Demokratisasi merupakan tema sentral perubahan ekonomi-politik dunia dewasa ini, yang didalamnya tercakup berbagai persoalan yang saling berkait satu sama lain. Sebagai suatu tema sentral, demokratisasi telah menjadi objek studi yang sangat luas rentang pembahasannya. Ada yang menekankan pada pendekatan atau masalah nilai dan budaya , maupun yang berkaitan dengan pilihan strategi-strategi demokrasi (seperti dari O’Donnell dan Huntington, 1991), dan lain-lain. Selain itu, kegiatan studi yang serius dalam membentuk suatu teori demokrasi terus dilakukan oleh dalam rangka menemukan hakekat demokrasi. Kegiatan tersebut sudah barang tentu tidak dapat dilepaskan dari adanya indikasi pergeseran fokus analisis dari negara (state) ke sisi sisi masyarakat (society). Dari banyak tulisan yang membahas persoalan demokratisasi, tampak bahwa para ilmuwan politik menaruh perhatian yang sangat besar pada pengembangan kekuatan masyarakat sebagai prasyarat berkembangnya sebuah paham demokrasi.
Sejalan dengan hal itu, banyak pakar politik menyebutkan Indonesia pada masa kini berada dalam periode transisi menuju demokrasi. Pemerintahan Orde Baru banyak yang mengkategorikan sebagai sebuah rezim yang tidak demokratis. Ataupun kalau disebut demokrasi tetapi sifatnya semu. Bahkan ada yang mengatakan sebagai sebuah pemerintahan yang autoritarian. Pada masa transisi dari bentuk pemerintahan autoritarian menuju demokratis di negara-negara berkembang telah menjadi perhatian para ilmuwan sosial. Indonesia tak lepas dari pengamatan bagaimana proses demokratisasi itu berjalan. Karena sistem politik Indonesia mengandung unsur penduduk yang besar sekitar 202 juta jiwa dan luasnya wilayah, maka eksperimen dari autoritarian menuju demokrasi merupakan pengalaman yang sangat unik.
Menurut O’Donnell prinsip terpenting demokrasi adalah kewarganegaraan (citizenship).A dapun proses demokratisasi, dapat mengacu kepada proses-proses dimana aturan-aturan dan prosedur kewarganegaraan diterapkan pada lembaga-lembaga politik yang dulu dijalankan dengan prinsip-prinsip lain (misalnya pengawasan dengan kekerasan, tradisi masyarakat, pertimbangan para pakar, praktek administratif) diperluas sehingga mencakup mereka yang sebelumnya tidak ikut menikmati hak dan kewajiban (misalnya, wanita, remaja, golongan etnis minoritas dan warga negara asing) . Demikian pula bila aturan lama itu diperluas sehingga meliputi isu-isu dan lembaga-lembaga yang semula tidak menjadi wilayah partisipasi masyarakat seperti badan-badan pemerintahan, jajaran militer, asosiasi kepentingan dan lembaga pendidikan.. Dengan kata lain sebuah proses demokratisasi merupakan perluasan partisipasi masyarakat dalam berbagai keputusan politik.
Di sisi lain, dalam memahami demokratisasi biasanya terkait dengan tiga konsep dasar:, yaitu tentang runtuhnya rezim otoriter, transisi demokrasi, dan konsolidasi demokrasi. Runtuhnya rezim ditandai oleh dekonstruksi dan kemungkinan adanya disintegrasi rezim lama.Sedangkan transisi demokrasi berarti adanya perubahan dari struktur dan proses lama ke baru, dan konsolidasi demokrasi terjadi manakala struktur dan proses baru itu telah stabil dan menjadi bagian dari kesadaran kolektif masyarakat, khususnya berkaitan dengan otoritas normatif.
Dalam kaitan inilah kemudian muncul model Negara Otoriter-Birokratik yang diintroduksi oleh Guillermo O’Donnell, yang kemudian menjadi kerangka pemikiran baru bagi banyak ilmuwan politik dalam memandang demokratisasi di negara-negara berkembang. Negara atau state, sebagai suatu konsep politik (yang sudah) lama kembali tampil dengan kemasan baru yang mampu menggeser konsep politik kontemporer, seperti political system-nya David Easton yang dikreasi untuk menghindarkan analisis politik dari kekakuan-kekakuan institusional yang legal-formal.
Beberapa karakteristik negara demokrasi antara lain:
• Integritas teritorial, baik sebagai akibat dari keyakinan bahwa negara merupakan sebuah bangsa atau melalui negosiasi dan kesepakatan yang sah dan mengikat yang memungkinkan terbentuknya sebuah negara multi-nasional.
• Aturan hukum, yaitu, hak minimal dan kewajiban warga negara secara hukum dikodekan dan parameter aktivitas negara yang didefinisikan secara hukum.
• Meminimalisir penggunaan sanksi hukum yang bersifat kekerasan terhadap warga negara.
• Populer terpilih dan wakil pemerintah yang secara formal dikendalikan oleh saluran konstitusional akuntabilitas.
• Birokrasi kompleks yang bisa membuat klaim untuk kenetralan.
• Keberadaan beberapa pusat-pusat kekuasaan.
• Adanya keberadaan saluran akses untuk pengambilan keputusan yang bersifat formal, bahkan untuk kelompok sosial subordinasi, yang operasional untuk beberapa derajat.
• Adanya kepastian beberapa komitmen untuk keadilan sosial dan ekonomi.
Pada pertengahan 1980-an kajian pembangunan demokrasi bergeser pada perdebatan demokratisasi dan reformasi yang berorientasi pasar (market-oriented reform) dalam proses global. Hal ini sekaligus menandai siklus paradigma baru, sesudah mengalami warna demokratisasi yang pesimistik dan konservatif pada tahun sebelumnya, agenda studi demokratisasi kembali bergeser dari state-centered menuju society-centered dengan warna market. Apalagi dengan runtuhnya Uni Soviet dan beberapa negara komunis di Eropa Timur akhir 1980-an, kajian demokratisasi menjadi sedikit berwarna dalam menganalisis kejatuhan rezim otoritarian. Menurut Przeworski (1995) masalah institusional yang paling penting adalah:
• Relationship antara badan eksekutif dan legislatif
• Sifat dari sistem pemilihan
• Apakah legislatif uni atau bikameral
• Peran dan jumlah komite legislatif
• Apakah sistem yang digunakan kesatuan atau federal
• Batas, jika ada, untuk memerintah mayoritas
• Peran judicial review
• Peran kelompok kepentingan
Kebangkitan kembali tema society-centered dalam konteks demokratisasi mendorong terjadinya pergeseran analisis. Namun kali ini konseptualisasi mengenai institusionalisasi yang dianggap mewakili masyarakat tidak terbatas pada partai politik semata, tetapi juga telah melibatkan aktor lain seperti non-governmental organizations (NGO’s), asosiasi-asosiasi sosial-kemasyarakatan, lembaga-lembaga lokal, dan lain-lain. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut dalam konteks yang baru ini merupakan bagian dari penguatan civil-society yang dianggap secara signifikan memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap demokratisasi. Hal ini banyak ditunjukkan oleh berbagai studi yang menyatakan bahwa aktor masyarakat (di luar partai politik) mempunyai kemampuan untuk memobilisasi dukungan secara bergelombang. Oleh sebab itu, tidak heran apabila pada tahun 1990-an studi yang menyelidiki kekuatan civil-society secara luas mendapat tempat dalam agenda-agenda penelitian ilmu politik dan demokratisasi. Dalam konteks ini asumsinya terjadi perubahan atau pergeseran yang amat drastis dari state-centered development menuju society-centered development, atau sering pula diistilahkan dengan people-centered development.
Di Indonesia misalnya , kestabilan dan kemapanan demokrasi, pada saat banyak demokrasi di dunia runtuh. Menunjukkan salah satu hasil nyata dari proses demokratisasi , seperti penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung di seluruh Indonesia. Saat ini, seluruh gubenur, bupati dan walikota telah dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini juga menunjukkan peta politik Indonesia telah berubah secara fundamental. Namun ini justru berbenturan dengan kenyataan-kenyataan ironis di tengah masyarakat, khusunya yang berkaitan dengan kesejahteraan, partisipasi maupun keadilan. Hukum di Indonesia masih bersifat memihak tanpa adanya keadilan bagi kaum miskin, komitmen keadilan dan stabilitas ekonomi belum dapat terpenuhi serta ketidakkonsistenan pemerataan hak bagi seluruh warga Indonesia. Dengan demikian keberhasilan demokrasi di Indonesia justru semakin mengungkapkan banyaknya problem-problem kemasyarakatan. Hal ini terkesan bahwa sebenarnya masih banyak persoalan-persoalan di masyarakat dalam mewujudkan proses proses demokratisasi di Indonesia. Namun hal ini kembali lagi pada realitas sosial yang terjadi, bahwa no state is fully democratic.
Sejalan dengan hal itu, banyak pakar politik menyebutkan Indonesia pada masa kini berada dalam periode transisi menuju demokrasi. Pemerintahan Orde Baru banyak yang mengkategorikan sebagai sebuah rezim yang tidak demokratis. Ataupun kalau disebut demokrasi tetapi sifatnya semu. Bahkan ada yang mengatakan sebagai sebuah pemerintahan yang autoritarian. Pada masa transisi dari bentuk pemerintahan autoritarian menuju demokratis di negara-negara berkembang telah menjadi perhatian para ilmuwan sosial. Indonesia tak lepas dari pengamatan bagaimana proses demokratisasi itu berjalan. Karena sistem politik Indonesia mengandung unsur penduduk yang besar sekitar 202 juta jiwa dan luasnya wilayah, maka eksperimen dari autoritarian menuju demokrasi merupakan pengalaman yang sangat unik.
Menurut O’Donnell prinsip terpenting demokrasi adalah kewarganegaraan (citizenship).A dapun proses demokratisasi, dapat mengacu kepada proses-proses dimana aturan-aturan dan prosedur kewarganegaraan diterapkan pada lembaga-lembaga politik yang dulu dijalankan dengan prinsip-prinsip lain (misalnya pengawasan dengan kekerasan, tradisi masyarakat, pertimbangan para pakar, praktek administratif) diperluas sehingga mencakup mereka yang sebelumnya tidak ikut menikmati hak dan kewajiban (misalnya, wanita, remaja, golongan etnis minoritas dan warga negara asing) . Demikian pula bila aturan lama itu diperluas sehingga meliputi isu-isu dan lembaga-lembaga yang semula tidak menjadi wilayah partisipasi masyarakat seperti badan-badan pemerintahan, jajaran militer, asosiasi kepentingan dan lembaga pendidikan.. Dengan kata lain sebuah proses demokratisasi merupakan perluasan partisipasi masyarakat dalam berbagai keputusan politik.
Di sisi lain, dalam memahami demokratisasi biasanya terkait dengan tiga konsep dasar:, yaitu tentang runtuhnya rezim otoriter, transisi demokrasi, dan konsolidasi demokrasi. Runtuhnya rezim ditandai oleh dekonstruksi dan kemungkinan adanya disintegrasi rezim lama.Sedangkan transisi demokrasi berarti adanya perubahan dari struktur dan proses lama ke baru, dan konsolidasi demokrasi terjadi manakala struktur dan proses baru itu telah stabil dan menjadi bagian dari kesadaran kolektif masyarakat, khususnya berkaitan dengan otoritas normatif.
Dalam kaitan inilah kemudian muncul model Negara Otoriter-Birokratik yang diintroduksi oleh Guillermo O’Donnell, yang kemudian menjadi kerangka pemikiran baru bagi banyak ilmuwan politik dalam memandang demokratisasi di negara-negara berkembang. Negara atau state, sebagai suatu konsep politik (yang sudah) lama kembali tampil dengan kemasan baru yang mampu menggeser konsep politik kontemporer, seperti political system-nya David Easton yang dikreasi untuk menghindarkan analisis politik dari kekakuan-kekakuan institusional yang legal-formal.
Beberapa karakteristik negara demokrasi antara lain:
• Integritas teritorial, baik sebagai akibat dari keyakinan bahwa negara merupakan sebuah bangsa atau melalui negosiasi dan kesepakatan yang sah dan mengikat yang memungkinkan terbentuknya sebuah negara multi-nasional.
• Aturan hukum, yaitu, hak minimal dan kewajiban warga negara secara hukum dikodekan dan parameter aktivitas negara yang didefinisikan secara hukum.
• Meminimalisir penggunaan sanksi hukum yang bersifat kekerasan terhadap warga negara.
• Populer terpilih dan wakil pemerintah yang secara formal dikendalikan oleh saluran konstitusional akuntabilitas.
• Birokrasi kompleks yang bisa membuat klaim untuk kenetralan.
• Keberadaan beberapa pusat-pusat kekuasaan.
• Adanya keberadaan saluran akses untuk pengambilan keputusan yang bersifat formal, bahkan untuk kelompok sosial subordinasi, yang operasional untuk beberapa derajat.
• Adanya kepastian beberapa komitmen untuk keadilan sosial dan ekonomi.
Pada pertengahan 1980-an kajian pembangunan demokrasi bergeser pada perdebatan demokratisasi dan reformasi yang berorientasi pasar (market-oriented reform) dalam proses global. Hal ini sekaligus menandai siklus paradigma baru, sesudah mengalami warna demokratisasi yang pesimistik dan konservatif pada tahun sebelumnya, agenda studi demokratisasi kembali bergeser dari state-centered menuju society-centered dengan warna market. Apalagi dengan runtuhnya Uni Soviet dan beberapa negara komunis di Eropa Timur akhir 1980-an, kajian demokratisasi menjadi sedikit berwarna dalam menganalisis kejatuhan rezim otoritarian. Menurut Przeworski (1995) masalah institusional yang paling penting adalah:
• Relationship antara badan eksekutif dan legislatif
• Sifat dari sistem pemilihan
• Apakah legislatif uni atau bikameral
• Peran dan jumlah komite legislatif
• Apakah sistem yang digunakan kesatuan atau federal
• Batas, jika ada, untuk memerintah mayoritas
• Peran judicial review
• Peran kelompok kepentingan
Kebangkitan kembali tema society-centered dalam konteks demokratisasi mendorong terjadinya pergeseran analisis. Namun kali ini konseptualisasi mengenai institusionalisasi yang dianggap mewakili masyarakat tidak terbatas pada partai politik semata, tetapi juga telah melibatkan aktor lain seperti non-governmental organizations (NGO’s), asosiasi-asosiasi sosial-kemasyarakatan, lembaga-lembaga lokal, dan lain-lain. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut dalam konteks yang baru ini merupakan bagian dari penguatan civil-society yang dianggap secara signifikan memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap demokratisasi. Hal ini banyak ditunjukkan oleh berbagai studi yang menyatakan bahwa aktor masyarakat (di luar partai politik) mempunyai kemampuan untuk memobilisasi dukungan secara bergelombang. Oleh sebab itu, tidak heran apabila pada tahun 1990-an studi yang menyelidiki kekuatan civil-society secara luas mendapat tempat dalam agenda-agenda penelitian ilmu politik dan demokratisasi. Dalam konteks ini asumsinya terjadi perubahan atau pergeseran yang amat drastis dari state-centered development menuju society-centered development, atau sering pula diistilahkan dengan people-centered development.
Di Indonesia misalnya , kestabilan dan kemapanan demokrasi, pada saat banyak demokrasi di dunia runtuh. Menunjukkan salah satu hasil nyata dari proses demokratisasi , seperti penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung di seluruh Indonesia. Saat ini, seluruh gubenur, bupati dan walikota telah dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini juga menunjukkan peta politik Indonesia telah berubah secara fundamental. Namun ini justru berbenturan dengan kenyataan-kenyataan ironis di tengah masyarakat, khusunya yang berkaitan dengan kesejahteraan, partisipasi maupun keadilan. Hukum di Indonesia masih bersifat memihak tanpa adanya keadilan bagi kaum miskin, komitmen keadilan dan stabilitas ekonomi belum dapat terpenuhi serta ketidakkonsistenan pemerataan hak bagi seluruh warga Indonesia. Dengan demikian keberhasilan demokrasi di Indonesia justru semakin mengungkapkan banyaknya problem-problem kemasyarakatan. Hal ini terkesan bahwa sebenarnya masih banyak persoalan-persoalan di masyarakat dalam mewujudkan proses proses demokratisasi di Indonesia. Namun hal ini kembali lagi pada realitas sosial yang terjadi, bahwa no state is fully democratic.
1 komentar:
wa'alaikumsalam WR WB
salam kenal juga :D
Posting Komentar