Tadi pagi saya melihat acara hand in hand di saluran Arirang TV yang mengangkat pembahasan mengenai anak-anak bi-rasial di sana. Jujur saya sangat tertarik dengan pembahasan ini karena saya melihat perbedaan fenomena ttg orang-orang bi-rasial ini dengan yang ada di Indonesia.
Tidak seperti di Indonesia yang sangat terbuka dengan masyarakat multiras, Korea Selatan justru sangat tertutup dengan perbedaan ras ini. Mungkin karena Indonesia memiliki 33 propinsi+300 lebih suku serta beraneka ragam ras sehingga masyarakat kita tidak lagi membeda-bedakan masyarakat berdasarkan ras (bahkan orang-orang multiras laku keras di dunia hiburan Indonesia). Sedangkan Korea Selatan yang tingkat “cinta negara”nya sangat tinggi merasa bahwa masyarakat multiras merupakan foreigner di negara mereka. Sempat saya melihat acara showbiz Korea (acara gosip ala seleb korea) pernah membahas bahwa di negri ginseng tsb akan sangat jarang menemukan seleb multiras, kalaupun ada maka bisa dihitung dgn jari.
Nah..ketika saya nonton acara Hand in Hand yg membahas masalah anak-anak multiras baru saya mengerti knp hal ini bisa terjadi. Di acara itu diceritakan kisah beberapa anak yang memiliki ssetengah darah Korea dan setengah darah negara asing, salah satunya adalah kisah seorang anak SD bernama Hyeong Min yang memiliki orang tua berbeda bangsa. Ibunya adalah seorang korea asli sedangkan ayahnya berasal dari Nigeria, dari pernikahan silang tersebut menyebabkan Hyeong Min memiliki kulit berwarna gelap layaknya ras negroid. Selama di sekolah, ia selalu mendapatkan pandangan negatif baik dari teman sekelas maupun guru-gurunya. Ia selalu dianggap sebagai trouble maker dan kasar, bahkan salah satu gurunya ada yang berpendapat bahwa hyeong min bersikap seperti itu karna lingkungan rumahnya tidak bagus (karna ayahnya bukan orang korea). Hal ini menyebabkan hyeong min mendapat perlakuan berbeda dari lingkungan sekolah maupun masyarakat sekitar.
Tidak hanya hyeong min yang mengalami kejadian seperti ini, ada beberapa anak lg yang diceritakan dalam acara ini namun (maaf) saya tidak ingat nama-nama mereka. Ada seorang anak blasteran Jepang-Korea & anak blasteran China-Korea juga mengalami hal yg sama. Walaupun pada dasarnya mereka masih satu ras (penduduk Asia Timur merupakan ras mongoloid) yang memiliki ciri fisik serupa bahkan tidak bisa dibedakan. Namun ternyata hal ini tetap menjadi masalah karna mereka tidak 1 negara, kisah anak blasteran Jepang-Korea (Ibu dari Jepang sedangkan ayah orang korea asli) yang mendapat julukan “moron” dari teman-teman sekolahnya karena IQ-nya dianggap ‘jongkok’. Lucunya ketika ibunya membawanya untuk tes psikologi di sebuah klinik, sang terapi mengatakan penyebab ‘jongkok’nya IQ si anak akibat si ibu yang bukan orang korea!! So what gitu loh!!! Memangnya ada relevansi antara tingkat IQ dengan asal negara seorang anak?? Teori apa yg mendasari itu? Ckckckckck
Seorang anak blasteran china-korea jg mendapat julukan “made in china” dari teman sekelasnya. Hal ini membuat ia malas utk berangkat ke sekolah karna ia merasa bingung knp teman-temannya selalu berlaku demikian padahal ia tidak melakukan sesuatu yg salah. Berdasarkan data dari kementrian pendidikan dan teknologi korea selatan, hampir 50% anak-anak multiras yg mengenyam pendidikan di korea mengalami drop out karna tidak tahan dgn bullying yg mereka alami sebagai konsekuensi dari pernikahan silang yang dilakukan oleh orang tuanya. Kalau dilihat-lihat, kisah seperti ini mengingatkan kita pada peristiwa holocaust yang terjadi di Jerman saat PD II, dimana Hitler memproklamirkan penyerangan terhadap bangsa Yahudi dan menganggap ras Arya sebagai ras paling unggul. Hal ini mirip dengan kasus rasial di Korsel (ga hanya masalah ras sih sebenarnya, kalau menurut saya lebih mengarah pada "purity" darah bangsa Korea saja karena walaupun sesama ras mongoloid namun kalau bukan saudara sebangsa&setanah air mereka pun tetap membedakan).
Hmmmm…jika saya diberi kesempatan utk melakukan penelitian di korea selatan, ingin sekali saya mengangkat permasalahan ini.
Semoga bisa terwujud :D
3 komentar:
permasalahan yang sangat menarik jika ditinjau dari segi sosiologis. Oya apa ada kaitan antara rasa nasionalisme yang tinggi dengan perilaku bullying tersebut?, bukankah suatu hal yang menyenangkan apabila bertemu dengan seseorang yang berbeda secara fisik namun lahir dari rumpun yang sama. ato ada ketakutan pribadi yang akan mengancam eksistensi sifat yang lebih ke arah chauvinisme tersebut?
masalah ini bisa dikaji dari segi pendidikan, sosiologi, psikologi, budaya dan sejarah
wah..anda memberikan komentar di blog ini tepat di hari ibu, pasti anda lebih memilih untuk 'bercengkrama' dgn laptop ketimbang ibu anda sendiri kan? dasar anak durhaka huahahahahahahahahaha *kidding hans ;p
btw..kasus ini mang menarik bgt klo qt tinjau dr sisi sosiologis, klo mnrt gw hal ini bs terjadi memang akibat dr dampak negatif yg ditimbulkan dr terlalu cintanya warga negara thd negaranya sehingga tendensinya lbh ke arah chauvinisme/fanatisme. Qt tw sendiri, segala sesuatu yg bersifat berlebihan dampaknya pasti akan buruk, dan inilah akibatnya jika qt terlalu memuja kelompok qt sendiri. perbedaan yg ada bukannya disikapi sbg sesuatu yg indah melainkan justru mjd suatu 'noda' yg harus dihilangkan. Makanya seorang profesor di Korsel baru2 ini mengeluarkan pernyataan yg mendukung terjadinya pernikahan silang di Korsel dan meminta warga Korsel utk mw terbuka thd bangsa lain agar arus globalisasi disana berjalan dgn lancar.
Tp memang setau gw sih hans, rata2 negara yg termasuk kategori maju-sejahtera pasti punya niat utk menyebarkan pengaruhnya ke negara lain dan meminimalisir pengaruh luar secara perlahan/ekstrem. Perancis, Jerman dan Jepang jg menerapkan hal yg hampir serupa (walopun ga seekstrem Korsel) namun mereka udah 'melarang' penggunaan bahasa asing di negaranya. Hal ini kan udah merupakan suatu indikasi chauvinisme utk mempertahankan eksistensi negaranya di dunia :D. Kapan2 qt diskusikan masalah ini lbh lanjut, doain gw siapa tw aj gw dpt kesempatan utk neliti hal ini hehhehehehe
Posting Komentar