Semua ini dimulai ketika pemberitaan mengenai kasus pemerkosaan di dalam angkutan umum mulai marak diperbincangkan, nurani saya seolah tergelitik untuk mulai merenungi permasalahan ini...
Saya terlahir sebagai salah satu spesies (agak frontal jika saya gunakan istilah ini tp entah knp istilah ini lah yg langsung terbersit di benak) dari makhluk yg dikonstruksikan sebagai makhluk yg paling lemah, lembut, sensitif, berpatokan pada perasaan, tidak rasional, dsb. Makhluk itu lazim disebut PEREMPUAN. Saya juga tidak mengerti & tidak pernah merasa memilih mengapa saya dilahirkan sebagai perempuan, walaupun begitu saya tidak pernah sekalipun menyesal terlahir dengan sosok seperti ini karena saya menyadari bahwa perempuan diciptakan dengan segala kelebihan dan keindahannya.
Sedari kecil saya sudah dididik dalam balutan tata krama Jawa yg cukup kental dimana kesopanan, kepatuhan, kemurnian menjadi hal utama yg harus saya jaga sampai saya menghadap Sang Pencipta nanti. Saya bukan kerurunan langsung 'darah biru', jikapun ada itu sangat sedikit namun peraturan yg diterapkan dalam keluarga terhadap kami (para anak, khususnya saya sebagai seorang perempuan) agak sedikit menyamai Keraton. Saya tidak diperbolehkan makan cepat, tidak boleh jalan cepat, tidak dibiasakan membangkang, tidak boleh bersuara keras bahkan sewaktu saya kecil saya tidak pernah dibelikkan celana (baik pendek maupun panjang) karena menurut adat keluarga saya pakaian perempuan adalah rok atau daster. Kalem, nrimo, lembut adalah sifat yg harus dimiliki oleh seorang perempuan (agak berbanding terbalik dgn saya hahaha)
Dalam pergaulan pun juga diatur. Filosofi yg dianut oleh eyang-ayah-ibu saya adalah laki-laki bergaul dengan laki-laki sedangkan perempuan bergaul dengan perempuan. Tidak ada sejarahnya laki-laki berteman dengan perempuan karena hal tersebut pastinya akan meninggalkan efek negatif. Saya mengerti bahwa dibalik semua peraturan adat yg diterapkan tsb adalah hal-hal baik yang memiliki tujuan baik bagi hidup saya nantinya, saya mengerti itu makanya saya tidak pernah dan tidak mau melanggar...
Beranjak dewasa, rupanya orang tua menyadari bahwa tidak akan mungkin jika saya tidak bergaul (baca: berteman) dengan laki-laki sehingga mereka memaklumi apabila saya membuat kelompok belajar (hanya sekedar kelompok belajar) dengan beranggotakan beberapa orang laki-laki. Namun tetap saja saya tidak diijinkan membawa teman lelaki saya (apalagi pacar) untuk bertandang ke rumah (dan saya pun kurang menyukai itu, saya tidak suka apabila waktu santai saya diganggu oleh kedatangan teman laki2 hahaha). Saya pun juga (dan masih sampai sekarang) diberlakukan jam malam dalam beraktivitas. Sedari kecil saya terbiasa diantar-jemput oleh ayah kalau sekolah (walaupun ayah hanya seorang pegawai negeri yg tidak memiliki posisi penting namun ayah akan melakukan apapun untuk mem-protect anak perempuannya dengan nyaman :D), sadar akan kesibukan ayah maka ketika kls 4 SD, ibu mulai menggunakan jasa jemputan sekolah untuk mengantar saya ke sekolah. Namun tetap harus ada pengawasan dari salah seorang anggota keluarga, maka dari itu saya diikutkan jemputan SMP agar dapat 'bareng' dengan abang saya yang saat itu duduk di bangku SMP di sekolah yang sama dengan saya. Supir jemputan pun terus dipantau oleh ibu dari rumah agar jangan terlambat memulangkan saya (ibu pernah histeris ketika mobil jemputan yg saya naiki tiba2 mogok sampai malam dan supir jemputan lupa memberitahu orang tua saya, ibu sampai mengancam akan melapor polisi jika abang jemputan tidak segera memulangkan saya hahahaha).
Pernah terbersit rasa iri ketika abang saya (yg notabene laki2) tidak diberlakukan jam malam dan dibebaskan utk main di luar rumah sedangkan saya tidak (dari kecil saya tidak pernah diperbolehkan main di luar rumah, hanya teman yg boleh main ke rumah saya..mungkin akibat ini saya sempat menjadi pribadi yg 'kuper' bahkan sampai sekarang hehehe). Sempat pula saya bertanya kepada Tuhan "mengapa saya terlahir sebagai perempuan bukan laki2?" tapi 'penyesalan' itu tidak lama karena seiring berjalannya waktu saya mulai terbiasa dgn ritme kehidupan tersebut (bahkan menikmatinya :D). Beruntung saya memiliki orang tua yang walaupun terbilang agak kolot namun sangat liberal dalam hal pendidikan (saya sangat berterima kasih akan hal itu)
Ada beberapa kesamaan antara saya dengan Kartini. Kami sama2 terlahir sebagai perempuan, sama2 diikat oleh tradisi Jawa & sama2 merasa bahwa dunia ini bersifat seksis (berjenis kelamin).
Saya mulai tertarik untuk merenungi ketidakadilan yg dialami perempuan semenjak saya berjibaku dengan ilmu bernama Sosiologi. Yah mungkin juga karena faktor 'pengalaman pribadi' yg berkolaborasi dengan ilmu sosiologi (khususnya sosiologi gender) akhirnya sense saya pun tercerahkan. Saya tidak pernah menyalahkan atau berniat untuk menggulingkan eksistensi laki2. Sama sekali TIDAK. Saya hanya kecewa dengan segala sesuatu baik hukum, kebijakan, peraturan, nilai & norma yang sangat bias gender. Konstruksi yang mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk kelas 2 sangat berdampak pada kehidupan kaum perempuan dari dulu (jaman kegelapan) sampai sekarang (jaman reformasi modern). Anggapan 'perempuan racun dunia' dilegitimasi sedemikian rupa hingga memproduksi pengetahuan patriarki yang menghegemoni perempuan itu sendiri, hingga ketidakadilan gender pun dianggap sebagai sesuatu yang normal, yang alamiah.
Kekerasan terhadap perempuan -baik psikis maupun fisik- semakin merajalela dan bertransformasi menjadi bentuk yang sangat halus sekalipun. Dan lucunya (yang membuat saya tertawa terbahak-bahak) penyebab terjadinya violence against women (VAW) ditimpakan pada PEREMPUAN. Lucu kan? tidak hanya sebagai korban tapi juga penyebab sekaligus!. Banyak kasus VAW yg telah saya baca yang pada akhirnya justru mengirim si korban (perempuan) ke balik jeruji besi (Masya Allah), bahkan ketika kasus perkosaan yang amat sangat menyakitkan pun tetap dianggap sebagai 'hal yg tidak penting' karena itu terjadi akibat kelalaian perempuan!! lalu dimana keamanan untuk kami????
Tidak hanya sampai disitu, hak-hak kaum perempuan untuk mendapatkan akses ke berbagai bidang (seperti pendidikan, pekerjaan, dll) turut disunat sebagai bentuk kepatuhan pada laki-laki. Ketika banyak perempuan yang semakin tercerahkan membentuk kelompok dan menyusun ilmu yang bertujuan untuk meminta kesetaraan hak dgn laki-laki (lazim disebut sebagai feminis) semua itu pada akhirnya pun hanya menjadi 'bumerang' bagi diri kami sendiri. Kami dianggap subyektif, pembangkang, tidak rasional bahkan ada juga yg mengatakan kami sebagai pendosa karena berusaha merubah kodrat. Perlu saya tegaskan bahwa ketidakadilan yang terjadi pada perempuan bukanlah kodrat melainkan konstruksi masyarakat. Kodrat perempuan adalah menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.
Kami dituntut utk dapat memaklumi segala ketidakadilan tersebut sebagai rahmat yg akan berhadiah surga nantinya. Pertanyaan saya: apakah Quran mengajarkan untuk menyiksa perempuan? TIDAK. Saya sangat meyakini bahwa Tuhan menganggap semua makhluk sama derajatnya (yg membedakan hanyalah amal perbuatan), tidak ada satu agama pun yg mengajarkan ketidakadilan terhadap perempuan.
Hahahaha..Inilah hebatnya manusia, semua bisa dimanipulasi bahkan Firman Tuhan pun dapat diputarbalikkan.
Entah kapan datangnya jaman dimana ketidakadilan (baik gender, kesejahteraan) dalam hidup manusia ditiadakan..Wallahualam