Minggu, 20 Februari 2011

Referendum Yogyakarta dalam Kacamata Sosiologi Politik : Studi Empiris Teori Konflik-Konsensus & Verstehen

Albert Schaffe (Mannheim, 1991:121) mencoba membedakan dua sisi kehidupan sosial yang selalu terjadi. Pertama peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam suatu pola tertentu dan terjadi secara ajeg. Kedua peristiwa-peristiwa yang masih dalam proses dan keputusan yang dibuat dalam peristiwa tersebut akan memunculkan situasi yang baru dan tidak biasa. peristiwa yang pertama merupakan peristiwa kehidupan rutin, sedangkan yang kedua disebut sebagai politik. Itulah yang didefinisikan Schaffe tentang politik, sedangkan sosiologi politik menurut Sherman dan Kolker adalah studi dari proses politik tersebut. Proses yang berkenaan juga dengan partisipasi dalam memutuskan tujuan bersama dan menggunakan kekuasaan untuk memperoleh tujuan tersebut.


Pemaparan diatas membuat penulis merujuk pada satu kasus yang penulis rasa adalah sebuah kasus politik yang masuk dalam kajian sosiologi politik. Yaitu kasus referendum Yogyakarta. Yogyakarta secara resmi menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 5 September 1945 sebagai propinsi dengan sebutan daerah istimewa Yogyakarta. Keistimewaan Yogyakarta tidak pernah dipersoalkan sampai sekitar 65 tahun. Namun, persoalan keistimewaan tersebut mulai terusik saat presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa seharusnya tidak ada monarkhi dalam sistem pemerintahan demokrasi. Hal ini membuat rakyat Yogya bereaksi dengan meminta referendum. Perspektif yaitu kacamata dalam melihat sebuah realitas adalah hal yang penting dalam ilmu-ilmu sosial. Analisis dengan perspektif yang berbeda akan membuat versi yang berbeda pula atas suatu realitas yang terjadi. Menurut Sherman dan Kolker, perspektif dalam sosiologi politik ada tiga yaitu perspektif konsensus, perspektif konflik dan perspektif konstruksi sosial atas realitas(11). Melalui tiga perspektif ini penulis akan mencoba menganalisis persitiwa referendum Yogyakarta tersebut.


Perspektif konsensus melihat nilai dan norma sebagai landasan masyarakat, memusatkan perhatiannya pada keteraturan sosial berdasarkan atas kesepakatan diam-diam dan memandang perubahan sosial terjadi secara lambat. Manusia adalah individu-individu yang menjalankan peranan dan bertindak berdasarkan apa yang mereka pelajari melalui sosialisasi. Social order atau keteraturan sosial yang tercipta di masyarakat Yogyakarta terbentuk karena adanya kesepakatan antara Kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersama Paku Alam VIII dengan Negara Kesaruan Republik Indonesia mengenai penggabungan Kerajaan Yogyakarta ke dalam tubuh Negara Indonesia. Pada saat itu Soekarno dan Hatta menyetujui bahwa Yogyakarta tetap berstatus sebagai “provinsi monarki” dan memberikan beberapa keistimewaan kepada Kerajaan Yogyakarta, salah satunya adalah Sultan Yogyakarta akan otomatis menjadi Gubernur provinsi tersebut. Keistimewaan Yogyakarta ini pun disambut baik oleh para founding father Indonesia dengan dikeluarkannya payung hukum yang dikenal dengan nama piagam penetapan. Payung hukum ini sebenarnya sudah dikeluarkan oleh Soekarno yang duduk di BPUPKI dan PPKI pada 19 Agustus 1945. Piagam penetapan ini kemudian diserahkan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII pada 6 September 1945. Sejak itulah status daerah istimewa melekat pada Yogyakarta dan ditetapkan dalam Undang-Undang No 3 tahun 1950 Jo UU No 19 tahun 1950 mengenai Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Terlebih status istimewa mendapat payung hukum dari Undang-Undang Dasar 1945, yakni pasal 18A ayat 1 yang penegasannya adalah “bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa yang diatur dalam undang-undang”. Kesepakatan inilah yang kemudian diinternalisasi oleh masyarakat Yogyakarta (khususnya) melalui sosialisasi (diwariskan) kepada anak cucu mereka. Konflik terjadi antara masyarakat Yogyakarta dengan pemerintah pusat diakibatkan terjadinya ketidakkonsistenan pemerintah pusat terhadap kesepakatan tersebut, dimana pemerintah pusat melalui Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mencoba untuk mengubah tampuk kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang semula bersifat tradisional menjadi legal-rasional. Dalam UU tersebut, diatur bahwa gubernur dan wakil gubernur suatu provinsi di NKRI dipilih dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan masa jabatan maksimal 10 tahun atau dua kali pilkada. Ketika salah satu pihak telah memutuskan untuk membatalkan kesepakatan yang telah menciptakan order maka konflik pun tidak terhindarkan lagi antara kedua kubu tersebut yang menyebabkan masyarakat Yogyakarta yang telah tersosialisasi nilai dan norma atas kesepakatan terdahulu dan menganggap bahwa Sri Sultan adalah pemimpin Yogyakarta meminta referendum. Perspektif konsensus juga melihat kasus Yogyakarta sebagai upaya sistem dalam mempertahankan sistem itu sendiri. Dalam hal ini referendum dilihat sebagai sesuatu hal yang memiliki fungsi dalam mempertahankan sistem karena antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah masing-masing mempertahankan sistem yang berbeda, Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh presiden mencoba mempertahankan sistem pemerintahan demokrasi yang telah dianut oleh Negara Indonesia melalui sistem pemilihan langsung pemimpin pusat dan daerah, sehingga monarkhi daerah istimewa Yogyakarta dipertanyakan. Sedangkan pemerintahan daerah istimewa Yogyakarta berserta masyarakat Yogyakarta mencoba mempertahankan sistem pemerintahan kerajaan yang telah turun temurun dianut. Referendum sebagai hal yang mampu untuk menyelesaikan perbedaan pendapat pemerintah pusat dan daerah Yogyakarta. Referendum dilakukan sebagai bukti berjalannya fungsi rakyat lewat partisipasi politik.


Berbeda dengan perspektif konsensus yang lebih menelaah integrasi nilai di tengah-tengah masyarakat, perspektif konflik lebih melihat pemerintah pusat dengan kekuasaannya mencoba mengatur status pemerintahan daerah Yogyakarta. Pengaturan ini terjadi karena adanya pertentangan pendapat antara sistem pemerintahan demokrasi dengan status keistimewaan Yogyakarta yang dianggap sebagai sistem pemerintahan monarkhi. Pertentangan itu diawali dengan dicetuskannya UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang mana berisi tentang peraturan bahwa gubernur dan wakil gubernur suatu provinsi di NKRI dipilih dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan masa jabatan maksimal 10 tahun atau dua kali pilkada.. Secara logika, pemerintah pusat hendak mengubah sistem kepemimpinan Yogyakarta yang bersifat tradisional menjadi legal-rasional. Perspektif ini melihat pemerintah sedang mencoba mempertahankan status quo-nya sebagai kepala pemerintahan di negara yang menganut sistem pemerintahan legal-rasional (demokrasi). Dan melihat pemerintahan daerah istimewa Yogyakarta melalui Sultan juga sedang mempertahankan legalitasnya sebagai pemimpin daerah dengan sistem pemilihan turun temurun (tradisional). Dari sini terlihat ada perbedaan kepentingan yang saling bertentangan. Implikasi puncak dari pertentangan “dua pemerintahan” tersebut adalah permintaan referendum dari mayoritas masyarakat Yogyakarta yang menganggap bahwa perbedaan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat sudah tidak dapat dijembatani lagi.


Sedangkan perspektif konstruksi sosial atas kenyataan yang dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann melihat realitas sebagai sesuatu hal yang dikonstruksikan. Sehingga realitas ini sifatnya tidak tunggal namun ada realitas lain yang memperngaruhinya, realitas lain ini mengkonstruksikan dalam bentuk pengetahuan ke dalam realitas yang terjadi saat ini. Pengetahuan yang dimiliki presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang sebuah sistem pemerintahan demokrasi menjadi asal muasal kenapa perdebatan tentang status Yogyakarta ini muncul kepermukaan. begitu juga pengetahuan pemerintah daerah Yogyakarta dan masyarakatnya tentang sosio-historis kedudukan Yogyakarta sebagai daerah istimewa membuat mereka tidak menyetujui pendapat presiden tentang pemilihan secara langsung pemimpin pemerintahan daerah mereka. pengetahuan inilah yang kenyataan yang terjadi saat ini. Sehingga untuk melihat lebih jauh kasus ini seharusnya para kademisi mencoba menggali akar sosio-historis bukan hanya berkenaan tentang sejarah Yogyakarta sebagai propinsi yang istimewa tapi juga sosi-histori yang melatar belakangi kenapa presiden tiba-tiba mempermasalahkan hal tersebut.


Pada persoalan keistimewaan Yogyakarta ini, pada hakekatnya juga terkait dengan peran Negara dalam penegakan demokrasi dan adanya hubungan dengan keberadaan masyarakat sipil di Indonesia.. Bahkan jika dikaji berdasarkan pemikiran Weber, maka kekuasaan negara dan keberadaan Sultan sebagai kepala daerah ini yang menjadi persoalan utama dalam konteks sosial dan historisnya, dengan memperhatikan tipologi dari suatu kewenangan, yaitu otoritas tradisional, otoritas kharismatik, dan otoritas legal rasional (konsep ideal type). Dengan demikian, persoalan keistimewaan Yogyakarta serta keputusan Sultan sebagai gubernur /kepala daerah yang dipertentangkan antara dipilih atau melalui penetapan (‘yang dianggap tidak demokratis’) perlu dijembatani melalui konsensus. Melalui konsensus masyarakat diberi kewenangan untuk menentukan proses penetapan jabatan gubernur/kepala daerah sesuai tradisi yang sudah ada. Dengan konsensus setidaknya dapat membuka ruang terhadap pengambilan keputusan tentang mekanisme jabatan gubernur tanpa pemilihan namun masih dalam ruang lingkup demokrasi, karena pemaksaan untuk dilakukannya pemilihan justru dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik yang lebih besar atau bahkan sebaliknya dapat mencederai nilai demokrasi yang sesungguhnya, terutama jika terjadi unsur “KKN” maupun “money politics”.

Dari persoalan ini meski terkesan terjadi konflik interaksional dan vertikal, namun sesungguhnya diharapkan dapat menerobos dikotomi antara sejarah dan demokrasi, antara pemerintah dengan masyarakatnya. Pemerintah mencoba untuk mengatur kebijakan mengenai tampuk kepemimpinan provinsi Yogyakarta dengan menegakkan asas demokrasi (melakukan Pemilu sebagai bentuk kepemimpinan legal-rasional). Namun proses tersebut harus bersifat tidak membelenggu, bahkan menekan kelompok masyarakat yang lain. Harus bersifat melindungi, memberdayakan dan membebaskan kesadaransosial tanpa menghilangkan prinsip hukum untuk keadilan, karena cara yang digunakan oleh pemerintah pusat dalam mengatasi masalah ini hanya berupa rapat internal dengan para anggota dewan tanpa melibatkan masyarakat Yogyakarta itu sendiri. Dengan mengikutsertakan masyarakat ke dalam diskusi yang memungkinkan adanya komunikasi rutin, diharapkan penyelesaian konflik antara pemerintah pusat dengan masyarakat Yogyakarta dapat menghasilkan solusi yang baik untuk RI maupun Yogyakarta. Kebijaksanaan masyarakat, sebagai sebuah modal sosial pembangunan hendaknya tidak lagi dimanfaatkan sebagai sarana memperoleh keuntungan sepihak dan mengalahkan nilai-nilai positif social capital.

0 komentar:

Posting Komentar