Senin, 27 Desember 2010

Komersialisasi Pendidikan di Indonesia

Pendidikan merupakan anugerah bagi yang dapat menikmatinya, dan mereka akan memberi manfaat tidak hanya bagi dirinya tetapi juga bagi masyarakat. Pendidikan sebagai salah satu “kendaraan” individu untuk dapat mengembangkan human capital memiliki peran sebagai agen sosialisasi dan indoktrinasi nilai dan norma yang berlaku masyarakat. Pendidikan adalah kunci terpenting dalam menentukan keberhasilan seseorang dalam membangun kehidupan karena pendidikan telah berubah menjadi factor penentu dalam kehidupan masyarakat. Namun seiring dengan perkembangan zaman, dimana era globalisasi mulai menjangkiti berbagai negara, prinsip dan tujuan awal pendidikan mulai mengalami pergeseran. Pendidikan memang masih tetap menjadi agen sosialisasi nilai dan norma namun tendensinya mulai mengalami perubahan, kapitalis menjadi dominan dalam ranah pendidikan.

Pendidikan di sisi lain dibutuhkan karena alasan kebutuhan sebagian masyarakat untuk mendapatkan status dengan berbagai privelese yang menyertai dalam kehidupan. Kapitalisme mulai memainkan perannya dalam dunia pendidikan, pendidikan dijadikan ajang/arena bisnis. Implikasi yang terjadi adalah komersialisasi pendidikan, biaya pendidikan tidak lagi terjangkau bagi kelas bawah. Pendidikan telah menjalankan perannya sebagai seleksi kelas dimana hanya masyarakat yang berasal dari kelas menengah atas (borjuis) saja yang dapat menikmati pendidikan. Kembali teringat pada kejadian beberapa tahun yang lalu, ketika beberapa perwakilan mahasiswa UNJ (yang notabene adalah calon guru) diterima untuk bertemu dengan JK yang pada saat itu masih menjadi Wakil Presiden RI. Para mahasiswa tersebut menuntut biaya sekolah yang terjangkau bagi kaum anak jalanan dan masyarakat bawah lainnya yang tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan, lalu JK berkata “Pendidikan adalah sebuah pilihan”. Makna dari kalimat tersebut mengarah pada kondisi sosial ekonomi individu, apabila individu tersebut memiliki kemampuan financial yang memadai untuk melanjutkan sekolah maka “gerbang” sekolah terbuka namun apabila tidak memiliki kemampuan financial yang memadai maka ucapkan “selamat tinggal” pada pendidikan.

Memang, beberapa tahun terakhir ini pihak pemerintah mulai menjalankan kebijakan mengenai dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) dimana pendidikan dasar 9 tahun (SD-SMP) digratiskan. Para orang tua maupun wali murid yang menyekolahkan anaknya di sekolah negeri tidak lagi dibebankan biaya sekolah (SPP). Hal ini tentunya menjadi “angin segar” bagi para masyarakat kelas bawah (proletar) untuk dapat mengembangkan human capitalnya namun ternyata biaya tersebut tidak sepenuhnya ‘gratis’ karena masih ada pungutan liar berupa uang buku, seragam, PM (Pendalaman Materi) dan lain-lain. Begitu pun ketika masyarakat hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi, pemerintah tidak mensubsidi SMA Negeri sehingga kapitalisme bebas bermain di ranah ini. Biaya pendidikan semakin lama semakin melambung tinggi menyebabkan persyaratan masuk mulai bergeser. Nilai yang dipercaya sebagai bukti dari kualitas intelektual siswa kini menjadi nomor 2, siswa yang memiliki nilai tinggi namun tidak memiliki uang untuk membayar uang gedung ataupun SPP maka posisinya sebagai ‘kandidat’ siswa akan tergeser. Begitu pun dengan Perguruan Tinggi, masih teringat dengan jelas nasib salah seorang murid saya yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke salah satu universitas negeri terkemuka di Indonesia hanya karena orang tuanya tidak mampu membayar uang pangkal yang bernilai Rp.10 juta, walaupun ia lolos seleksi SMPTN (Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri) namun karena ia tidak dapat memenuhi salah satu persyaratan tersebut maka namanya sebagai calon mahasiswa PTN itu pun dicoret dan saat ini ia hanya bisa menjadi buruh pabrik.

Pendidikan telah menjelma sebagai arena pertentangan dan perjuangan kelas. Menurut pandangan teori konflik, hal tersebut dilatarbelakangi oleh permainan kapitalisme. Pendidikan, terutama dari pandangan teoritisi Marxian, tiada lain adalah instrument bagi pemilik modal. Para pemilik modal inilah yang mengatur serta mengendalikan proses rekrutmen pendidikan tinggi. Hal ini tak lain adalah salah satu cara bagi kaum borjuis untuk mempertahankan status quo-nya. Randall Collin (1978) seorang penganut teori konflik yang dikembangkan oleh Weberian, lebih memfokuskan pada credentialism yaitu suatu cara yang diperlukan untuk meningkatkan posisi ke level yang lebih tinggi yang digunakan oleh individu-individu yang beruntung untuk dijadikan dasar dalam menaikkan status mereka. Jika hal tersebut masih terjadi (bahkan cenderung dilegalkan pada zaman sekarang) maka pepatah yang mengatakan bahwa pendidikan bisa mendorong terjadinya reformasi sosial menuju sistem masyarakat yang berkeadilan tidak akan pernah terwujud. Korupsi akan semakin mendarah daging dan kualitas pendidikan pun akan semakin terseok-seok, dapat kita lihat realitas sosial yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia masa kini. Semakin banyak generasi muda Indonesia yang terpaksa putus sekolah di tengah jalan maupun tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Kualitas pendidikan Indonesia semakin terpuruk akibat tersentralisasinya fokus pendidikan kepada “uang” dan keuntungan.

Rekomendasi:

Di tengah kondisi dunia pendidikan di Indonesia yang semakin memprihatinkan ini, salah satu cara agar bisa terbebas dari dampak buruk yang dibentuk oleh kapitalisme pendidikan adalah dengan mengubah konsep komersialisasi pada tubuh pendidikan. Para praktisi pendidikan, orang tua dan siswa harus diberikan penyadaran agar mereka memiliki self-awareness dan class consciousness. Pendidikan bukanlah benda yang layak untuk dijadikan komoditas melainkan adalah suatu modal bagi individu untuk dapat mengubah kehidupannya maupun negara.



0 komentar:

Posting Komentar