Salah satu karya Spivak yang menempatkannya sebagai teoritikus berpengaruh dalam studi pascakolonial berjudul “Can the Subaltern Speak?” menjelaskan tentang pernyataan Spivak yang menyatakan bahwa terdapat suatu “kekerasan epistemis” yang menimpa subaltern India. Istilah ”subaltern” diadopsi dari pemikir Italia, Antonio Gramsci, yang menggunakan istilah itu bagi kelompok sosial subordinat, yakni kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subyek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Dalam uraiannya Gayatri menjelaskan, sejarawan India Ranajit Guha dari Kelompok Kajian Subaltern mengadopsi gagasan Gramsci untuk mendorong penulisan kembali sejarah India yang kemudian mendefinisikan subaltern sebagai ”mereka yang bukan elite”. Gagasan Guha menggeser dikotomi ”menindas-ditindas” karena penindasan juga dilakukan oleh orang-orang di dalam kelompok. Gayatri Spivak, dalam tulisannya tentang sati, mempertegas gagasan Guha, sekaligus memberi peringatan kepada intelektual pascakolonial tentang bahaya klaim mereka atas suara kelompok-kelompok subaltern. Dari Guha, Spivak belajar mengenai penulisan kembali sejarah India dengan perspektif subaltern. Tidak hanya itu, Spivak juga mengikuti cara berpikir Guha yang keluar dari mainstream pemikiran dikotomis wacana kolonialisme “yang menindas-yang ditindas”, dengan menyebut kelompok subaltern sebagai “mereka yang bukan elite”, karena penindasan itu bisa saja datang dari anggota kelompok yang sama. Karena kesadaran dan eksistensi orang-orang terjajah umumnya menjadi inferior di hadapan penjajah yang lebih dikesankan memiliki superioritas. Merasa inferior, maka orang-orang terjajah lebih banyak diam dan bisu. Itulah mengapa Spivak mengatakan “dapatkah subaltern berbicara?” di hadapan penjajah yang lebih sering memaksakan kehendaknya.
Makanya, tidak perlu heran meskipun kolonialisme (penaklukan) fisik itu telah usai, namun penjajahan pikiran , jiwa, dan budaya masih terus berlangsung. Penjajahan pikiran (colonising the mind) termasuk senjata utama kalangan penjajah untuk membuat bangsa terjajah tunduk dalam kekuasaan. Dan, penjajahan model ini tidak mudah untuk dilawan. Artinya, kolonialisme itu, dalam kaca-mata para pengkaji postcolonial, akan diusahakan untuk tetap langgeng. Orang-orang terjajah akan senantiasa dimarginalkan, diasingkan, dibaca, serta dikendalikan oleh kaum imperialis penjajah. Serta mental mereka terus dirusak dengan stigma negatif sebagai bangsa kalah, terbelakang, miskin, dan lain sebagainya. Mengedepan lokalitas berarti menghargai identitas orisinal suatu peradaban tanpa harus menganggap benci perkembangan-perkembangan peradaban dunia. Lokalisasi ini bisa dikatakan sebagai counter-discourse bagi orang-orang bekas jajahan.
Spivak sampai pada kesimpulan bahwa kelompok-kelompok subaltern atau mereka yang tertindas memang tidak bisa berbicara. Karena itu seorang intelektual tidak mungkin bisa mengklaim dan meromantisir kemampuan mereka untuk menggali dan mencari suara kelompok-kelompok subaltern. Klaim-klaim semacam ini justru bersifat kolonial, karena ia menyamaratakan/menggeneralisasikan (menghomogenkan) keberagaman kelompok-kelompok subaltern, dan pada akhirnya ia (intelektual) menjadi sebuah “kekerasan epistemologis” terhadap kelompok-kelompok subaltern. Relasi yang tercipta antara intelektual dengan kelompok-kelompok subaltern itu seperti relasi “tuan-hamba” (Graves, 1998). Suara kelompok-kelompok subaltern tidak akan bisa dicari, karena mereka memang tidak bisa berbicara, karena mereka memang tidak bersuara. Intelektual datang bukan buat mencari suara itu, melainkan harus hadir sebagai “wakil” kelompok subaltern. Mengutip Gramsci, menurut Spivak intelektual mesti disertai “pesimisme intelek dan optimisme kemauan”: skeptisisme filosofis dalam memulihkan keagenan kelompok-kelompok subaltern yang disertai sebuah komitmen politis untuk menunjukkan posisi mereka yang terpinggirkan.
0 komentar:
Posting Komentar