Jugun Ianfu adalah istilah Jepang terhadap perempuan penghibur tentara kekaisaran Jepang dimasa perang Asia Pasifik, istilah asing lainnya adalah Comfort Women. Pada kenyataannya Jugun Ianfu bukan merupakan perempuan penghibur tetapi perbudakan seksual yang brutal, terencana, serta dianggap masyarakat internasional sebagai kejahatan perang. Diperkirakan 200 sampai 400 ribu perempuan Asia berusia 13 hingga 25 tahun dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang.
Melakukan invansi ke negara lain yang mengakibatkan peperangan membuat kelelahan mental tentara Jepang. Kondisi ini mengakibatkan tentara Jepang melakukan pelampiasan seksual secara brutal dengan cara melakukan perkosaan masal yang mengakibatkan mewabahnya penyakit kelamin yang menjangkiti tentara Jepang. Hal ini tentunya melemahkan kekuatan angkatan perang kekaisaran Jepang. Situasi ini memunculkan gagasan untuk merekrut perempuan-perempuan lokal , menyeleksi kesehatan dan memasukan mereka ke dalam Ianjo-Ianjo sebagai rumah bordil militer Jepang.
Mereka direkrut dengan cara halus seperti dijanjikan sekolah gratis, pekerjaan sebagai pemain sandiwara, pekerja rumah tangga, pelayan rumah makan dan juga dengan cara kasar dengan menteror disertai tindak kekerasan, menculik bahkan memperkosa di depan keluarga.
Jugunianfu berasal dari Korea Selatan, Korea Utara, Cina, Filipina, Taiwan, Timor Leste, Malaysia, dan Indonesia. Sebagian kecil di antaranya dari Belanda dan Jepang sendiri. Mereka dibawa ke wilayah medan pertempuran untuk melayani kebutuhan seksual sipil dan militer Jepang baik di garis depan pertempuran maupun di wilayah garis belakang pertempuran.
Sebagian besar perempuan-perempuan yang berasal dari pulau Jawa yang dijadikan Jugun Ianfu seperti Mardiyem, Sumirah, Emah Kastimah, Sri Sukanti, hanyalah sebagian kecil Jugun Ianfu Indonesia yang bisa diidentifikasi. Masih banyak Jugun Ianfu Indonesia yang hidup maupun sudah meninggal dunia yang belum terlacak keberadaannya.
Mereka diperkosa dan disiksa secara kejam. Dipaksa melayani kebutuhan seksual tentara Jepang sebanyak 10 hingga 20 orang siang dan malam serta dibiarkan kelaparan. Kemudian di aborsi secara paksa apabila hamil. Banyak perempuan mati dalam Ianjo karena sakit, bunuh diri atau disiksa sampai mati.
Ianjo pertama di dunia dibangun di Shanghai, Cina tahun 1932. Pembangunan Ianjo di Cina dijadikan model untuk pembangunan Ianjo-Ianjo di seluruh kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia sejak pendudukan Jepang tahun 1942-1945 telah dibangun Ianjo diberbagai wilayah seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Jawa, Nusa Tenggara, Sumatra, Papua.
Setelah perang Asia Pasifik usai Jugun Ianfu yang masih hidup didera perasaan malu untuk pulang ke kampung halaman. Mereka memilih hidup ditempat lain dan mengunci masa lalu yang kelam dengan berdiam dan mengucilkan diri. Hidup dalam kemiskinan ekonomi dan disingkirkan masyarakat. Mengalami penderitaan fisik, menanggung rasa malu dan perasaan tak berharga hingga akhir hidupnya.
Kaisar Hirohito merupakan pemberi restu sistem Jugun Ianfu ini diterapkan di seluruh Asia Pasifik. Para pelaksana di lapangan adalah para petinggi militer yang memberi komando perang. Maka saat ini pihak yang harus bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan ini adalah pemerintah Jepang.
Pemerintah Jepang masa kini tidak mengakui keterlibatannya dalam praktek perbudakan seksual di masa perang Asia Pasifik. Pemerintah Jepang berdalih Jugun Ianfu dikelola dan dioperasikan oleh pihak swasta. Pemerintah Jepang menolak meminta maaf secara resmi kepada para Jugun Ianfu. Kendatipun demikian Juli 1995 Perdana Menteri Tomiichi Murayama pernah menyiratkan permintaan maaf secara pribadi, tetapi tidak mewakili negara Jepang. Tahun 1993 Yohei Kono mewakili sekretaris kabinet Jepang memberikan pernyataan empatinya kepada korban Jugun Ianfu. Namun pada Maret 2007 Perdana Menteri Shinzo Abe mengeluarkan pernyataan yang kontroversial dengan menyanggah keterlibatan militer Jepang dalam praktek sistem perbudakan seksual.
Pemerintah Indonesia menganggap masalah Jugun Ianfu sudah selesai, bahkan mempererat hubungan bilateral dan ekonomi dengan Jepang paska perang Asia Pasifik. Namun hingga kini banyak organisasi non pemerintah terus memperjuangkan nasib Jugun Ianfu dan terus melakukan melobi ke tingkat internasional untuk menekan pemerintah Jepang agar menyelesaikan kasus perbudakan seksual ini. Kemudian upaya penelitian masih terus dilakukan untuk memperjelas sejarah buram Jugun Ianfu Indonesia,berpacu dengan waktu karena para korban yang sudah lanjut usia.
Banyak masyarakat yang merendahkan, serta menyisihkan para korban dari pergaulan sosial. Kasus Jugun Ianfu dianggap sekedar “kecelakaan” perang dengan memakai istilah “ransum Jepang”. Mencap para korban sebagai pelacur komersial. Banyak juga pihak-pihak oportunis yang berkedok membela kepentingan Jugun Ianfu dan mengatasnamakan proyek kemanusiaan, namum mereka adalah calo yang mengkorupsi dana santunan yang seharusnya diterima langsung para korban.
Juli 1995 Asian Women’s Fund (AWF) didirikan oleh organisasi swasta Jepang. Organisasi ini dituduh sebagai “agen penyuap” untuk meredam protes masyarakat internasional dan tidak mewakili pemerintah Jepang secara resmi. Di masa pemerintahan Soeharto Tahun 1997 Menteri Sosial Inten Suweno menerima dana santunan bagi para korban sebesar 380 juta yen yang diangsur selama 10 tahun. Namun banyak para korban menyatakan tidak pernah menerima santunan tersebut.
Berikut adalah beberapa tuntutan dari para korban jugunianfu:
1. Pemerintah Jepang masa kini harus mengakui secara resmi dan meminta maaf bahwa perbudakan seksual dilakukan secara sengaja oleh negara Jepang selama perang Asia Pasifik 1931-1945.
2. Para korban diberi santunan sebagai korban perang untuk kehidupan yang sudah dihancurkan oleh militer Jepang.
3. Menuntut dimasukkannya sejarah gelap Jugun Ianfu ke dalam kurikulum sekolah di Jepang agar generasi muda Jepang mengetahui kebenaran sejarah Jepang.
Tahun 1992, untuk pertama kalinya Kim Hak Soon korban asal Korea Selatan membuka suara atas kekejaman militer Jepang terhadap dirinya ke publik. Setelah itu masalah Jugun Ianfu terbongkar dan satu persatu korban dari berbagai negara angkat suara. Kemudian tahun 2000 telah digelar Tribunal Tokyo yang menuntut pertanggung jawaban Kaisar Hirohito dan pihak militer Jepang atas praktek perbudakan seksual selama perang Asia Pasifik. Tahun 2001 final keputusan dikeluarkan di Tribunal The Haque. Setelah itu tekanan internasional terhadap pemerintah Jepang terus Dilakukan. Oktober 2007 kongres Amerika Serikat mengeluarkan resolusi tidak mengikat yang menekan pemerintah Jepang memenuhi tanggung jawab politik atas masalah ini . Meski demikian pemerintah Jepang sampai hari ini belum mengakui apa yang telah diperbuat terhadap ratusan ribu perempuan di Asia dan Belanda pada masa perang Asia Pasifik.
Kesaksian Mardiyem (eks Jugun Ianfu dgn julukan Momoye)
Tiada yang lebih menyakitkan dan merendahkan ketika pengalaman pribadi seseorang dinyatakan tidak benar dan bahkan diingkari. Namun itulah yang terjadi dengan para perempuan eks Jugun Ianfu, para perempuan yang dipaksa menjadi budak seks oleh militer Jepang pada masa Perang Dunia II.
Awal bulan Maret, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengatakan tidak ditemukan bukti-bukti terjadinya pemaksaan terhadap para perempuan untuk menjadi budak seks. Itu merupakan pernyataan yang menyakitkan dan sekaligus mengingkari pengalaman para perempuan itu. Bukan hanya itu saja, pernyataan tersebut juga mengingkari bukti-bukti sejarah yang ada.
Pernyataan Perdana Menteri Abe ini menyulut kemarahan di negara-negara seperti Cina, Korea, Filipina, dan juga Belanda yang sejumlah warganya dulu di Indonesia juga menjadi korban. Sejarawan menyatakan sekitar 200 ribu perempuan dari Korea, Cina, Filipina, Taiwan, dan Indonesia dipaksa menjadi budak seks untuk melayani tentara Dai Nippon pada waktu itu. Apabila Perdana Menteri Abe sekarang menyatakan tidak ada paksaan, berarti 200 ribuan perempuan itu semuanya berbohong berramai-ramai tentang pengalaman mereka?
Jugun Ianfu Indonesia
Di Indonesia sendiri terdapat sekitar 1500 perempuan eks jugun ianfu yang sebagian besar dari mereka sudah berusia lanjut bahkan telah meninggal dunia. Perjuangan yang mereka lakukan untuk menuntut keadilan serta pengakuan tidak saja melelahkan dan lama, tapi mereka juga nyaris berjuang sendirian karena sampai saat ini tidak nampak adanya dukungan dari pemerintah terlebih pengakuan terhadap mereka.
'Mungkin ini disebabkan isu ini sangat politis sekali karena berkaitan dengan pemerintah Jepang yang tidak dipungkiri lagi memberi bantuan dan hibah terbesar buat Indonesia. Jadi mungkin pemerintah takut apabila menyikapi isu ini maka bisa berdampak pada sisi policy Jepang sebagai negara pendonor terbesar bagi Indonesia'. Demikian tanggapan Estu Fanani dari LBH Apik, anggota Jaringan Advokasi Jugun Ianfu.
Kisah ' Momoye'
Salah satu eks Jugun Ianfu di Indonesia yang masih gigih berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan keadilan adalah Ibu Mardiyem. Tahun 1943, Mardiyem ketika itu masih seorang remaja berusia 13 tahun. Ia telah yatim piatu pada waktu itu. Ibunya meninggal ketika ia masih bayi dan ayahnya menyusul sepuluh tahun kemudian. Mardiyem kecil yang hobi menyanyi ini menyangka akan diajak masuk dalam kelompok sandiwara ketika tentara Jepang melakukan pendaftaran untuk anak-anak perempuan. Mardiyem kecil tidak merasa curiga ketika ia harus menjalani pemeriksaan kesehatan.
Mardiyem bersama 48 anak perempuan lainnya dibawa ke Kalimantan atau Borneo pada waktu itu. Seminggu sesampainya di Banjarmasin Mardiyem tidak dipekerjakan di kelompok sandiwara tapi dimasukkan ke hotel Tlawang yang sebenarnya adalah rumah bordil. Mardiyem ditempatkan di kamar nomor 11 dan iapun diberi nama baru, nama Jepang ‘Momoye'. Baru Mardiyem menyadari bahwa ia dan teman-temannya dijadikan apa yang disebutnya ‘orang nakal'.
Oleh karena itu Mardiyem sangat marah apabila dikatakan bahwa dirinya adalah pelacur sebelum dijadikan Jugun Ianfu itu. Mardiyem selanjutnya bertutur bahwa teman-temannya yang dimasukkan di hotel tersebut semuanya menangis. ‘Hati saya remuk. Saya ini dari keluarga baik-baik, lingkungan saya priyayi, kok bisa saya jadi orang nakal', begitu kata Mardiyem sambil menghela napas.
Dari kamar nomor 11 itulah, penderitaan demi penderitaan dialami oleh Mardiyem. Tendangan dan pukulan seringkali diterima dari para tamunya apabila ia berani menolak permintaan tamu Jepangnya. ‘Perlakuan seperti binatang, tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa', demikian Mardiyem. Bahkan perlakuan seperti ini masih saja berlangsung ketika ia telah hamil lima bulan dan ia sendiri tidak mengetahuinya. Ia harus menggugurkan kandungannya itu. ‘Perut saya ditekan, sakitnya bukan main dan ketika keluar ia masih menggeliat-geliat', demikian tutur Mardiyem sambil matanya menerawang ke langit-langit rumahnya di Yogyakarta. Akibatnya, kandungan Mardiyem rusak sehingga ia tidak bisa lagi menghasilkan keturunan.
Paksaan
Mungkin saja paksaan seperti yang dimaksudkan Perdana Menteri Abe itu berbentuk laras senjata yang diacungkan di depan kepala. Memang hal seperti itu tidak dialami oleh para korban yang pernah memberi kesaksian seperti Mardiyem dari Indonesia atau Zhu Qiaomei dari China. Namun ada perempuan-perempuan Jugun Ianfu dari negara-negara lain yang bersaksi tentang perkosaan beramai-ramai terhadap mereka sebelum dijadikan Jugun Ianfu seperti kesaksian Hwang Geun Joo dari Taiwan. Atau mereka diculik oleh tentara Jepang dan dipaksa menjadi Jugun Ianfu seperti Prescila Bartonico dan Maxima Reagala de La Cruz dari Filipina.
Paksaan dapat mengambil berbagai bentuk yang lebih halus seperti janji-janji akan diberi pekerjaan. Bukankah hal seperti inipun seringkali kita dengar saat ini? Perempuan-perempuan muda yang dijanjikan pekerjaan di luar negeri tapi kemudian dipaksa atau terpaksa masuk dalam pelacuran? Atau dalam situasi serupa tapi tak sama hubungan antara majikan dengan bawahan, penguasa dengan yang bawahan. Apakah dalam relasi yang tidak seimbang seperti ini pihak bawahan berani menentang perintah atasannya?
Sikap Jepang
Sesudah munculnya reaksi keras dari berbagai negara atas pernyataannya itu, maka Perdana Menteri Abe kembali mengeluarkan pernyataan untuk meredam kemarahan. Di depan komisi parlemen pekan ini, Abe mengatakan tetap berpegang pada pernyataan pemerintah tahun 1993 yang diucapkan oleh Kepala Sekretariat Kabinet Yohei Kono pada waktu itu. Pernyataan itu mengakui keterlibatan langsung tentara Jepang dalam mengadakan tempat-tempat penghibur dan memaksa para perempuan menjadi Jugun Ianfu. Sehubungan dengan itu Kono menyatakan maaf.
Perdana Menteri Abe menyatakan tetap berpegang pada pernyataanSikap Jepan Kono itu tapi menambahkan pula bahwa Jepang tidak akan minta maaf lagi mengenai masalah Jugun Ianfu ini. Tidak berselang lama penjabat Kepala Sekretaris Kabinet Hakubun Shimomura kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial. Ia menyatakan keyakinannya bahwa tentara Jepang tidak terlibat dalam memaksa para perempuan menjadi budak seks. Sebagian pendukung Abe yang konservatif berpandangan bahwa para Jugun Ianfu itu adalah pelacur yang dibayar untuk pelayanannya.
Sungguh sangat miris jika qt pahami dgn seksama kisah ttg Jugun Ianfu (atau sering d'sebut sbg Ransum Jepun oleh org2 dulu), mereka adalah wanita2 korban penipuan yg d'perkosa & d'paksa oleh pihak Jepang (yg saat tu m'jajah Indonesia) utk menjadi pemuas nafsu para tentara maupun pegawai sipil Jepang yg da d'Indonesia....Menurut buku yag gw baca (Derita Kaum Perempuan: Jerit Hati Jugun Ianfu) seorang Jugun Ianfu d'paksa utk melayani 15 org lelaki Jepang dlm sehari tanpa d'bayar!!!! Bisa kalian bayangkan betapa berat & tersiksa'a mereka,, saat mereka hamil mereka harus m'hadapi aborsi secara paksa tanpa obat bius yg m'buat rahim mereka rusak parah hingga ga bisa memiliki keturunan :(
Gw amat sangat m'hargai & salut ma p'juangan para Jugun Ianfu krn mereka jg turut b'juang dlm kemerdekaan Indonesia, memang tidak dgn cara b'perang atw yg lain'a tp dgn cara yg "agak" tidak lazim yaitu merayu para tentara Jepang utk menanggalkan senjata'a agar bisa d'curi oleh para pejuang Indonesia (HEBAT ga tu!!!!!) namun apa hadiah yg d'dapat dr masyarakat maupun pemerintah Indonesia????? HUJATAN!!! yaa hanya itu hadiah yg mereka terima atas semua p'deritaan & jerih payah mereka
Mereka d'anggap setara dgn PELACUR yg sengaja m'jual tubuh'a hanya demi uang, t'kadang gw ga abis pikir dgn pemikiran macam tu...pengen rasa'a gw datengin tu org2 yg m'hujat para Jugun Ianfu & coba m'analogikan dgn m'balik posisi c Jugun Ianfu ni dgn mereka ckckckckckck....Kisah para Jugun Ianfu inilah yg m'jadi salah satu p'dorong gw interest dgn matkul Gender, bukan menuntut kesataraan posisi tp gw hanya ingin m'bela & "membersihkan" nama mereka d'mata masyarakat Indonesia (hahhhh...mudah2an t'realisasi keinginan gw ni aminnn :D)
yahhh...tp mw d'kata apa lagi? nasi ud mjdi bubur, kisah kelam tu kini hanya mjdi sejarah yg mungkin tdk banyak org mengetahui atw bahkan tdk t'tarik utk mengetahui'a Wallahualam...kini Bu Mardiyem (satu2'a eks Jugun Ianfu Indonesia yg masih hidup) telah b'pulang k'Rahmatullah taun 2008, gw hanya bs b'doa semoga arwah beliau & segenap para eks Jugun Ianfu dr b'bagai belahan dunia lainnya bs d'terima disisiNya & menemukan kebahagiaan yg telah t'renggut selama mereka hidup aminnn....
http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/jugun-ianfu-kesaksian-mardiyem