapitalis!!

Taukah kalian bagaimana kapitalis b'prinsip dalam m'jalankan bisnis'a? ketika gw m'baca buku Das Kapital yg d'susun oleh Marx (klo gw ga salah menafsirkannya loh!! hehehe) d'situ d'jelaskan bahwa seharus'a prinsip yg BENAR dlm b'produksi adalah Comoditi-Money-Comodity (C-M-C)=>ketika seorang p'modal m'miliki keinginan utk m'buka sebuah pabrik tekstil, hal pertama yg harus d'persiapkan adalah constant capital: alat pintal, benang, mesin2 (inti'a adalah semua alat produksi yg b'sifat statis) dan variable capital: tenaga kerja alias buruh. d'cthkan oleh Marx apabila si pemodal m'produksi b'kodi2 pakaian otomatis hal yg harus ia p'hatikan adalah kelengkapan & kualitas dari constan capital & kualitas dari variable capital yg ia miliki sehingga bisa m'hasilkan hasil yg maksimal (tentu'a jumlah antara constant capital dan variable capital harus seimbang, t'utama constant capital karena dgn m'miliki constant capital yg b'mutu baik dan jumlah yg m'madai pasti pekerjaan buruh akan lebih ringan) namun sayang'a apabila hal ini d'jalankan maka modal yg d'keluarkan tdk akan sebanding dgn laba yg d'dapat (tentu'a ini bukan merupakan keuntungan bagi para pemodal maka harus d'hindari)

Yang akhir'a d'lakukan oleh para pemodal biasa'a adalah mereka hanya memiliki constan capital seada'a dan menambah jam kerja si buruh (dgn upah yg hanya d'naikkan beberapa ribu saja tentu'a) si buruh d'paksa utk dapat m'hasilkan b'kodi2 pakaian dgn upah minim dan jam kerja yg banyak tidakkah ini merupakan suatu bentuk PENG-EKSPLOITASI-AN??? yg d'eksploitasi adalah buruh namun yg m'dapatkan laba besar siapa? yaa si pemilik modal alias kaum kapitalis tentu'a (dan banyak para umat yg b'bondong2 m'beli pakaian baru dgn harga fantastis dlm rangka menyambut hari raya, m'untungkan siapa coba???). Maka prinsip yg ada d'selewengkan menjadi Money-Commodity-Money (M-C-M) =>dimana uang dialokasikan menjadi komoditi lalu komoditi tsb harus kembali m'hasilkan uang dgn cara m'eksploitasi buruh, prinsip tsb sebenar'a d'luar kontrol sosial

Belum lagi bombardirisasi barang2 impor yang b'asal dari para negara kapitalis yg memang sengaja m'cari celah utk mengeruk keuntungan sebesar2'a dari negaraDunia ke-3 alias periphery alias negara berkembang alias negara MISKIN ini, semua itu d'lakukan oleh para umat dgn b'lindung d'balik legitimasi agama...apakah memang Islam menyarankan ketika qt merayakan Idul Fitri/hari besar lain'a harus dgn b'pakaian baru? harus makan daging import? ataukah agama Nasrani menyarankan bahwa setiap Natal maka para jemaat'a harus merayakan'a dgn m'beli pohon natal & pernak-pernik import? haruskah dgn gaya mewah?? tidak kan? yg d'anjurkan oleh semua agama adalah sebagian yg telah qt saving selama puasa/m'jalankan ibadah menuju hari kemenangan adalah utk d'sumbangkan pada masyarakat yg tidak b'punya..

Namun nampak'a banyak manusia yg belum m'dapatkan 'hidayah' akan hal ini (termasuk saya hohoho)..bukan'a melarang kalian utk merayakan hari raya agama secara besar2an atw mewah (tu sih hak kalian) namun tidakkah kalian menyadari bahwa dgn melakukan hal tsb qt telah mengUNTUNGkan kapitalis dan meRUGIkan masyarakat negara sendiri yg notabene adalah proletar? agak miris ketika mendengar d'salah satu radio swasta yg menyiarkan berita ttg "Perancis menyatakan bahwa 80% keuntungan yg d'dapatkan oleh Perancis melalui Carefour adalah berasal dari Indonesia"..aduh..aduh hebat yaa Indonesia, negara miskin tapi menyumbang kekayaan bwt negara kaya ckckckck saluuuutttttttt...semoga qt d'berikan berkah oleh Allah SWT karena telah b'sedekah pada negara2 maju aamin (hahahahaha)

Sekian dan terima kasih :D:D:D:D:D:D:D:D:D:D

Senin, 22 November 2010

Biography of Rachel Corrie


Rachel Corrie (April 10, 1979–March 16, 2003) was a member of the International Solidarity Movement (ISM) who traveled as an activist to the Gaza Strip during the Al-Aqsa Intifada. She was killed in Rafah when she tried to obstruct an Israel Defense Forces (IDF) Caterpillar D9 bulldozer, in an effort to prevent what she believed was a home demolition. The circumstances of her death are disputed: the ISM claims that the bulldozer driver deliberately ran over her twice, while the IDF claims that the bulldozer driver didn't see her and that the cause of death was falling debris pushed over by the bulldozer. Other commentators speculated that the driver failed to see her or expected her to jump out of the way.

Her death sparked intense controversy, with various advocates blaming it on the IDF, the ISM, Palestinian violence, and on Corrie herself.

CORRIE'S DEATH
The Israeli military frequently uses armored bulldozers to destroy buildings and farmland in Rafah, inside what Israel has claimed as a "security zone" ("no man's land") near the border with Egypt. The IDF says that the demolitions are intended to uncover explosive devices, and destroy smuggling tunnels and firing positions. Palestinians are sometimes killed in demolition operations, which critics consider to be a form of collective punishment in violation of international law. Proponents see them as a legitimate measure of self-defense.

On March 16, 2003, Corrie was in a group of seven ISM activists (three British and four Americans) attempting to disrupt what they thought were house demolitions. The IDF later said it was not intending to demolish houses but was clearing debris and shrubbery to expose explosive devices.

The following is a description from Joseph Smith, an ISM activist from Kansas City, Missouri, of the events leading to Corrie's death: " noticed that two Israeli Army bulldozers and one tank entered onto Palestinian civilian property near the border and demolishing farmland and other already damaged structures. The military machine was severely threatening near-by homes, so the 3 activists went up onto the roof of one home, and then called for others to come.

:", I arrived, and one of the three activists in the house joined me on the ground . . . e began to disrupt the work of the bulldozers . . . At this point, Rachel and the two other activists joined us . . . Rachel and a British activist were wearing jackets that were fluorescent orange and had reflective stripping . . . , Rachel and two other activists began interfering with the other bulldozer, which was attempting to destroy grass and other plants on what used to be farmland. They stood and sat in its path, and though it would drive very close to them, and even move the earth on which they were sitting, it always stopped in time to avoid injuring them . . . , one bulldozer pushed Will, an American activist, up against a pile of barbed wire. Fortunately, the bulldozer stopped and withdrew just in time to avoid injuring him seriously, but we had to dig him out of the rubble, and unhook his clothing from the wire. The tank approached to see if he was ok. One soldier stuck his head out of the tank to see, and he looked quite shocked and dumbfounded, but said nothing . . . , he bulldozer drivers began waving at us, making faces, laughing, and shouting what sounded like lewd comments. One even removed his helmet and posed for a picture, which unfortunately didn't turn out. :", ne bulldozer, serial number 949623, began to work near the house of a physician who is a friend of ours . . . Rachel sat down in the pathway of the bulldozer . . . continued driving forward headed straight for Rachel. When it got so close that it was moving the earth beneath her, she climbed onto the pile of rubble being pushed by the bulldozer. She got so high onto it that she was at eye-level with the cab of the bulldozer. . . . Despite this, he continued forward, which pulled her legs into the pile of rubble, and pulled her down out of view of the driver . . . We ran towards him, and waved our arms and shouted, one activist with the megaphone. But continued forward, until Rachel was underneath the central section of the bulldozer . . . Despite the obviousness of her position, the bulldozer began to reverse, without lifting its blade, and drug the blade over her body again. He continued to reverse until he was on the boarder strip, about 100 meters away, and left her crushed body in the sand. Three activists ran to her and began administering first-responder medical treatment . . . She said, "My back is broken!" but nothing else . . . :", the ambulance arrived . . . She was still breathing and her eyes were open, but she was clearly in a great deal of pain . . . She was brought directly to the emergency room, and was in there when I arrived in a taxi. , she was pronounced dead . . ." Israeli journalist Judy Lash Balint, who was not present, disputes this account on her weblog, and claims that ISM's version is full of contradictions and misinformation. A major point of dispute is Corrie's interaction with the bulldozer and what really caused her death — a stroke from the blade or a falling debris, or whether she was crushed under the bulldozer tracks and blade. The eyewitness accounts of various ISM members and Palestinian witnesses are not consistent on these points. For example, they do not agree on whether Corrie was at first standing, sitting, kneeling, or lying in the path of the bulldozer. Though Joseph Smith said, "She sat down in front of it ...", other eyewitnesses described the event differently. Tom Dale of ISM stated "Rachel knelt down in its way," Greg Schnabel of ISM stated "Rachel was standing in front of this home," Richard Purssell of ISM stated "Rachel stood to confront the bulldozer ..." while Ali Al-Shaar (a Palestinian) stated "The American girl was lying in front of the bulldozer ..." Joseph Smith said " continued to drive until she was forced onto the top of the dirt he was pushing," Tom Dale stated "The bulldozer reached her and she began to stand up, climbing onto the mound of earth," Greg Schnabel stated "The bulldozer began to push up the ground from beneath her feet," Richard Purssell stated "Rachel climbed up the pile and at the one stage was looking into the cabin window," and Ali Al-Shaar stated "... the bulldozer took sand and put it over her."

Richard Purssell stated "She began to slide down the pile, however as soon as her feet touched the ground for some reason she fell forward. Maybe her foot was caught or the weight of the soil pushed her forward."

ISM activist Tom Dale was standing just yards away from Corrie. He told journalist Joshua Hammer, Jerusalem bureau chief for Newsweek:

:"The bulldozer built up earth in front of it. Its blade was slightly dug into the earth. She began to stand up. The earth was pushed over her feet. She tried to climb on top of the earth, to avoid being overwhelmed. She climbed to the point where her shoulders were above the top lip of the blade. She was standing on this pile of earth. As the bulldozer continued, she lost her footing, and she turned and fell down this pile of earth. Then it seemed like she got her foot caught under the blade. She was helpless, pushed prostrate, and looked absolutely panicked, with her arms out, and the earth was piling itself over her. The bulldozer continued so that the place where she fell down was directly beneath the cockpit. I think she would have been between the treads. The whole took place in about six or seven seconds," (Mother Jones, Sept-Oct 2003).

Smith's claim that they heard the bulldozer driver shouting at them (Smith, section 16:00-16:45 ), is contradicted by the driver. Dooby, an army reservist and Russian immigrant, told Hammer it is hard to communicate from the cabin of the bulldozer, because it is hard to see or hear. Armored bulldozers have noisy engines and thick plates of glass. Dooby has long experience as a bulldozer operator, according to Joshua Hammer. Hammer writes that, in an interview broadcast on Israeli television, Dooby said his field of vision was limited inside the D9 cabin and that he had no idea Corrie was in front of the machine. Dooby said:

:"You can't hear, you can't see well. You can go over something and you'll never know. I scooped up some earth, I couldn't see anything. I pushed the earth, and I didn't see her at all. Maybe she was hiding in there."
The IDF produced a video about Corrie's death that includes footage taken from inside the cockpit of a D9. It makes a "credible case," writes Hammer, who has not seen the video, that "the operators, peering out through narrow, double-glazed, bulletproof windows, their view obscured behind pistons and the giant scooper, might not have seen Corrie kneeling in front of them," (Mother Jones). ISM disputes the contents of the Mother Jones article. The ISM also placed photographs on a website it claimed showed the events leading up to Corrie's death. AP, Reuters, and many Internet discussion pages reported that the photographs showed two (perhaps three) different bulldozers and inconsistent pictures of the sun's movement across the skies. The ISM then changed the site to show a more consistent group of photographs.

Sumber: http://www.spiritus-temporis.com/rachel-corrie/corrie-s-death.html

Biografi B.J. Habibie


Masa Muda
Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie atau dikenal sebagai BJ Habibie (73 tahun) merupakan pria Pare-Pare (Sulawesi Selatan) kelahiran 25 Juni 1936. Habibie menjadi Presiden ke-3 Indonesia selama 1.4 tahun dan 2 bulan menjadi Wakil Presiden RI ke-7. Habibie merupakan “blaster” antara orang Jawa [ibunya] dengan orang Makasar/Pare-Pare [ayahnya].


Dimasa kecil, Habibie telah menunjukkan kecerdasan dan semangat tinggi pada ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya Fisika. Selama enam bulan, ia kuliah di Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung (ITB), dan dilanjutkan ke Rhenisch Wesfalische Tehnische Hochscule – Jerman pada 1955. Dengan dibiayai oleh ibunya, R.A. Tuti Marini Puspowardoyo, Habibie muda menghabiskan 10 tahun untuk menyelesaikan studi S-1 hingga S-3 di Aachen-Jerman.

Berbeda dengan rata-rata mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa di luar negeri, kuliah Habibie (terutama S-1 dan S-2) dibiayai langsung oleh Ibunya yang melakukan usaha catering dan indekost di Bandung setelah ditinggal pergi suaminya (ayah Habibie). Habibie mengeluti bidang Desain dan Konstruksi Pesawat di Fakultas Teknik Mesin. Selama lima tahun studi di Jerman akhirnya Habibie memperoleh gelar Dilpom-Ingenenieur atau diploma teknik (catatan : diploma teknik di Jerman umumnya disetarakan dengan gelar Master/S2 di negara lain) dengan predikat summa cum laude.

Pak Habibie melanjutkan program doktoral setelah menikahi teman SMA-nya, Ibu Hasri Ainun Besari pada tahun 1962. Bersama dengan istrinya tinggal di Jerman, Habibie harus bekerja untuk membiayai biaya kuliah sekaligus biaya rumah tangganya. Habibie mendalami bidang Desain dan Konstruksi Pesawat Terbang. Tahun 1965, Habibie menyelesaikan studi S-3 nya dan mendapat gelar Doktor Ingenieur (Doktor Teknik) dengan indeks prestasi summa cum laude.

Karir di Industri

Selama menjadi mahasiswa tingkat doktoral, BJ Habibie sudah mulai bekerja untuk menghidupi keluarganya dan biaya studinya. Setelah lulus, BJ Habibie bekerja di Messerschmitt-Bölkow-Blohm atau MBB Hamburg (1965-1969 sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan pada Analisis Struktrur Pesawat Terbang, dan kemudian menjabat Kepala Divisi Metode dan Teknologi pada industri pesawat terbang komersial dan militer di MBB (1969-1973). Atas kinerja dan kebriliannya, 4 tahun kemudian, ia dipercaya sebagai Vice President sekaligus Direktur Teknologi di MBB periode 1973-1978 serta menjadi Penasihast Senior bidang teknologi untuk Dewan Direktur MBB (1978 ). Dialah menjadi satu-satunya orang Asia yang berhasil menduduki jabatan nomor dua di perusahaan pesawat terbang Jerman ini.

Sebelum memasuki usia 40 tahun, karir Habibie sudah sangat cemerlang, terutama dalam desain dan konstruksi pesawat terbang. Habibie menjadi “permata” di negeri Jerman dan iapun mendapat “kedudukan terhormat”, baik secara materi maupun intelektualitas oleh orang Jerman. Selama bekerja di MBB Jerman, Habibie menyumbang berbagai hasil penelitian dan sejumlah teori untuk ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang Thermodinamika, Konstruksi dan Aerodinamika. Beberapa rumusan teorinya dikenal dalam dunia pesawat terbang seperti “Habibie Factor“, “Habibie Theorem” dan “Habibie Method“.

Kembali ke Indonesia
Pada tahun 1968, BJ Habibie telah mengundang sejumlah insinyur untuk bekerja di industri pesawat terbang Jerman. Sekitar 40 insinyur Indonesia akhirnya dapat bekerja di MBB atas rekomendasi Pak Habibie. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan skill dan pengalaman (SDM) insinyur Indonesia untuk suatu saat bisa kembali ke Indonesia dan membuat produk industri dirgantara (dan kemudian maritim dan darat). Dan ketika (Alm) Presiden Soeharto mengirim Ibnu Sutowo ke Jerman untuk menemui seraya membujuk Habibie pulang ke Indonesia, BJ Habibie langsung bersedia dan melepaskan jabatan, posisi dan prestise tinggi di Jerman. Hal ini dilakukan BJ Habibie demi memberi sumbangsih ilmu dan teknologi pada bangsa ini. Pada 1974 di usia 38 tahun, BJ Habibie pulang ke tanah air. Iapun diangkat menjadi penasihat pemerintah (langsung dibawah Presiden) di bidang teknologi pesawat terbang dan teknologi tinggi hingga tahun 1978. Meskipun demikian dari tahun 1974-1978, Habibie masih sering pulang pergi ke Jerman karena masih menjabat sebagai Vice Presiden dan Direktur Teknologi di MBB.

Habibie mulai benar-benar fokus setelah ia melepaskan jabatan tingginya di Perusahaan Pesawat Jerman MBB pada 1978. Dan sejak itu, dari tahun 1978 hingga 1997, ia diangkat menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) sekaligus merangkap sebagai Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Disamping itu Habibie juga diangkat sebagai Ketua Dewan Riset Nasional dan berbagai jabatan lainnya.


Ketika menjadi Menristek, Habibie mengimplementasikan visinya yakni membawa Indonesia menjadi negara industri berteknologi tinggi. Ia mendorong adanya lompatan dalam strategi pembangunan yakni melompat dari agraris langsung menuju negara industri maju. Visinya yang langsung membawa Indonesia menjadi negara Industri mendapat pertentangan dari berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri yang menghendaki pembangunan secara bertahap yang dimulai dari fokus investasi di bidang pertanian. Namun, Habibie memiliki keyakinan kokoh akan visinya, dan ada satu “quote” yang terkenal dari Habibie yakni :

“I have some figures which compare the cost of one kilo of airplane compared to one kilo of rice. One kilo of airplane costs thirty thousand US dollars and one kilo of rice is seven cents. And if you want to pay for your one kilo of high-tech products with a kilo of rice, I don’t think we have enough.” (Sumber : BBC: BJ Habibie Profile -1998.)

Kalimat diatas merupakan senjata Habibie untuk berdebat dengan lawan politiknya. Habibie ingin menjelaskan mengapa industri berteknologi itu sangat penting. Dan ia membandingkan harga produk dari industri high-tech (teknologi tinggi) dengan hasil pertanian. Ia menunjukkan data bahwa harga 1 kg pesawat terbang adalah USD 30.000 dan 1 kg beras adalah 7 sen (USD 0,07). Artinya 1 kg pesawat terbang hampir setara dengan 450 ton beras. Jadi dengan membuat 1 buah pesawat dengan massa 10 ton, maka akan diperoleh beras 4,5 juta ton beras.

Pola pikir Pak Habibie disambut dengan baik oleh Pak Harto.Pres. Soeharto pun bersedia menggangarkan dana ekstra dari APBN untuk pengembangan proyek teknologi Habibie. Dan pada tahun 1989, Suharto memberikan “kekuasan” lebih pada Habibie dengan memberikan kepercayaan Habibie untuk memimpin industri-industri strategis seperti Pindad, PAL, dan PT IPTN.

Habibie menjadi RI-1
Secara materi, Habibie sudah sangat mapan ketika ia bekerja di perusahaan MBB Jerman. Selain mapan, Habibie memiliki jabatan yang sangat strategis yakni Vice President sekaligus Senior Advicer di perusahaan high-tech Jerman. Sehingga Habibie terjun ke pemerintahan bukan karena mencari uang ataupun kekuasaan semata, tapi lebih pada perasaan “terima kasih” kepada negara dan bangsa Indonesia dan juga kepada kedua orang tuanya. Sikap serupa pun ditunjukkan oleh Kwik Kian Gie, yakni setelah menjadi orang kaya dan makmur dahulu, lalu Kwik pensiun dari bisnisnya dan baru terjun ke dunia politik. Bukan sebaliknya, yang banyak dilakukan oleh para politisi saat ini yang menjadi politisi demi mencari kekayaan/popularitas sehingga tidak heran praktik korupsi menjamur.

Tiga tahun setelah kepulangan ke Indonesia, Habibie (usia 41 tahun) mendapat gelar Profesor Teknik dari ITB. Selama 20 tahun menjadi Menristek, akhirnya pada tanggal 11 Maret 1998, Habibie terpilih sebagai Wakil Presiden RI ke-7 melalui Sidang Umum MPR. Di masa itulah krisis ekonomi (krismon) melanda kawasan Asia termasuk Indonesia. Nilai tukar rupiah terjun bebas dari Rp 2.000 per dolar AS menjadi Rp 12.000-an per dolar. Utang luar negeri jatuh tempo sehinga membengkak akibat depresiasi rupiah. Hal ini diperbarah oleh perbankan swasta yang mengalami kesulitan likuiditas. Inflasi meroket diatas 50%, dan pengangguran mulai terjadi dimana-mana.

Pada saat bersamaan, kebencian masyarakat memuncak dengan sistem orde baru yang sarat Korupsi, Kolusi, Nepotisme yang dilakukan oleh kroni-kroni Soeharto (pejabat, politisi, konglomerat). Selain KKN, pemerintahan Soeharto tergolong otoriter, yang menangkap aktivis dan mahasiswa vokal.

Dipicu penembakan 4 orang mahasiswa (Tragedi Trisakti) pada 12 Mei 1998, meletuslah kemarahan masyarakat terutama kalangan aktivis dan mahasiswa pada pemerintah Orba. Pergerakan mahasiswa, aktivis, dan segenap masyarakat pada 12-14 Mei 1998 menjadi momentum pergantian rezim Orde Baru pimpinan Pak Hato. Dan pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto terpaksa mundur dari jabatan Presiden yang dipegangnya selama lebih kurang 32 tahun. Selama 32 tahun itulah, pemerintahan otoriter dan sarat KKN tumbuh sumbur. Selama 32 tahun itu pula, banyak kebenaran yang dibungkam. Mulai dari pergantian Pemerintah Soekarno (dan pengasingan Pres Soekarno), G30S-PKI, Supersemar, hingga dugaan konspirasi Soeharto dengan pihak Amerika dan sekutunya yang mengeruk sumber kekayaan alam oleh kaum-kaum kapitalis dibawah bendera korpotokrasi (termasuk CIA, Bank Duni, IMF dan konglomerasi).

Soeharto mundur, maka Wakilnya yakni BJ Habibie pun diangkat menjadi Presiden RI ke-3 berdasarkan pasal 8 UUD 1945. Namun, masa jabatannya sebagai presiden hanya bertahan selama 512 hari. Meski sangat singkat, kepemimpinan Presiden Habibie mampu membawa bangsa Indonesia dari jurang kehancuran akibat krisis. Presiden Habibie berhasil memimpin negara keluar dari dalam keadaan ultra-krisis, melaksanankan transisi dari negara otorian menjadi demokrasi. Sukses melaksanakan pemilu 1999 dengan multi parti (48 partai), sukses membawa perubahan signifikn pada stabilitas, demokratisasi dan reformasi di Indonesia.

Habibie merupakan presiden RI pertama yang menerima banyak penghargaan terutama di bidang IPTEK baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Jasa-jasanya dalam bidang teknologi pesawat terbang mengantarkan beliau mendapat gelar Doktor Kehormatan (Doctor of Honoris Causa) dari berbagaai Universitas terkemuka dunia, antara lain Cranfield Institute of Technology dan Chungbuk University.


Salah satu pertanyaan umum dan masih banyak orang tidak mengetahui adalah bagaimana Habibie yang tinggal di Pulau Celebes bisa bertemu dan akrab dengan Soeharto yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Pulau Jawa?

Pertemuan pertama kali Habibie dengan Soeharto terjadi pada tahun 1950 ketika Habibie berumur 14 tahun. Pada saat itu, Soeharto (Letnan Kolonel) datang ke Makasar dalam rangka memerangi pemberontakan/separatis di Indonesia Timur pada masa pemerintah Soekarno. Letkol Soeharto tinggal berseberangan dengan rumah keluarga Alwi Abdul Jalil Habibie. Karena ibunda Habibie merupakan orang Jawa, maka Soeharto pun (orang Jawa) diterima sangat baik oleh keluarga Habibie. Bahkan, Soeharto turut hadir ketika ayahanda Habibie meninggal. Selain itu, Soeharto pun menjadi “mak comblang” pernikahan adik Habibie dengan anak buah (prajurit) Letkol Soeharto. Kedekatan Soeharto-Habibie terus berlanjut meskipun Soeharto telah kembali ke Pulau Jawa setelah berhasil memberantas pemberontakan di Indonesia Timur.

Setelah Habibie menyelesaikan studi (sekitar 10 tahun) dan bekerja selama hampir selama 9 tahun (total 19 tahun di Jerman), akhirnya Habibie dipanggil pulang ke tanah air oleh Pak Harto. Meskipun ia tidak mendapat beasiswa studi ke Jerman dari pemerintah, pak Habibie tetap bersedia pulang untuk mengabdi kepada negara, terlebih permintaan tersebut berasal dari Pak Harto yang notabene adalah ‘seorang guru’ bagi Habibie. Habibie pun memutuskan kembali ke Indonesia untuk memberi ilmu kepada rakyat Indonesia, kembali untuk membangun industri teknologi tinggi di nusantara.

Bersama Ibnu Sutowo, Habibie kembali ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Soeharto pada tanggal 28 Januari 1974. Habibie mengusulkan beberapa gagasan pembangunan seperti berikut:

* Gagasan pembangunan industri pesawat terbang nusantara sebagai ujung tombak industri strategis * Gagasan pembentukan Pusat Penelitan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) * Gagasan mengenai Badan Pengkajian dan Penerapan Ilmu Teknologi (BPPT)
Gagasan-gagasan awal Habibie menjadi masukan bagi Soeharto, dan mulai terwujud ketika Habibie menjabat sebagai Menristek periode 1978-1998.

Namun, dimasa tuanya, hubungan Habibie-Soeharto tampaknya retak. Hal ini dikarenakan berbagai kebijakan Habibie yang disinyalir “mempermalukan” Pak Harto. Pemecatan Letjen (Purn) Prabowo Subianto dari jabatan Kostrad karena memobilisasi pasukan kostrad menuju Jakarta (Istana dan Kuningan) tanpa koordinasi atasan merupakan salah satu kebijakan yang ‘menyakitkan’ pak Harto. Padahal Prabowo merupakan menantu kesayangan Pak Harto yang telah dididik dan dibina menjadi penerus Soeharto. Pemeriksaan Tommy Soeharto sebagai tersangka korupsi turut membuat Pak Harto ‘gerah’ dengan kebijakan pemerintahan BJ Habibe, terlebih dalam beberapa kali kesempatan di media massa, BJ Habibie memberi lampu hijau untuk memeriksa Pak Harto. Padahal Tommy Soeharto merupakan putra “emas’ Pak Harto. Dan sekian banyak kebijakan berlawanan dengan pemerintah Soeharto dibidang pers, politik, hukum hingga pembebasan tanpa syarat tahanan politik Soeharto seperti Sri Bintang Pamungkas dan Mukhtar Pakpahan.

Habibie : Bapak Teknologi Indonesia*

Pemikiran-pemikiran Habibie yang “high-tech” mendapat “hati” pak Harto. Bisa dikatakan bahwa Soeharto mengagumi pemikiran Habibie, sehingga pemikirannya dengan mudah disetujui pak Harto. Pak Harto pun setuju menganggarkan “dana ekstra” untuk mengembangkan ide Habibie. Kemudahan akses serta kedekatan Soeharto-Habibie dianggap oleh berbagai pihak sebagai bentuk kolusi Habibie-Soeharto. Apalagi, beberapa pihak tidak setuju dengan pola pikir Habibie mengingat pemerintah Soeharto mau menghabiskan dana yang besar untuk pengembangan industri-industri teknologi tinggi seperti saran Habibie.

Tanggal 26 April 1976, Habibie mendirikan PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio dan menjadi industri pesawat terbang pertama di Kawasan Asia Tenggara (catatan : Nurtanio meruapakan Bapak Perintis Industri Pesawat Indonesia). Industri Pesawat Terbang Nurtanio kemudian berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) pada 11 Oktober 1985, kemudian direkstrurisasi, menjadi Dirgantara Indonesia (PT DI) pada Agustuts 2000. Perlakuan istimewapun dialami oleh industri strategis lainnya seperti PT PAL dan PT PINDAD.

Sejak pendirian industri-industri statregis negara, tiap tahun pemerintah Soeharto menganggarkan dana APBN yang relatif besar untuk mengembangkan industri teknologi tinggi. Dan anggaran dengan angka yang sangat besar dikeluarkan sejak 1989 dimana Habibie memimpin industri-industri strategis. Namun, Habibie memiliki alasan logis yakni untuk memulai industri berteknologi tinggi, tentu membutuhkan investasi yang besar dengan jangka waktu yang lama. Hasilnya tidak mungkin dirasakan langsung. Tanam pohon durian saja butuh 10 tahun untuk memanen, apalagi industri teknologi tinggi. Oleh karena itu, selama bertahun-tahun industri strategis ala Habibie masih belum menunjukan hasil dan akibatnya negara terus membiayai biaya operasi industri-industri strategis yang cukup besar.

Industri-industri strategis ala Habibie (IPTN, Pindad, PAL) pada akhirnya memberikan hasil seperti pesawat terbang, helikopter, senjata, kemampuan pelatihan dan jasa pemeliharaan (maintenance service) untuk mesin-mesin pesawat, amunisi, kapal, tank, panser, senapan kaliber, water canon, kendaraan RPP-M, kendaraan combat dan masih banyak lagi baik untuk keperluan sipil maupun militer.

Untuk skala internasional, BJ Habibie terlibat dalam berbagai proyek desain dan konstruksi pesawat terbang seperti Fokker F 28, Transall C-130 (militer transport), Hansa Jet 320 (jet eksekutif), Air Bus A-300, pesawat transport DO-31 (pesawat dangn teknologi mendarat dan lepas landas secara vertikal), CN-235, dan CN-250 (pesawat dengan teknologi fly-by-wire). Selain itu, Habibie secara tidak langsung ikut terlibat dalam proyek perhitungan dan desain Helikopter Jenis BO-105, pesawat tempur multi function, beberapa peluru kendali dan satelit.


Karena pola pikirnya tersebut, maka saya menganggap beliau sebagai bapak teknologi Indonesia, terlepaskan seberapa besar kesuksesan industri strategis ala Habibie. Karena kita tahu bahwa pada tahun 1992, IMF menginstruksikan kepada Soeharto agar tidak memberikan dana operasi kepada IPTN, sehingga pada saat itu IPTN mulai memasuki kondisi kritis. Hal ini dikarenakan rencana Habibie membuat satelit sendiri (catatan : tahun 1970-an Indonesia merupakan negara terbesar ke-2 pemakaian satelit), pesawat sendiri, serta peralatan militer sendiri. Hal ini didukung dengan 40 0rang tenaga ahli Indonesia yang memiliki pengalaman kerja di perusahaan pembuat satelit Hughes Amerika akan ditarik pulang ke Indonesia untuk mengembangkan industri teknologi tinggi di Indonesia. Jika hal ini terwujud, maka ini akan mengancam industri teknologi Amerika (mengurangi pangsa pasar) sekaligus kekhawatiran kemampuan teknologi tinggi dan militer Indonesia.