PEMIKIRAN MICHEL FOUCOULT
Bagi Michel Foucault tubuh selalu berarti tubuh yang patuh. Sumbangan utamanya bagi studi tubuh adalah analisisnya tentang kekuasaan yang bekerja dalam tubuh. Analisis utamanya adalah adanya kekuatan mekanis dalam semua sektor masyarakat. Tubuh, waktu, kegiatan, tingkah laku, seksualitas; semua sektor dan arena dari kehidupan sosial telah dimekanisasikan. Ia mengatakan: jiwa (psyche, kesadaran, subyektivitas, personalitas) adalah efek dan instrumen dari anatomi politik; jiwa adalah penjara bagi tubuh; tapi pada akhirnya tubuh adalah instrumen negara. Semua kegiatan fisik adalah ideologis: bagaimana seorang tentara berdiri, gerak tubuh anak sekolah, bahkan model hubungan seksual. Foucault membuat 3 kategori analisis: 1) Force relations: kekuasaan dalam formasinya yang lokal dan global dalam hukum, negara dan ideologi. 2) The body: anatomi dan perwujudan kekuasaan dalam tingkah laku. 3) The social body: perwujudan kolektif target kekuasaan, tubuh sebagai "spesies".
Politik tubuh (bio-politics) dijalankan untuk mempertahankan bio-power. Bio-power dipertahankan dengan 2 metode: pendisiplinan dan kontrol regulatif. Dalam pendisiplinan tubuh dianggap sebagai mesin yang harus dioptimalkan kapabilitasnya, dibuat berguna dan patuh. Kontrol regulatif meliputi politik populasi, kelahiran dan kematian, dan tingkat kesehatan. Bio-power bertujuan untuk kesehatan, kesejahteraan, dan produktiitas. Dan ia didukung dengan normalisasi (penciptaan kategori normal - tidak normal, praktek kekuasaan dalam pengetahuan) oleh wacana ilmu pengetahuan modern, terutama kedokteran, psikiatri, psikologi, dan kriminologi. Banyak karya Foucault yang sangat fenomenal bagi studi tubuh: Madness and Civilization (1961), The Birth of the Clinic (1973), Discipline and Punish (1975), dan The History of Sexuality (1978), The Use of Pleasure (1985), dan The Care of The Self (1986). Mengkontekstualisasikan pemikiran Foucault tentang kekuasaan dan seksualitas di Indonesia, diharapkan dapat menyingkap lapisan terdalam yang ada dalam nilai-nilai budaya dan menggali makna baru dari tubuh dan kondisi kesehatan perempuan. Gagasan Foucault tentang femininitas, maskulinitas dan seksualitas sebagai akibat praktik disiplin dan diskursif, efek diskursus atau buah relasi pengetahuan ? kuasa. Bagi Foucault, seksualitas adalah produk relasi kuasa melalui hubungan kompleks dan interaksi praktik disiplin-diskursif, yang membentang dari confession, pedagogisasi seksualitas anak, hingga medikalisasi dan psikiatrisasi seksualitas (Sutrisno, 2007: 159-160).
Dalam buku yang berjudul Sejarah Seksualitas, Foucault menjelaskan relasi antara tubuh dan diskursus tentang seks, yang mengandung berbagai tabu dan larangan. Wacana tentang seksualitas manusia tertera pada dua tataran pengetahuan yang sangat berbeda: pertama, semacam biologi reproduksi, yang berkembang terus-menerus menurut norma-norma umum keilmuan, dan kedua, semacam ilmu kedokteran seks yang dibentuk berdasarkan kaidah-kaidah yang sama sekali berbeda. Di antara biologi reproduksi di satu pihak dan ilmu kedokteran seks di pihak lain, tak ada tanda pertukaran informasi satu pun; sama sekali tak ada strukturisasi timbal balik; biologi reproduksi hanya memainkan peran penjamin dari jauh, dan secara fiktif, kebenaran-kebenaran yang diungkap oleh kedokteran seks; suatu jaminan umum yang di bawah naungannya berbagai hambatan moral, pilihan ekonomi atau politis, dan berbagai ketakutan tradisional, dapat diterakan kembali dalam suatu kosakata yang berwarna ilmiah.
Foucault juga menjelaskan bagaimana sistem paksaan besar dan tradisional untuk memperoleh pengakuan seksual dapat dibangun dalam bentuk-bentuk yang ilmiah:
1.Dengan jalan membakukan sebagai ilmu klinis prosedur ?menyuruh bicara?: mengkombinasikan pengakuan dan pemeriksaan;
2.Dengan postulat suatu kausalitas umum dan ke segala arah: pada abad ke-19 hampir tidak ada penyakit atau gangguan fisik yang tidak dikaitkan dengan (paling tidak) etiologi seksual;
3.Dengan asas mengganggap seksualitas sebagai sesuatu yang secara hakiki bersifat laten: dengan mengintegrasikan seks dalam suatu rencana wacana ilmiah, abad ke-19 telah menggeser pengakuan. Asas seksualitas yang pada dasarnya laten memungkinkan untuk memberi landasan ilmiah bagi tekanan pengakuan yang memang sulit dilakukan;
4.Dengan metode interpretasi:dengan membuat pengakuan bukan lagi sebagai bukti melainkan sebagai tanda, dan dengan membuat seksualitas sebagai sesuatu yang harus ditafsirkan, telah dibuka kemungkinan untuk memfungsikan berbagai prosedur pengakuan dalam bentuk yang beraturan seperti lasimnya wacana keilmuan;
5.Melalui medikalisasi berbagai dampak pengakuan: perolehan pengakuan dan berbagai dampaknya dikodifikasikan kembali dalam bentuk berbagai kegiatan penyembuhan. Di situ seksualitas ditetapkan sebagai ?kodrat?: suatu bidang yang tertembus oleh berbagai proses patologis, dan karena itu menghendaki berbagai intervensi penyembuhan atan normalisasi; suatu wilayah pemaknaan yang harus dipilah; suatu tempat berbagai proses disembunyikan oleh berbagai mekanisme khas; rumah bagi hubungan kausalitas tak terhingga, suatu wacana kelam yang sekaligus harus ditangkap dan didengarkan.
Salah satu point penting dalam buku tersebut adalah bahwa seksualitas lebih merupakan produk positif kekuasaan daripada kekuasaan yang menindas seksualitas. Foucault mengatakan bahwa kita sebenarnya baru memiliki gagasan seksualitas sejak abad ke-18 dan seks sejak abad ke-19. Apa yang kita miliki sebelumnya adalah, tidak diragukan lagi, hanyalah daging. Karya Foucault memperlihatkan bagaimana pada abad ke-19 proses pelatihan dan regulasi tubuh manusia terjadi di lingkup lokasi institusional spesifik yang luas: di pabrik, penjara dan sekolah. Keseluruhan hasil praktik pendisiplinan ini adalah tubuh yang berguna dan jinak, produktif dan patuh. Dan kemudian, pada awal abad ke-20, wacana seks mulai menjadi kajian keilmuan. Contoh utama wacana seksualitas modern yang diajukan Foucault, pengakuan ilmiah baru, adalah psikoanalisis. Ia mengatakan dengan mengasumsikan insting seksual Freud membuka wilayah baru dominasi ilmu atas seksualitas. Pemikiran tentang seksualitas dan kekuasaan merupakan kontribusi utama Foucault atas ilmu-ilmu sosial, di mana terdapat deskripsi mengenai pengaturan politik tubuh dalam, melalui, dan atas tubuh fisik. Kekuasaan berakar di dalam kekuasaan atas tubuh (biopower) dan di dalam setiap aktivitas kecil mikrokopik tubuh (mikrofisika, istilah yang diberikan Foucault) dalam setiap institusi politik tubuh (dalam Anthony Synnott, 2007: 369-374).
Konstruksi politis dan filosofis mengenai tubuh tumbuh bersamaan dengan berbagai konstruksi ilmiah. Perkembangan mutakhir dalam ilmu kedokteran mendorong konstruksi atas tubuh menjadi mekanistik dan materialistik. Bedah plastik dan pencangkokan merupakan salah satu perkembangan paling cepat dalam kedokteran di Amerika Serikat, lebih dari dua juta operasi dilakukan setiap tahunnya.dengan kata lain, tubuh bukan lagi ?pemberian? (secara tradisional hadiah dari Tuhan); ia bersifat plastis, dapat dibentuk dan dipilih berdasarkan kebutuhan atau tingkah lakunya. Meski makna tubuh diperdebatkan selama berabad-abad, tetap saja tidak ada tanda-tanda kesepakatan universal. Setiap abad terlihat menciptakan dan merekonstruksi tubuh menurut gambaran dan pendapatnya sendiri; karenanya sekarang terdapat banyak paradigma mengenai tubuh; yang saling bersaing, melengkapi, atau bertentangan. Tak diragukan lagi, redefinisi kebertubuhan akan terus berlanjut dalam abad dua puluh satu (Anthony Synnott, 2007:51-57). Dalam Sejarah Seksualitas-nya Foucault juga menjelaskan tentang ?ledakan besar? wacana-wacana seksualitas, misalnya di dunia medis, psikiatris dan teori pendidikan. Tesis dasar buku ini adalah bahwa seksualitas bukanlah realitas alamiah melainkan produk sistem wacana dan praktik yang membentuk bagian-bagian pengawasan dan kontrol individu yang semakin intensif. Foucault mengatakan bahwa pembebasan itu pada kenyataannya merupakan bentuk perbudakan, karena seksualitas yang tampak ?alamiah? itu sebenarnya merupakan produk dari kekuasaan. Tujuan utama Foucault adalah mengkritik cara masyarakat modern mengontrol dan mendisiplinkan anggota-anggotanya dengan mendukung klaim dan praktik pengetahuan ilmu manusia: kedokteran, psikiatri, psikologi, kriminologi dan sosiologi. Ilmu manusia telah menetapkan norma-norma tertentu dan noram tersebut direproduksi serta dilegitimasi secara terus-menerus melalui praktik para guru, pekerja sosial, dokter, hakim, polisi dan petugas administrasi. Ilmu manusia menempatkan manusia menjadi subyek studi dan subyek negara. Terjadi ekspansi sistem administrasi dan kontrol sosial yang dirasionalkan secara terus-menerus (Sarup, 1993: 108-110).
Pemikiran Foucault tentang seksualitas dan kekuasaan menjadi pemikiran penting untuk menganalisis kondisi ketimpangan serta relasi kuasa yang tidak seimbang dalam masyarakat. Termasuk juga tentang seksualitas dan kesehatan kaum perempuan. Sebagaimana tertulis dalam buku tentang Sejarah Seksualitas, Foucault mendiskusikan cara-cara perempuan dan kaum homoseksual melakukan perlawanan atas penolakan yang mereka terima dari masyarakat (Agger, 2007: 351). Pemikiran Foucault dapat digunakan untuk melakukan analisis kritis trerhadap tubuh, seksualitas dan kesehatan perempuan. Karena kaum perempuan telah mengalami proses internalisasi tentang definisi tubuh perempuan yang mengarah kepada ?denigration of the female body?, yang membuat perempuan takut, malu atau merasa jijik terhadap bagian-bagian tertentu dari tubuhnya dalam proses yang sebenarnya sangat alamiah seperti menstruasi, melahirkan dan menopause, dan menempatkan sebagai bagian dari kondisi kesehatan yang membutuhkan treatment medis. Tidak mengherankan apabila sebagian besar dari kita termasuk praktisi kesehatan mempercayai, dan bahkan mengesahkan proses medikalisasi terhadap tubuh perempuan, bahkan sejak sebelum lahir (Northrup, 2002: 11).
Dalam pemikiran filsafat kontemporer, seks dan seksualitas manusia adalah konstruksi sosial/kultural dari masyarakat yang bersangkutan, sebab kedua hal tersebut baru mendapat maknanya yang dibentuk oleh jaringan-jaringan sosial dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, Foucault membangun konsep pemikiran mengenai pembentukan seksualitas dalam jaringan-jaringan kekuasaan. Foucault menolak pewacanaan seks dalam seksualitas yang merumuskan kedua hal tersebut dalam pengertian-pengertian yang negatif maupun destruktif. Sebagai konstruksi sosial, seksualitas mempunyai pluralitas makna yang menandakan bahwa adanya berbagai seksualitas dengan kebenarannya masing-masing. Makna-makna ini akan selalu berubah, bersifat cair, seiring dengan perubahan yang terjadi dalam nilai-nilai masyarakat (dalam Syarifah, 2006).
PEMIKIRAN LEVI STRAUSS
Levi Strauss berargumen bahwa struktur kehidupan sosial itu merupakan entitas yang tidak tergantung (independen) yang membatasi perilaku dan keyakinan pelaku. Yang menjauhkan Levi Strauss dari Durkheim adalah definisinya tentang hambatan structural (structural constraints) itu. baginya, cirri-ciri yang mendefinisikan eksistensi manusia adalah: (1) bahasa; (2) fakta bahwa yang melandasi struktur semua bahasa itu sama. Menurutnya, bahasa berasal dalam dimensi tak sadar pikiran manusia. Karena semua pikiran manusia bekerja dalam cara yang sama, apapun perbedaan bahasa yang Nampak, semua pada dasarnya diorganisasi atas prinsip-prinsip yang sama. Selanjutnya, kebudayaan juga ciptaan dari proses pikiran tidak disadari yang sama; sehingga cirri-ciri structural dari organisasi sosial bukan merupakan cerminan dari bahasa tersebut. Sebagai akibatnya, pikiran manusia menstrukturkan dunia bahasa dan perilaku (organisasi sosial) dengan cara yang sama. Dengan kata lain, Strauss tertarik pada bentuk bahasa dan kebudayaan, bukan isinya. Kebudayaan, seperti bahasa adalah sistem tanda-tanda dan symbol-simbol yang pengorganisasiannya mencerminkan tingkah pola pikiran manusia.
Jika demikian, maka tidak ada dalam kehidupan sosial kreasi inovatif pikiran manusia yang disadari maupun imajinatif; manusia bukanlah penulis kisah hidupnya sendiri, karena semua sudah dituliskan untuknya, dalam bahasa dan dalam kebudayaan. Pandangan ini tidak beda jauh dari pendapat Weber, Goffman, Schutz dan Garfinkel. Inovasi utama Strauss adalah rekonseptualisasi berbagai fenomena sosial sebagai sistem komunikasi, sehingga membuatnya mungkin dianalisis secara struktural. Kita adapt mengilustrasikan pemikiran Strauss (1967) dengan contoh berupa kemiripan antara sistem linguistik dengan sistem kekerabatan. (1) istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan kekerabatan, seperti fonem dalam bahasa, adalah unit analisis dasar bagi antropolog struktural; (2) istilah kekerabatan ataupun fonem tidak memiliki makna di dalam dirinya; (3) Strauss mengakui bahwa terdapat variasi empiris dari satu setting ke setting yang lain dalam sistem fonemik dan sistem kekerabatan namun variasi-variasi ini dapat ditelusuri pada beroperasinya hukum umum namun implisit. Ia berargumen bahwa sistem fonemik dan sistem kekerabatan merupakan produk dari struktur pikiran.
PEMIKIRAN JACQUES DERRIDA
Derrida mereduksi bahasa menjadi “tulisan” yang tidak mengekang subjek. Derrida juga melihat iinstitusi sosial hanya sebagai tulisan dan dengan demikian tidak mampu mengekang orang. Dalam bahasa kontemporer, Derrida mendekonstruksi bahasa dan institusi sosial (Trifonas, 1996) dan ketika dekonstruksi ini telah dilakukan yang akan ditemukan disana adalah tulisan. Derrida mellihat bahasa sebagai sesuatu yang tidak teratur dan tidak stabil. Konteks yang berbeda memberikan makna berbeda pada makna. Akibatnya, sistem bahasa tidak mungkin memiliki kekuatan untuk mengekang orang seperti pandangan kalangan strukturalis. Seperti akan kita ketahui, subversi dan dekonstruksi menjadi semakin penting seiring dengan munculnya postmodernisme dan poststrukturalisme inilah yang menjadi dasar bagi postmodernisme.
Objek kebencian Derrida adalah logosentrisme (pencarian sistem pemikiran universal yang mengungkapkan apa yang benar, tepat, cantik, dll) yang telah mendominasi pemikiran sosial barat. Logosentrisme tidak hanya menutupi filsafat, namun juga ilmu-ilmu humaniora. Derrida tertarik untuk mendekonstruksi atau “menelanjangi” sumber-sumber ketertutupan ini dan selanjutnya membebaskan tulisan dari hal-hal yang memperbudaknya. Frase yang lebih tepat untuk menggambarkan focus Derrida adalah “dekonstruksi logosentrisme” (1978: 230). Contoh yang paling tepat bagi pemikiran Derrida adalah diskusinya tentang theatre of cruelty. Ia membandingkan konsep ini dengan teater tradisional yang dipandangnya telah didominasi oleh sistem pemikiran yang ia sebut logika representasional. Jadi, yang terjadi di atas panggung “mewakili” yang terjadi di dunia nyata, maupun harapan penulis, sutradara, dll. Hal ini menjadikan teater tradisional bersifat teologis. Teater teologis adalah teater yang dikontrol dan diperbudak.
Derrida merancang panggung alternatif yang di dalamnya tidak lagi diatur oleh pengarang dan teks, namun tidak berarti bahwa panggung akan berubah anarkis. Jelas bahwa Derrida menyerukan dekonstruksi radikal teater tradisional, ia mengemukakan kritik atas mmasyarakat pada umumnya yang berada di bawah dominasi logosentrisme. Ia ingin melihat masyarakat dibebaskan dari semua otoritas intelektual yang telah menciptakan diskursus dominan. Yang lahir disini adalah pokok perhatian terkenal lain dari poststrukturalis: desentrasi. Derrida menyimpulkan bahwa masa depan tidak perlu ditunggu dan tidak dapat dibangun ulang (1978: 300). Poinnya adalah kita tidak akan menemukan masa depan di masa lalu, kita tidak boleh secara pasif menunggu nasib kita. Namun, masa depan harus ditemukan, diciptakan, ditulis dalam hal-hal yang tengah kita lakukan.
PEMIKIRAN FREDERIC JAMESON
Argument yang paling dikenal luas dikemukakan oleh Frederic Jameson (1984) dalam esai yang berjudul “Postmodernism, or The Cultural Logic of Late Capitalism” maupun dalam buku berisi kumpulan esai dengan judul sama (Jameson, 1991). Judul ini jelas menunjukkan pandangan Marxian Jameson bahwa kapitalisme tetap menjadi cirri dominan dunia masa kini namun telah menumbuhkan logika cultural baru –postmodernisme. Dengan kata lain, sekalipun logika kulturalnya berubah namun struktur ekonomi yang mendasarinya masih mereproduksi bentuk-bentuk kapitalisme sebelumnya. Selaras dengan karya Marx, Jameson (1984: 86) melihat karakteristik positif dan negatif yang dikaitkan dengan masyarakat postmodern. Jameson mengawali pembahasannya dengan mengakui bahwa biasanya postmodernisme dikaitakan dengan keterputusan radikal. Kendati memang ada perubahan-perubahan estetis, perubahan-perubahan tersebut tetap menjadi fuungsi dari dinamika ekonomi yang mendasarinya.
Jameson melihat 3 tahap dalam sejarah kapitalisme: (1) kapitalisme pasar atau munculnya pasar nasional tunggal; (2) tahap imperialis dengan lahirnya jaringan kapitalis global; (3) “kapitalisme akhir” yang meliputi “ekspansi besar-besaran modal ke wilayah-wilayah yang sejauh ini belum terkomodifikasikan” (Jameson, 1984: 78). Bagi Jameson, kunci dari kapitalisme modern adalah karakter multinasionalnya dan fakta bahwa hal ini semakin meningkatkan cakupan komodifikasi. Jameson mengasosiasikan kebudayaan realis dengan kapitalisme pasar, kebudayaan modernis dengan kapitalisme monopoli dan kebudayaan postmodern dengan kapitalisme multinasional. Kapitalisme telah melalui tahap dari kapitalisme monopoli yang dimana kebudayaan sampai pada batas-batas tertentu bebas dari ledakan budaya dalam kapitalisme multinasional. Jameson menggambarkan bentuk baru ini sebagai “budaya dominan”, dengan menggunakan istilah budaya dominan, Jameson pun jelas bermaksud mengatakan bahwa kendati kebudayaan postmodern mengontrol, ada berbagai kekuatan lain yang ada di anatara kebudayaan masa kini.
Frederic Jameson memberikan deskripsi yang relatif jelas tentang masyarakat postmodern yang terdiri dari 4 elemen dasar. (1) masyarakat postmodern dicirikan dengan superfisialitas dan tiadanya kedalaman, produk kulturalnya sarat dengan gambaran dangkal dan tidak menggali lebih dalam ke dalam makna yang melandasinya; (2) postmodernisme dicirikan oleh sirnanya emosi atau gairah; (3) historisitas sirnaรจ kita tidak mungkin mengetahui masa lalu, yang dapat kita akses hanyalah teks tentang masa lalu. Sirnanya historisitas ini menyebabkan kanibalisasi acak dari semua gaya di masa lalu, akibat ini membawa kita kepada istilah kunci lain dalam pemikiran postmodern –pastiche; (4) ada teknologi baru yang diasosiasikan dengan masyarakat postmodern.
Sumber: Ritzer. Sociological Theory. 2004. New York: McGraw-Hill.