Pada persoalan keistimewaan Yogyakarta ini, pada hakekatnya juga terkait dengan peran Negara dalam penegakan demokrasi dan adanya hubungan dengan keberadaan masyarakat sipil di Indonesia.. Bahkan jika dikaji berdasarkan pemikiran Weber, maka kekuasaan negara dan keberadaan Sultan sebagai kepala daerah ini yang menjadi persoalan utama dalam konteks sosial dan historisnya, dengan memperhatikan tipologi dari suatu kewenangan, yaitu otoritas tradisional, otoritas kharismatik, dan otoritas legal rasional (konsep ideal type). Dengan demikian, persoalan keistimewaan Yogyakarta serta keputusan Sultan sebagai gubernur /kepala daerah yang dipertentangkan antara dipilih atau melalui penetapan (‘yang dianggap tidak demokratis’) perlu dijembatani melalui konsensus. Melalui konsensus masyarakat diberi kewenangan untuk menentukan proses penetapan jabatan gubernur/kepala daerah sesuai tradisi yang sudah ada. Dengan konsensus setidaknya dapat membuka ruang terhadap pengambilan keputusan tentang mekanisme jabatan gubernur tanpa pemilihan namun masih dalam ruang lingkup demokrasi, karena pemaksaan untuk dilakukannya pemilihan justru dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik yang lebih besar atau bahkan sebaliknya dapat mencederai nilai demokrasi yang sesungguhnya, terutama jika terjadi unsur “KKN” maupun “money politics”.
Dari persoalan ini meski terkesan terjadi konflik interaksional dan vertikal, namun sesungguhnya diharapkan dapat menerobos dikotomi antara sejarah dan demokrasi, antara pemerintah dengan masyarakatnya. Pemerintah mencoba untuk mengatur kebijakan mengenai tampuk kepemimpinan provinsi Yogyakarta dengan menegakkan asas demokrasi (melakukan Pemilu sebagai bentuk kepemimpinan legal-rasional). Namun proses tersebut harus bersifat tidak membelenggu, bahkan menekan kelompok masyarakat yang lain. Harus bersifat melindungi, memberdayakan dan membebaskan kesadaransosial tanpa menghilangkan prinsip hukum untuk keadilan, karena cara yang digunakan oleh pemerintah pusat dalam mengatasi masalah ini hanya berupa rapat internal dengan para anggota dewan tanpa melibatkan masyarakat Yogyakarta itu sendiri. Dengan mengikutsertakan masyarakat ke dalam diskusi yang memungkinkan adanya komunikasi rutin, diharapkan penyelesaian konflik antara pemerintah pusat dengan masyarakat Yogyakarta dapat menghasilkan solusi yang baik untuk RI maupun Yogyakarta. Kebijaksanaan masyarakat, sebagai sebuah modal sosial pembangunan hendaknya tidak lagi dimanfaatkan sebagai sarana memperoleh keuntungan sepihak dan mengalahkan nilai-nilai positif social capital.