Minggu, 04 April 2010

Implikasi Nilai Sosial Budaya Terhadap Kesetaraan Gender

Kapitalisme sebagai dalang dari era modernisasi dan kemajuan di dunia ternyata memiliki prinsip atau pandangan yang menutup mata mengenai persoalan gender, kapitalisme tidak memperdulikan jenis kelamin para pelaku produksi, asalkan pelaku tersebut dapat memberikan laba yang cukup signifikan maka ia bisa survive di era per-kapitalisme-an ini. Namun sayang, kapitalisme seolah memiliki dua sisi mata uang, di satu sisi kapitalisme tidak memandang gender sehingga seolah-olah kapitalisme mendukung sepenuhnya bagi kaum wanita untuk berpartisipasi aktif dalam kancah produksi tersebut. Tapi di sisi lain, kapitalisme seolah mendukung dominasi patriarki di dunia, Edwards, (dkk) menggambarkan situasi ini sebagai berikut:
“Men could work as wage-workers in factories and leave to their wives the essential reproductive activities that continued to be carried out in the home. While young single women could expect to work for several years at wage labor outside the home, most married women could not, for reproductive work itself required many hours of labor over most of a wife’s adult married life”.

Dari pandangan Edwards (dkk) tersebut, dapat kita lihat bahwa kapitalisme pada dasarnya hanya membutuhkan individu-individu yang berkompetisi secara kuat tanpa mengalami gangguan yang berarti. Hal ini merupakan prinsip awal kapitalisme yang konsisten berorientasi laba, kaum wanita memang tidak dihalangi untuk berpartisipasi aktif dalam kancah produksi namun kondisi biologis tubuh wanita serta kodrat yang tentunya memiliki perbedaan sangat besar dibandingkan dengan kaum pria. Hanya wanita-wanita yang mampu untuk memenuhi tuntutan yang diisyaratkan dan bertahan dalam persaingan saja yang dapat survive dalam kancah produksi ini. Tuntutan inilah yang pada akhirnya menimbulkan suatu degradasi moral dikalangan kaum wanita yang hidup di era globalisasi (perdagangan bebas) dan modern seperti saat ini. Salah satu bentuk modernisasi dalam aspek emansipasi ini adalah pensosialisasian makna dan pengertian gender serta feminis di berbagai kalangan sehingga menyebabkan perubahan mainstream wanita, kaum wanita sadar bahwa dirinya juga merupakan makhluk rasional yang mampu bersaing serta memberikan laba/kontribusi besar bagi dunia. Mainstream inilah yang semakin lama semakin bergeser seiring dengan modernisasi dan globalisasi dunia, kaum wanita tidak hanya berpikir bahwa dirinya mampu untuk bersaing melawan kaum pria saya namun sudah mulai mengarah pada pemikiran untuk “mengalahkan” kaum pria.

Mereka sadar bahwa kondisi biologis tubuh dan kodrat wanita sangat berbeda dengan pria, untuk itu banyak dari kaum wanita yang mulai mengalami pergeseran kodrat. Pada dasarnya kaum wanita menyadari bahwa kodrat dan kondisi biologis tidak dapat diubah, namun mereka percaya bahwa kodrat dapat diminimalisir dengan cara menghindarinya. Pemikiran inilah yang pada akhirnya mendorong bergesernya imej berumah tangga pada wanita, Bukti konkret yang terjadi adalah semakin banyaknya wanita yang menggugat cerai dimana pada era sebelumnya hanya kaum pria yang berhak untuk memutuskan ikatan suatu pernikahan. Bukti kedua adalah ‘penyepelean’ makna pernikahan yang menimbulkan penolakan untuk menikah pada wanita sebagai bentuk penghambaan diri terhadap kapitalisme.

Pada dasarnya, di era yang serba modern seperti sekarang ini tentu bukan hal yang aneh lagi ketika kita melihat suatu fenomena emansipasi yg coba diterapkan oleh para kaum wanita modern perkotaan. Mereka ingin berkontribusi aktif dalam kancah per-kapitalisme-an seperti kaum pria pada umumnya, namun ada yang salah dengan cara yg mereka terapkan guna mencapai tujuan tersebut. Kodrat memang tidak bisa dihilangkan tetapi dapat diminimalisir, hal inilah yg dilakukan oleh sebagian kaum wanita modern dunia (tidak terkecuali Indonesia). filosofi inilah yg akhirnya berimplikasi menjadi sebuah fenomena "ga perlu cowok untuk masuk surga" yg menyebabkan banyak dari kaum wanita saat ini memilih utk hidup selibat a.k.a tidak menikah. menurut saya ini cara hidup seperti ini merupakan suatu langkah radikal yg ditempuh oleh sebagian kaum wanita modern perkotaan demi mendapatkan eksistensi dalam kancah produksi.

KETIKA membincang keseteraan gender, kebanyakan orang cenderung berkiblat ke Barat. Padahal di belahan Timur dunia, banyak fenomena kesetaraan gender yang luput dari perhatian kita. Bahkan kiblat itu tak jauh di depan mata, yaitu perempuan Jawa. Perempuan Jawa sering dianggap tak berdaya. Padahal, mereka memikiki peran yang tak terperikan dalam kepemimpinan….

Hal itu tak hanya dijumpai dalam realitas masyarakat modern saat ini, tetapi jauh sebelum Indonesia merdeka. Dalam tradisi budaya Jawa, perempuan sering disebut kanca wingking, yang mempunyai makna negatif sebagai ketidakberdayaan. Tetapi mereka juga tertulis dalam tinta emas sejarah, baik di zaman Majapahit maupun Mataram.

Anehnya, selama ini masyarakat masih memandang perempuan Jawa dengan wajah ketertindasan. Kaum feminis umumnya melihat kultur Jawa tidak memberi ruang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Apabila melihat relasi kuasa, perempuan melayu (dalam konteks ini Asia Tenggara) tak terkecuali Jawa, terlihat bahwa kekuasaan bisa lahir dari ketakberdayaan. Hal ini sesuai dengan teori kontradiktif yang dipopulerkan Foucault: sesuatu bisa lahir dari hal-hal kontradiktif.

Kuasa Wanita
Dalam buku Kuasa Wanita Jawa, karya Ardhian Novianto dan Christina Handayani berdasarkan hasil riset yang dilakukannya di Gunungkidul (DIY), perempuan Jawa tak perlu menjadi maskulin untuk mendapatkan kekuasaan, tetapi justru harus memanfaatkan watak feminisnya.

Kita bisa membuktikannya dengan melihat realitas terdekat, bahkan di rumah, dengan melihat sosok ibu yang merupakan repesentasi perempuan yang berperan nyata di area domestik sekaligus area publik. Banyak ibu yang berdagang di pasar atau membuka warung di rumah, yang menegaskan mereka telah berperan dalam kegiatan perekonomian, yang notabene berperan di area publik.Inilah yang dimaksud dengan diplomasi perempuan Jawa, yang mana perempuan dengan kekuatan akal, pikir, dan tenaganya dapat mencari solusi atas problem-problem yang ada.
Sebuah pekerjaan yang berat memang, mengingat perempuan masih memiliki tugas menjaga anak dan ''mengabdi'' kepada suami.

Sebagai seorang ibu, perempuan Jawa bukanlah sosok yang ambisius untuk mendapatkan kedudukan publik tertentu. Melainkan ia memosisikan diri sebagai support untuk keberhasilan suami. Mengedepankan rasa dan bukan emosi dalam menyelesaikan masalah juga merupakan kelebihan yang belum tentu bisa dilakukan lelaki. Ini sekaligus menegaskan, perempuan punya kecerdasan dan bisa mengelola persoalan dengan pikiran dan rasa tersebut. Melihat berbagai alasan atas, rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa perempuan Jawa adalah perempuan
yang mempunyai segenap kelebihan, dan karena itu harus dapat diapresiasi.
Bukankah demikian?

0 komentar:

Posting Komentar