Jumat, 06 Mei 2011

Fenomena Pria Metroseksual


Istilah “Metroseksual” pertama kali diperkenaklan oleh Mark Simpson seorang jurnalis berkebangsaan Inggris dalam sebuah artikelnya yang berjudul The Independent pada tahun 1994. Seorang pria metroseksual telah menjadikan diri mereka sendiri sebagai objek cintanya. Oleh karena itu, Simpson (2002) kemudian menggunakan istilah “narsisme” untuk menggambarkan bentuk baru maskulinitas ini sebagai penekanan terhadap pentingnya penampilan bagi seorang anak muda. Sebagaimana yang juga ditekankan Simpson disini para pria metroseksual menginvestasikan berbagai usaha dan uangnya demi penampilan. Yang menarik disini ialah hal ini telah bertentangan dengan tradisi patriarki heteroseksual yang ideal, dimana imej pria yang dikonstruksikan oleh masyarakat adalah makhluk gagah, serampangan, serta cuek akan penampilan, namun kini? Lebih jauh, posisi ini kemudian membalikan pihak mana yang aktif dan pasif dalam hal gender. Sejak kemunculan pria metroseksual ini maka dia telah menjadi subjek pasif bagi pihak lain—dalam hal ini para wanita. Pada awalnya, masalah seksualitas yang berhubungan dengan pria metroseksual ini ini selalu dikaitkan homoseksual. Tetapi pemaknaan ini tidaklah benar karena apa yang sesungguhnya dipersepsikan sebagai metroseksual adalah sebagai “pilihan gaya hidup, pola konsumsi, penggunaan merk tertentu dan lingkaran sosial tertentu”.

Sejarah Metroseksualitas

Saat ini terlihat fenomena yang sangat berbeda dengan masa lalu dimana banyak kaum pria berbelanja di pertokoan untuk membeli produk tertentu. Perubahan apa yang sebenarnya sedang terjadi, mengapa pria yang di masa lalu biasanya tidak tertarik untuk berbelanja tetapi kini menjadi begitu tertarik untuk berbelanja. Tetapi masih terdapat keraguan apakah fenomena ini benar-benar sesuatu yang baru. Karena pada abad ke-19 hal tersebut juga telah ada tetapi seringkali dikaitkan dengan aktivitas gay dan lesbian. Secara sederhana, pada masa itu pria dianggap aneh apabila menggunakan sesuatu yang seharusnya diperuntukan bagi wanita—katakanlah memakai baju yang berwarna pink misalnya. Tetapi sekarang telah terjadi perubahan dimana hal tersebut kemudian dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Sejarah juga menunjukan bahwa bahwa di masa lalu telah ada pria yang suka berbelanja dan melakukan perawatan diri dibandingkan pria lainnya, tetapi hal tersebut tidak pernah digambarkan sebagai pria metroseksual (Simpson, 2002)

Sejarah juga memperlihatkan bahwa ada sebagian pria yang memberikan perhatian lebih terhadap penampilannya dibandingkan pria lainnya. Pakaian dan penampilan selalu menjadi hal yang penting bagi pria ini. Hal tersebut tergambar dengan jelas dalam buku The Great Gatsby (1925) yang ditulis oleh Francis Scott Fitzgerald dimana digambarkan jenis-jenis pakaian yang digunakan sebagai karakter utama pria. Karakteristik ini sering disebut “narsistik” dan “narsisme” yang seringkali dikaitkan dengan metroseksualitas (Parobkova, 2009).

Istilah “narsisme” ini berhubungan dengan mitologi Yunani kuno mengenai seseorang yang bernama Narcissus yang digambarkan sebagai pria muda yang cantik. Pada suatu saat pendeta Oracle berkata kepada Narcissus bahwa dia akan hidup sampai usia tua sampai dia sendiri tidak akan pernah mengetahuinya. Akibat perkataan Oracle tersebut Narcissus kemudian menjadi tidak peduli dengan cinta yang kemudian membuat patah hati para pria dan wanita yang mengaguminya. Hingga pada suatu hari dia membungkukan badannya untuk minum dari sebuah kolam. Narcissus kemudian melihat bayangan dirinya di kolam tersebut dan kemudian dia merasa jatuh cinta terhadap dirinya sendiri. Sambil menangis dia berkata “Sekarang aku tahu mengapa orang lain merasa tersakiti olehku, karena sebenarnya aku telah terbakar oleh kecintaan terhadap diriku sendiri” dan bagaimana aku dapat mencapai cinta yang hanya terlihat sebagai bayangan di dalam air” (Hamilton, 1992). Narcissus kemudian perlahan memudar sebagaimana bayangannya dan kemudian berubah menjadi apa yang dikenal kemudian sebagai bunga Narcissus.

Terdapat banyak kemiripan antara pria “metroseksual” dan pria “narsis” yaitu terutama obsesinya terhadap penampilan serta keinginannya untuk dikagumi oleh orang lain. Tetapi terdapat perbedaan yang signifikan yaitu pria metroseksual lebih merasa percaya diri (self-confident) dan extrovert. Mereka selalu berpikir agar terlihat luar biasa di hadapan orang lain tetapi tidak terpengaruh ketika orang lain mengatakan bahwa pakaiannya jelek misalnya. Hal ini kontras dengan pria “narsis” dimana mereka adalah seorang introvert yang selalu ingin terlihat dan terdengar bagus di hadapan orang lain. Seorang “narsis” memperhatikan setiap kritikan yang ditujukan kepadanya dengan serius dan mereka biasanya merasa “dijatuhkan” ketika ada yang mengkritik penampilannya.

Istilah lainnya yang seringkali dikaitkan dengan metroseksual ini adalah pria pesolek (dandy) dan secara faktual para dandy ini dalam berbagai aspek memiliki banyak kesamaan dengan pria metroseksual (Bree, 2004). Istilah dandy muncul di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 untuk menggambarkan pria yang sangat memperhatikan penampilan fisik. Muncul pertama kali di Inggris dan Perancis dan salah satu yang dikenali sebagai dandy pada waktu itu adalah Lord Byron. Jadi pria dandy sebenarnya telah telah ada sejak sekitar 200 tahun yang lalu. Karakteristik utama seorang dandy disamping sangat memperhatikan penampilan, mereka juga sangat berhati-hati didalam menggunakan bahasa. Dia hanya menggunakan bahasa yang halus serta fokus menggunakan waktu luangnya untuk pergi ke teater atau membaca buku. Dalam banyak hal, pria ini mencoba untuk meniru cara hidup kaum aristokrat pada waktu itu dengan memperhatikan pakaian dan rambutnya. Thomas Carly mendefinisikan pria dandy ini sebagai “pria yang keberadaannya tidak terlepas dari pakaian yang dikenakannya”. Setiap panca inderanya dari mulai jiwa, semangat serta hartanya digunakan hanya untuk memilih pakaian secara baik dan bijak, sehingga “dia tidak berpakaian untuk hidup tetapi hidup untuk berpakaian”.

Terdapat pula persamaan antara dandy dengan pria metroseksual yaitu dalam hal berpakaian. Mereka senang menjadi pusat perhatian orang lain terutama penampilan fisiknya. Tetapi apa yang membedakan antara pria dandy dan pria metroseksual ini adalah peranan olahraga dimana pria dandy tidak memiliki ketertarikan terhadap aktivitas olahraga dibandingkan pria metroseksual. Bagi seorang pria dandy olahraga adalah sesuatu yang sederhana dan wajar saja tetapi bagi seorang pria metroseksual olahraga merupakan bagian penting dari gayanya. Seorang pria metroseksual sejati biasanya memiliki hobi yang baik terhadap aktivitas olahraga ini. Dengan kata lain persamaan antara seorang dandy dengan metroseksual adalah dalam hal pakaian dan penampilan. Tetapi yang secara signifikan membedakan mereka adalah atribut sebagai seorang “atlit”.

Metroseksual Saat Ini

Pandangan lainnya melihat bahwa keberadaan pria metroseksual merupakan produk dari masyarakat masa kini. Simpson (2002) melakukan kritik terhadap masyarakat beserta kulturnya. Karena pada waktu itu banyak orang yang membelanjakan uangnya untuk membeli berbagai produk serta menjadikannya sebagai aktivitas yang paling penting. Dia tidak begitu menyukai gagasan mengenai adanya pria kaya yang hidup di daerah metropolitan dan hanya menghabiskan uangnya untuk membeli berbagai produk yang diiklankan. Menurut Simpson, iklan inilah yang kemudian mendorong para pria untuk hidup dengan gaya konsumerisme.

Tetapi sejak saat itu, seluruh media mulai menggunakan istilah “metroseksual” dan segera menjadi simbolisasi bagi seorang pria muda yang kaya dan sukses. Gambaran diri ini kemudian ditangkap perusahaan-perusahaan kosmetik dengan mulai memfokuskan kepada pria metroseksual ini dan hasilnya ternyata sangat bagus. Produksi kosmetik mereka terus meningkat serta mengalami pertumbuhan yang pesat. Sehingga berbagai perusahaan yang pada awalnya hanya memproduksi kosmetik bagi wanita seperti Nivea, Clarins dan Christian Dior secara perlahan-lahan mulai mengganti strategi pemasaran mereka dengan mendistribusikan produk bagi kaum pria. Keadaan ini terus berlanjut sampai saat ini dengan sisi komersialisasi yang lebih masif dibandingkan sebelumnya. Perusahaan tersebut berlomba-lomba untuk “membujuk” pria ini agar menggunakan berbagai jenis produk kosmetik mereka. Setiap majalah fashion kemudian menampilkan pakaian dan produk perawatan kulit terbaru dan pria yang muncul didalam iklan tersebut kemudian dianggap sebagai simbol “sex” bagi para perempuan sehingga banyak pria lainnya yang mencoba meniru.

Fenomena ini di satu sisi melihat laki-laki yang ingin terlihat sebagai selebritis atau bintang iklan. Selain merasa diperhatikan wanita, mereka juga berpikir akan menjadi sukses apabila menggunakan pakaian yang mahal serta memakai krim wajah seperti yang ada didalam iklan tersebut. Sebagian mereka mengatakan hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar termasuk ketika berpenampilan seperti wanita. Tetapi menurut Simpson (2002), hal tersebut tidaklah wajar karena pada dasarnya mereka seperti sedang melihat dirinya di dalam cermin (mirror man). Di depan cermin tersebut mereka seperti sedang melihat dirinya sendiri dan kemudian merasa puas. Jadi dapat dikatakan bahwa seseorang menjadi pria “metroseksual” ketika mereka membeli dan memakai produk yang sedang menjadi trend terbaru di pasaran dengan ribuan ribuan iklan komersial yang mendukung di sekelilingnya.

Perubahan Kultural

Budaya populer seringkali memproduksi perubahan serta menciptakan ketidakstabilan didalam kekuatan sosial yang dalam konteks ini meruntuhkan maskulinitas laki-laki (Gardiner, 2002 dalam Pompper, 2010). Hal ini kemudian meruntuhkan hegemoni maskulinitas dimana hegemoni ini kemudian dipandang hanya sebagai “ilusi” yang ditayangkan melalui berbagai film hollywood, program televisi, majalah gaya hidup pria serta olahraga. Marjorie Garber, seorang Professor Bahasa Inggris dari Universitas Harvard mengesankan bahwa masyarakat sedang dalam keadaan “krisis”. Bukan hanya krisis dalam hal kemanusiaan tetapi juga krisis mengenai pemahaman –pria khususnya dan masyarakat umumnya—terhadap peranan laki-laki didalam keteraturan sosial (social order). Dalam buku On Men : Masculinity in Crisis, digambarkan pria merasa bangga ditempatkan didalam masyarakatnya sebagai pelindung bagi keluarganya. David Gauntlett (2002:6-7) didalam bukunya Media, Gender and Identity menyebutkan ide mengenai “maskulinitas dalam krisis” yang terjadi ketika pria mulai memiliki peran baru sementara wanita menjadi lebih mampu untuk berkontribusi di tempat kerja.

Hasilnya, ketika lebih banyak wanita yang tidak lagi bergantung kepada suaminya karena mampu memenuhi kebutuhannya sendiri berikut keluarganya maka peranan tradisional pria menjadi semakin berkurang. Di masa lalu, wanita lebih tertarik kepada pria yang mampu memberikan dan melindungi keluarga—disini faktor penampilan pria bersifat sekunder. Tetapi saat ini berbeda, dengan semakin mandirinya perempuan dalam hal keuangan maka wanita dapat lebih selektif didalam memilih pasangannya. Sekarang penampilan pria menjadi faktor yang lebih besar dan menentukan. Meskipun Gauntlett kurang mempercayai situasi tersebut secara sederhana dapat dikategorikan sebagai “krisis” tetapi dia percaya bahwa sekarang waktunya untuk melakukan perubahan dan negosiasi kembali peran pria didalam kultur baru ini. Dia kemudian mengacu kepada sumberdaya terbaik bagi para pria untuk menyesuaikan peranan baru mereka didalam kehidupan kontemporer. Ini mencakup majalah top-seller serta buku-buku perawatan diri populer—dan tentunya televisi dan film, walaupun sedikit tetapi cukup signifikan. Berbagai media ini penuh dengan berbagai informasi mengenai kehidupan pria saat ini (Gauntlett, 2002:7).

Clare (2000 dalam Gauntlett, 2002:7) juga menyetujui bahwa sebuah perubahan diperlukan dimana komunikasi, emosional dan ekpresi cinta menjadi penting. Pria tidak perlu menjadi seperti wanita tetapi mereka dapat mengembangkan sebuah bentuk baru maskulinitas yang menempatkan nilai cinta, keluarga dan hubungan personal secara lebih besar serta berupaya mengurangi kekuasaan, rasa kepemilikan dan prestasi. Berlawanan dengan pria tradisional yang lebih fokus didalam membangun karir dengan tujuan untuk memberikan serta membuktikan keberhargaannya didalam keluarga. Pria masa kini merasa menemukan kebahagiaan dan lebih diterima di masyarakatnya apabila mereka memberikan perhatian kepada kualitas hubungan personal. Penelitian yang dilakukan Clare menunjukan bahwa orang yang banyak menghabiskan waktunya didalam pertukaran sosial secara signifikan meningkatkan taraf kepuasan hidupnya. Ini juga bermakna, mereka menghabiskan sedikit waktu di kantor tetapi lebih banyak menghabiskan waktunya bersama keluarga dan kawan-kawannya. Hasilnya, mereka melakukan pekerjaannya dengan lebih baik karena mereka lebih bahagia dengan kehidupannya (Gauntlett, 2002:8).

Tampaknya saat ini selain telah terjadi perubahan didalam kultur dan nilai –yaitu maskulinitas melawan feminitas-- juga telah terjadi perubahan peran “sex”. Mengacu kepada Hoyer dan MacInnis (2004:425), maskulinitas seringkali dihubungkan dengan ketegasan, kesuksesan serta persaingan dimana kemudian laki-laki dihubungkan dengan sifat agresif, dominan dan kuat. Ini juga dicerminkan dalam dalam pernyataan “jadilah laki-laki” (Gauntlett, 2002:9). Sementara nilai-nilai feminin mengacu kepada wanita sebagai pihak yang memiliki budaya memelihara (caring culture) serta dikaitkan dengan istilah lemah, emosional dan pandai berkomunikasi. Gauntlett (2002) melakukan sebuah pengamatan yang sangat menarik dimana ternyata “feminitas tidak selalu harus terlihat atau dinyatakan sebagai wanita” tetapi itu tidak lebih dari sebuah stereotip dari peranan wanita di masa lalu. Apabila dilihat dari pengertian tersebut maka terlihat adanya hubungan yang logis dengan kemunculan pria metroseksual.

Hoyer dan MacInnis (2004:371) juga menggambarkan bagaimana masyarakat kita mulai mengharapkan pria untuk memenuhi peran baru didalam rumah tangga seperti mengasuh anak serta melakukan pekerjaan rumah tangga. Beberapa suami kemudian memiliki peran ganda yaitu selain di tempat kerja juga di keluarga dan mereka merasa rela dengan tanggung jawab ini. Tetapi sebagiannya lagi belum dapat menerima perubahan peranan tersebut terutama mengenai fungsi laki-laki dalam ranah domestik rumah tangga. Dengan menunjukan sisi sensitivitas atau feminis tersebut –mencintai, peduli, emosi dan berperasaan yang lebih dari sekedar seorang ayah-- maka kemudian laki-laki didefinisikan sebagai metroseksual. Tetapi yang perlu juga diperhatikan tidak semua pria yang tersentuh sisi sensitivitasnya tersebut adalah seorang metroseksual.

Sementara wanita sendiri memiliki peranan yang berbeda. Kini mereka memiliki status yang lebih tinggi didalam posisi sosialnya yang kemudian menjadi faktor utama didalam evolusi peranan gender. Etcoff (1999:82) menduga bahwa wanita masa kini menghabiskan lebih banyak waktunya dengan memandang pasangannya sebagai pesaing. Para pria kemudian merasa membutuhkan sebuah “senjata” lain yaitu penampilan fisiknya sendiri. Sebagai akibat perubahan peran ‘sex’ maka produk tertentu kemudian dihubungkan dengan salah satu gender seperti kosmetika dan pekerjaan di bidang keuangan misalnya sehingga terjadi penggolongan sex (sex-typed). Dengan adanya perubahan ini kemudian menjadi menarik bahwa terjadi semacam kesepakatan bahwa kecantikan ternyata membawa kepada kekuasaan dan status yang lebih tinggi. Disini kemudian terlihat sebuah bentuk perjuangan baru didalam upaya memperoleh status. Dengan kata lain telah terjadi pergeseran didalam “kekuasaan” dimana pria dianggap menjadi ancaman nyata bagi kecantikan yang merupakan status kekuasaan perempuan yang telah dimiliki bertahun-tahun.

Terkait aspek spasial, wilayah perkotaan menjadi saksi terhadap kemunculan pria metroseksual ini. Wilayah perkotaan memiliki banyak pertokoan, salon penata rambut serta berbagai klub dan tempat kebugaran. Selain itu wilayah perkotaan juga cenderung lebih toleran terhadap perbedaan dibandingkan dengan daerah pedesaan dimana kelas pekerjanya sulit untuk merubah peranan sex konvensionalnya. Secara tradisional, para wanita disini lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah bersama anak-anak, keluarga, teman serta tetangganya. Sementara laki-lakinya menikmati manghabiskan waktunya bersama teman-temannya untuk mengejar hobi mekanis dan bekerja.

Tetapi yang cukup mengejutkan, meskipun di kota kecil (small town) kini masyarakatnya mulai menyaingi apa yang terlihat di kota besar. Sikap terhadap gender kemudian berubah dan metroseksualisme menyebar. Hoyer dan MacInnis (2004:453) menambahkan bahwa terdapat orang-orang tertentu yang menjadi pemimpin opini, membentuk, memperbaiki atau membentuk kembali prinsip-prinsip kultural yang kemudian dikaitkan dengan berbagai produk serta atribut tertentu. Para pemimpin opini tersebut seperti David Beckham,Hugh Jackman, Brad Pitt, Orlando Bloom dan Jeff Gordon memiliki pengaruh yang besar didalam merubah sikap terhadap metroseksualitas. Kelas pekerja kemudian mulai mengagumi serta meniru para atlit dan aktris hollywood tersebut sehingga dampaknya mereka kemudian membawa pemahaman mengenai metroseksualitas yang lebih baik ke wilayah pedesaan. Imogen Matthews (2005:39) pengarang “How men Catch Ob to Cosmetic” menemukan bahwa dengan semakin tumbuhnya dorongan media disertai gambaran budaya yang “menggoda” maka banyak remaja dan anak muda yang kini mengakui bahwa mereka perlu untuk berpenampilan lebih baik. Tidak seperti generasi yang lebih tua dimana mereka cenderung melihat adanya kontradiksi antara maskulinitas dan kesombongan.

Hegemoni Kultural

Gencarnya iklan dan promosi produk dari bangsa barat mengenai pentingnya lelaki memperhatikan tampilan tubuh menjadi suatu hal yang telah mendominasi alam pikiran beberapa lelaki dalam cara berpakaian dan menata diri. Apa yang ditampilkan dan dipresentasikan di dalam iklan sebenarnya adalah bagaimana barat dalam hal ini melalui perusahaan-perusahaan yang memproduksi produk-produk tersebut mencoba mengubah selera konsumen dan cara berpikir mereka (mind set) didalam memaknai bagaimana pria seharusnya berpakaian dan bergaya. Dengan mengutip pemikiran Gramsci ini adalah bentuk dari hegemoni barat terhadap bangsa-bangsa lain di dunia. Gramsci berpendapat bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang kemudian mengadopsi budaya Barat.

Dalam konteks developmentalisme, konsep Gramsci memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme struktural (John Galtung) dan imperialisme kultural (Herbert Schiller). Herbert Schiller seorang pendukung utama imperialism kultural menyatakan bahwa industri komunikasi telah merubah pola pikir manusia modern dan sebagai media untuk menyebarkan hegemoni keseluruh penjuru dunia. Selain itu Barat kemudian memperoleh keuntungan yang luar biasa besar dari pembelian produk-produk mereka di seluruh dunia. Produk-produk tersebut masuk ke negara-negera berkembang dengan dalih modernitas yang kemudian modernitas ini masuk ke alam pikiran suatu bangsa. Sehingga negara-negara berkembang hanya punya dua pilihan yaitu mengikuti nilai dan gaya modernitas atau terseingkir dari “gelanggang” sejarah. Masifnya penetrasi modernisasi ini, jika dahulu dibantu dan dipercepat melalui peralatan perang, maka di era sekarang mereka masuk melalui komunikasi, iklan maupun pemberitaan yang canggih melalui beragam media seperti internet, televisi, dan koran. Imperialisme dan globalisasi sesungguhnya dua fenomena dengan pesan yang sama, ‘perluasan daerah kekuasaan modernitas’. Media menjadi lebih penting daripada pesan yang disampaikannya dan sistem tanda (system of signs) lebih bermakna dibandingkan sistem objek (system of objects). Konsumen kemudian hanyut dalam simbol, citra dan penampilan yang telah dikonstruksikan oleh bangsa-bangsa yang lebih maju dalam penguasaan teknologi.

Gaya hidup metroseksualitas yang hadir di tengah-tengah masyarakat dengan ideologi sosok arsistik berpenampilan dandy, konsumtif serta memanfaatkan waktu luangnya di klub, spa, salon, butik, penata rambut, restoran, dan toko ternama merupakan hasil dari keahlian para produsen ‘ideologi‘ tersebut. Mereka membangkitkan kebutuhan terhadap estetika penampilan didalam kehidupan sehari-hari melalui berbagai bentuk tawaran iklan produk kecantikan serta keahlian perawatan rambut, wajah, laser, blue peel, teta peel dan sebagainya yang tidak hanya ditawarkan kepada kaum wanita tetapi juga pria.

Metroseksual dan Relasi Gender

salah satu faktor pendorong yang paling penting dalam munculnya fenomena “pria metroseksual” ini adalah perluasan identitas gender. Gender adalah salah satu bentuk prilaku yang paling penting dikodifikasikan dalam semua masyarakat dan budaya (Leiss, Kline & Jhally, 1990:215). Ketika kesetaraan gender marak didengungkan oleh kaum feminis untuk menuntut kesamaan hak dengan laki-laki, maka laki-laki pun demikian. Kaum laki-laki memiliki alasan bahwa mereka melakukan aktivitas shopping, pergi ke salon, berolahraga di gym, memakai produk bermerk (branded), dan lain-lain untuk menjaga kesehatan dan menjaga kesan baik di hadapan klien. Dalam beberapa dekade terakhir, kita melihat sebuah visibilitas peningkatan tubuh laki-laki di media dan budaya popular. Laki-laki mendapatkan eksposur meningkat tidak hanya dari tubuh mereka melainkan juga dari gaya hidup yang menjadi pilihan terhadap konsumsi dan kebutuhan emosional yang kemudian memunculkan sebuah representasi dalam budaya popular dimana tubuh laki-laki digambarkan secara ideal dan erotis (Moore ,1988 & Simpson, 1994).

Penutup

Metroseksualitas adalah salah satu karakteristik subversif dalam perbandingannya dengan tradisi patriarki heteroseksual ideal dimana perempuan yang selalu dikagumi pria. Secara lebih jauh, posisi ini membalikan siapa yang aktif dan pasif dalam hal gender. Pada awalnya, masalah seksualitas selalu dikaitkan dengan kategori pria metroseksual ini yang kemudian diberi label sebagai homoseksual. Tetapi pemaknaan ini tidaklah benar karena apa yang sesuangguhnya dipersepsikan sebagai metroseksual adalah “pilihan gaya hidup, pola konsumsi, penggunaan merk serta lingkaran sosial tertentu”. Pada dasarnya, gaya hidup metroseksual bukanlah sesuatu yang baru melainkan sudah ada sejak berabad-abad lamanya, namun pada saat itu kesetaraan gender serta kolaborasi antara pasar dengan media belum membentuk suatu nilai kultur yang menganggap metroseksual adalah sesuatu yang wajar. Di era masyarakat modern, seorang pria dandy yang narsistik dianggap wajar bahkan perlu guna merawat kesehatan maupun menjaga penampilan di hadapan orang lain.

Gaya hidup metroseksual pada dasarnya didorong oleh beberapa faktor, diantaranya adalah perluasan identitas gender, pengaruh media dan peran kapitalis yang sangat jeli dalam melihat dan menjadikannya sebagai lahan keuntungan serta kemampuannya didalam menciptakan kultur baru di masyarakat. Fenomena pria metroseksual mengalami peningkatan yang cukup signifikan –terutama di perkotaan- juga karena didukung oleh perubahan kultur dan nilai maskulinitas itu sendiri. Seiring dengan semakin mandirinya kaum wanita dalam berbagai segi –termasuk keuangan- peran atau dominasi kaum pria dalam keluarga pun turut bergeser. Kini wanita dapat lebih selektif dalam memilih pasangannya, dimana kini penampilan menjadi faktor yang lebih besar menjadi penentunya. Gencarnya iklan dan promosi produk dari bangsa barat mengenai pentingnya lelaki memperhatikan tampilan tubuh menjadi suatu hal yang telah mendominasi alam pikiran beberapa lelaki dalam berpakaian dan menata diri. Apa yang ditampilkan dan dipresentasikan di dalam iklan sebenarnya adalah bagaimana barat dalam hal ini melalui perusahaan-perusahaan yang memproduksi produk-produk tersebut mencoba mengubah selera konsumen dan cara berpikir mereka dalam memaknai bagaimana pria seharusnya berpakaian dan bergaya. Dengan mengutip pemikiran Gramsci tersebut maka telah terbentuk hegemoni barat terhadap bangsa-bangsa lain di dunia. Gramsci berpendapat bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang kemudian mengadopsi budaya Barat dan mereproduksinya menjadi budaya sendiri.

Media –baik cetak maupun elektronik- tidak dapat dipungkiri memiliki andil yang sangat besar dalam mensosialisasikan gaya hidup pria metroseksual ini. Berkolaborasi dengan pihak kapitalis terutama perusahaan kometik telah menjadikan metroseksual sebagai ikon atau trendsetter pria modern masa kini. Namun, menurut kami fenomena pria metroseksual bukanlah menjadi suatu masalah yang pada akhirnya mendiskreditkan image pria. Metroseksual justru dapat menjadi suatu perubahan sosial dalam hal gaya hidup yang turut serta membangun perekonomian dunia serta menjadi sarana penghapusan seksisme dalam wilayah pria itu sendiri.


Nb: Kalau mau baca lebih lengkapnya, tunggu jurnalnya yaa :D


2 komentar:

Anonim mengatakan...

Kira-kira diterbitkan di jurnal apa?

A-boed

ajeng mengatakan...

kata pak Paulus c kumpulan paper kelompok Persos mw d'jurnalin bwt contoh utk angkatan berikut'a hohoho :D:D:D
*siapa tw mereka t'inspirasi utk mjd pria metroseksual wkwkwkwkwk

Posting Komentar