Pasca jatuhnya kepemimpinan Soeharto, yang kemudian diikuti dengan berbagai peristiwa WTC, bom Bali maupun tindak kekerasan yang lain, persoalan demokratisasi di Indonesia berada pada era pertumbuhan. Sebagai negara multikultur yang penduduknya mayoritas muslim, Indonesia juga dihadapkan pada masalah demokrasi dan nilai-nilai agama Islam (dilihat dari segi geografis dan jumlah penduduk, Indonesia adalah negara Islam terbesar). Hal ini pulalah yang terlihat dalam tulisan Saiful Mujani, yaitu tentang keberadaan demokrasi sekuler dan penjelasan mengapa itu terjadi. Tulisan yang juga merupakan bagian dari disertasinya, mencoba menguraikan tentang keterkaitan Islam di Indonesia dengan demokrasi, meski kemudian banyak pula menuai perdebatan. Dalam hal ini Saiful Mujani melakukan peneltiannya dengan survey, khususnya ketika pemilu 2004 dan 2009. Berdasarkan survey tersebut terlihat bahwa terdapat tiga partai sekuler utama, yaitu PDI P, Golkar dan Partai Demokrat. Kemudian pada Pemilu 2009, bertambah dengan keberadaan Partai Gerindra dan Hanura. Namun di sisi lain terdapat pula komposisi perolehan suara dari partai sekuler Islam, seperti PKB (didasarkan pada NU) dan PAN (didasarkan pada Muhammadiyah) yang kemudian mengalami penurunan. Demikian pula halnya dengan partai Islam sendiri, yaitu PPP dan PKS mengalami penurunan dalam perolehan suara.
Melalui survey tersebut pada hakekatnya juga memberikan gambaran tentang keberadaan pelaksanaan demokrasi di Indonesia dalam bentuk partisipasi politik dari partai sekuler maupun partai Islam. Tetapi sesungguhnya juga tetap dengan memperhatikan makna atau penggunaan istilah sekuler secara tepat. Sejalan dengan ini, dominasi partai sekuler di Indonesia juga memiliki hubungan di antara kelompok-kelompok relijius. Selain itu, sekularisasi dari demokrasi di Indonesia terlihat pula pada hasil-hasil dari beberapa ‘pilkada’ dalam perolehan suara yang didominasi oleh PDI P dan Golkar. Berdasarkan tulisannya ini pula menunjukkan bahwa partai politik sekuler dan politisi sekuler mendominasi hingga masa yang akan datang, meski untuk jangka pendek dalam stabilitas demokrasi. Hal ini sekaligus sebagai tantangan nyata dalam melakukan konsolidasi demokrasi dan menanggapinya secara efektif.
Namun di sisi lain, Saiful Mujani juga ingin membedah wacana Islam dan demokrasi yang tidak lepas dari persoalan negara, kekuasaan, mupun politik serta relasi antara Islam dengan entitas lain di luar Islam. Bahkan tesis utamanya adalah ingin melihat secara empiris perkembangan demokrasi di sebuah negara yang mayoritas penduduknya muslim. Dengan kata lain, pemikiran Saiful Mujani ini juga ingin membantah tesis yang mengatakan bahwa Islam tidak sesuai dengan demokrasi, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Samuel Huntington. Menurut Huntington, demokrasi beserta issue-issue modernisme dianggap tidak cocok dengan kultur Islam, bahkan istilah muslim demokrat dari Mujani terkesan memiliki makna yang bertentangan secara istilah (contradictio in terminis). Menurut Saiful Mujani, umat Islam di Indonesia justru memberikan kontribusi positif bagi munculnya partisipasi demokrasi. Keterlibatan umat Islam di Indonesia dalam kegiatan keagamaan dan sekuler membuat umat Islam toleran terhadap kelompok lain. Bahkan ada sejumlah nilai dalam Islam yang diyakini mendukung demokrasi , seperti melalui ijtihad (penalaran rasional), ijma (konsensus), ikhtilaf (perbedaan pendapat). Selain itu, muslim di Indonesia juga sangat mendukung konsep negara bangsa, meski dalam tradisinya beberapa negara Arab bersifat otoriter sehingga dianggap tidak mencerminkan demokratis. Namun sebenarnya yang menjadi persoalan adalah apakah itu disebabkan oleh faktor Islam atau tidak. Dengan demikian pandangan Huntington yang menyebutkan bahwa Islam tidak kompatibel sebenarnya juga harus dikemukakan sebagai pengecualian, jika itu dilihat hanya di negara-negara Arab. Karena Indonesia misalnya, meski saat ini juga didominasi oleh partai sekuler namun pola penafsiran Islam dapat sejalan dan memperkuat demokrasi. Keadaan ini dapat terlihat dari perjalanan demokrasi di Indonesia, meski sistem demokrasi kerap berubah (demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin,maupun demokrasi Pancasila).
Bukti lain yang menunjukkan berlangsungnya arus demokrasi di Indonesia adalah besarnya masyarakat Indonesia yang ikut berpartisipasi dalam kancah politik, partisipasi politik dalam hal ini tidak hanya sekedar mengikuti kegiatan PEMILU ataupun menjadi anggota suatu partai saja melainkan juga melakukan kegiatan yang tujuannya untuk mempengaruhi pemerintah karena partisipasi politik dapat diarahkan untuk mengubah keputusan-keputusan para pejabat yang sedang berkuasa, mengganti atau mempertahankan pejabat-pejabat itu, atau mempertahankan organisasi sistem politik yang ada dan aturan-aturan permainan politiknya. Semuanya merupakan cara-cara untuk mempengaruhi keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan pemerintah. Bentuk-bentuk partisipasi politik adalah (1) kegiatan pemilihan, (2) lobbying, (3) kegiatan organisasi, (4) contacting yaitu membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka (mencari koneksi), dan (5) tindakan kekerasan. Adapun landasan partisipasi politik adalah (1) kelas, individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa, (2) kelompok komunal, individu-individu dengan asal usul ras, agama, bahasa atau etnis yang serupa, (3) lingkungan, individu-individu yang jarak tempat tinggalnya berdekatan, (4) partai, individu-individu yang mengidentifikasikan diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legeslatif pemerintah, dan (5) golongan/fraksi, individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan dan ekonomi yang tidak sederajat.
Oleh karena itu, jika dilihat dari perjalanan dan perkembangannya, Indonesia telah menganut demokrasi (terlepas stabil atau tidak stabil akibat adanya beberapa faktor “X” yang mempengaruhinya seperti pembangunan ekonomi, migrasi, perang, ekploitasi, kepemimpinan politik, perluasan lingkup kegiatan pemerintah dan perbedaan ideologi serta keagamaan Indonesia sebagai negara multikultur), sehingga perlu dicermati faktor yang menghambat ataupun yang mendukung stabilitas tersebut sebagai budaya demokrasi dari masyarakat muslim. Dalam hal ini terdapat unsur-unsur penting dalam Islam yang dapat membuat demokrasi berjalan dan stabil. Dengan demikian demokrasi dan Islam dengan segala elemennya melalui analisa secara empiris tidak terdapat hubungan negatif, sebagaimana yang diasumsikan sarjana Barat belakangan ini.
Melalui survey tersebut pada hakekatnya juga memberikan gambaran tentang keberadaan pelaksanaan demokrasi di Indonesia dalam bentuk partisipasi politik dari partai sekuler maupun partai Islam. Tetapi sesungguhnya juga tetap dengan memperhatikan makna atau penggunaan istilah sekuler secara tepat. Sejalan dengan ini, dominasi partai sekuler di Indonesia juga memiliki hubungan di antara kelompok-kelompok relijius. Selain itu, sekularisasi dari demokrasi di Indonesia terlihat pula pada hasil-hasil dari beberapa ‘pilkada’ dalam perolehan suara yang didominasi oleh PDI P dan Golkar. Berdasarkan tulisannya ini pula menunjukkan bahwa partai politik sekuler dan politisi sekuler mendominasi hingga masa yang akan datang, meski untuk jangka pendek dalam stabilitas demokrasi. Hal ini sekaligus sebagai tantangan nyata dalam melakukan konsolidasi demokrasi dan menanggapinya secara efektif.
Namun di sisi lain, Saiful Mujani juga ingin membedah wacana Islam dan demokrasi yang tidak lepas dari persoalan negara, kekuasaan, mupun politik serta relasi antara Islam dengan entitas lain di luar Islam. Bahkan tesis utamanya adalah ingin melihat secara empiris perkembangan demokrasi di sebuah negara yang mayoritas penduduknya muslim. Dengan kata lain, pemikiran Saiful Mujani ini juga ingin membantah tesis yang mengatakan bahwa Islam tidak sesuai dengan demokrasi, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Samuel Huntington. Menurut Huntington, demokrasi beserta issue-issue modernisme dianggap tidak cocok dengan kultur Islam, bahkan istilah muslim demokrat dari Mujani terkesan memiliki makna yang bertentangan secara istilah (contradictio in terminis). Menurut Saiful Mujani, umat Islam di Indonesia justru memberikan kontribusi positif bagi munculnya partisipasi demokrasi. Keterlibatan umat Islam di Indonesia dalam kegiatan keagamaan dan sekuler membuat umat Islam toleran terhadap kelompok lain. Bahkan ada sejumlah nilai dalam Islam yang diyakini mendukung demokrasi , seperti melalui ijtihad (penalaran rasional), ijma (konsensus), ikhtilaf (perbedaan pendapat). Selain itu, muslim di Indonesia juga sangat mendukung konsep negara bangsa, meski dalam tradisinya beberapa negara Arab bersifat otoriter sehingga dianggap tidak mencerminkan demokratis. Namun sebenarnya yang menjadi persoalan adalah apakah itu disebabkan oleh faktor Islam atau tidak. Dengan demikian pandangan Huntington yang menyebutkan bahwa Islam tidak kompatibel sebenarnya juga harus dikemukakan sebagai pengecualian, jika itu dilihat hanya di negara-negara Arab. Karena Indonesia misalnya, meski saat ini juga didominasi oleh partai sekuler namun pola penafsiran Islam dapat sejalan dan memperkuat demokrasi. Keadaan ini dapat terlihat dari perjalanan demokrasi di Indonesia, meski sistem demokrasi kerap berubah (demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin,maupun demokrasi Pancasila).
Bukti lain yang menunjukkan berlangsungnya arus demokrasi di Indonesia adalah besarnya masyarakat Indonesia yang ikut berpartisipasi dalam kancah politik, partisipasi politik dalam hal ini tidak hanya sekedar mengikuti kegiatan PEMILU ataupun menjadi anggota suatu partai saja melainkan juga melakukan kegiatan yang tujuannya untuk mempengaruhi pemerintah karena partisipasi politik dapat diarahkan untuk mengubah keputusan-keputusan para pejabat yang sedang berkuasa, mengganti atau mempertahankan pejabat-pejabat itu, atau mempertahankan organisasi sistem politik yang ada dan aturan-aturan permainan politiknya. Semuanya merupakan cara-cara untuk mempengaruhi keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan pemerintah. Bentuk-bentuk partisipasi politik adalah (1) kegiatan pemilihan, (2) lobbying, (3) kegiatan organisasi, (4) contacting yaitu membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka (mencari koneksi), dan (5) tindakan kekerasan. Adapun landasan partisipasi politik adalah (1) kelas, individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa, (2) kelompok komunal, individu-individu dengan asal usul ras, agama, bahasa atau etnis yang serupa, (3) lingkungan, individu-individu yang jarak tempat tinggalnya berdekatan, (4) partai, individu-individu yang mengidentifikasikan diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legeslatif pemerintah, dan (5) golongan/fraksi, individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan dan ekonomi yang tidak sederajat.
Oleh karena itu, jika dilihat dari perjalanan dan perkembangannya, Indonesia telah menganut demokrasi (terlepas stabil atau tidak stabil akibat adanya beberapa faktor “X” yang mempengaruhinya seperti pembangunan ekonomi, migrasi, perang, ekploitasi, kepemimpinan politik, perluasan lingkup kegiatan pemerintah dan perbedaan ideologi serta keagamaan Indonesia sebagai negara multikultur), sehingga perlu dicermati faktor yang menghambat ataupun yang mendukung stabilitas tersebut sebagai budaya demokrasi dari masyarakat muslim. Dalam hal ini terdapat unsur-unsur penting dalam Islam yang dapat membuat demokrasi berjalan dan stabil. Dengan demikian demokrasi dan Islam dengan segala elemennya melalui analisa secara empiris tidak terdapat hubungan negatif, sebagaimana yang diasumsikan sarjana Barat belakangan ini.
0 komentar:
Posting Komentar